JAKARTA,
- Cengkeraman modal asing atas saham-saham perbankan dalam negeri kian
mengkhawatirkan. Penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK), dan penyaluran
kredit yang naik secara signifikan merupakan indikasi nyata atas hal
tersebut.
Bahkan,
6 dari 10 bank dengan asset terbesar yang menguasai 62,87 persen
industri perbankan nasional berada di bawah kendali modal asing. “Saya
pikir, asas kesetaraan (resiprokal) itu harus dilakukan, sekaligus perlu
dicegah determinasi bank asing. Dua kebijakan ini bisa memperkuat bank
nasional menjadi tuan rumah di negeri sendiri,” ujar anggota Komisi XI
DPR Abdilla Fauzi Achmad di Gedung DPR.
Menurut
Fauzi, kepemilikan asing di perbankan Indonesia sudah harus diwaspadai.
Kepemilikan saham bank oleh investor asing sudah sampai kepada tahap
tidak wajar, dengan risiko akan sangat tergantung kepada asing pada saat
krisis sehingga nasib perekonomian justru akan ditentukan oleh kantor
pusat bank asing tersebut.
“Dominasi
asing pada perbankan nasional membuat pasar cenderung oligopolistik.
Hal ini membuat biaya modal (cost of fund) menjadi tidak efisien.
Industri perbankan lebih mengejar besarnya pendapatan marjin daripada
mengoptimalkan fungsi intermediasi,” tegasnya.
Lebih
lanjut, Fauzi mengatakan, pembatasan kepemilikan asing ini tidak hanya
di Indonesia, karena di negara-negara lain, pengetatan sektor
keuangannya dari serbuan bank asing sudah dilakukan.Pengetatan asing ini
dilakukan setelah sektor keuangan domestiknya sudah kuat, seperti yang
dilakukan di Malaysia, Thailand dan Filipina. Dengan demikian sudah
saatnya Indonesia melakukan hal yang sama.
“Saya
tegaskan spirit yang diusung adalah bukan anti asing, karena faktanya
Indonesia paling liberal di banding negara lain dalam pemberian izin
memiliki bank kepada asing. Tetapi pembatasan ini semata-mata untuk
penataan kembali struktur kepemilikan saham di sektor perbankan agar
lebih terdistribusi atau menyebar,” imbuhnya.
Dirinya
juga mengakui, determinasi perbankan asing kian meluas. Dominasi asing
yang berlebihan ini akan merugikan Indonesia. Karena, jika dalam kondisi
krisis, perbankan Indonesia akan sangat bergantung kepada asing.
Apalagi, semua kebijakan bank asing yang beroperasi di Indonesia
ditentukan oleh kantor pusatnya, sehingga dalam situasi krisis bisa saja
mereka menghentikan kredit di Indonesia. “Pada akhirnya, masyarakat
konsumen perbankan di Indonesia yang dirugikan,” jelas politisi Partai
Hanura ini.
Karena itu,
ditegaskanya, pembatasan ini sangat penting karena perbankan merupakan
jantungnya perekonomian nasional. “Perbankan berbeda dengan perusahaan
lain, sehingga harus ada regulasi khusus. Kalau jantung ekonomi dikuasi
asing maka akan sangat berbahaya bagi masa depan kita. Kita harus
memiliki kemandirian sebagai bangsa yang pada gilirannya
menyesejahterakan rakyat,” pungkasnya.[ach/jpnn/khoirunnisa-syahidah.blogspot.com]
Posting Komentar