
Relasi Agama dan Negara
Khilafah dapat disebut juga “negara Islam” (ad dawlah al islamiyah) atau “sistem pemerintah Islam” (nizham al hukm fi al islam). Meskipun Khilafah adalah ajaran Islam yang asli (genuine),
namun banyak umat Islam yang kurang memahaminya. Keaslian ajaran
Khilafah itu dapat dibuktikan dari pandangan Islam mengenai relasi
(hubungan) agama dan negara (kekuasaan). Pandangan Islam ini dirumuskan
dalam kalimat “Al Islam diin wa minhu ad daulah.”
(Isam adalah agama, di antaranya adalah ajaran tentang bernegara). Ini
berbeda dengan konsep sekularisme dari Barat yang memisahkan agama dan
negara (fashlud diin ‘an ad daulah). Agama dan negara dalam ajaran Islam tidak terpisah, karena dua sebab berikut ;
Pertama, karakter Rasulullah SAW yang menyatukan fungsi kenabian (nubuwwah) dan kepemimpinan (ri`asah).
Setelah hijrah ke Madinah (622 M), Rasulullah SAW bukan hanya
berkedudukan sebagai nabi (penyampai risalah), namun juga berkedudukan
sebagai kepala negara (ra`is ad dawlah).
Terbukti Rasulullah SAW menjalankan fungsi-fungsi kepala negara,
seperti mengadakan perjanjian, mengumumkan perang, mengirim atau
menerima duta besar, dan seterusnya. Setelah Rasulullah SAW wafat,
fungsi kenabian (nubuwwah) berakhir, yakni tak ada nabi lagi, tapi fungsi kepemimpinan (ri`asah) tetap diteruskan oleh para khalifah (kepala negara) selanjutnya.[1]
Ini
berbeda dengan karakter Nabi Isa AS, yang menjadi panutan beragama (dan
dipertuhankan) bagi kaum Nasrani di Barat. Nabi Isa AS hanya
menjalankan fungsi kenabian (nubuwwah), tapi tidak mempunyai fungsi kepemimpinan (ri`asah).
Hal ini karena pada saat itu Nabi Isa AS hidup di bawah Kerajaan
Romawi. Maka dari itu wajar, orang Barat menganggap agama dan negara
terpisah, karena Nabi Isa AS sendiri memang hanya seorang nabi, tidak
menjalankan fungsi sebagai penguasa.
Kedua, karakter agama Islam itu sendiri yang bersifat komprehensif (syumuliah),
yaitu tidak hanya mengatur aspek ibadah ritual, tapi mengatur segala
aspek kehidupan. (Lihat QS Al Ma`idah [5] : 3 ; QS An Nahl [16] : 89).
Karenanya Islam membutuhkan eksistensi negara atau kekuasaan untuk
menjalankan hukum-hukum Islam secara menyeluruh.[2]
Maka dari itu, agama dan negara (kekuasaan) tak terpisah, perhatikan misalnya sabda Rasulullah SAW :
أَلاَ إِنَّ الْكِتَابَ وَالسُّلْطَانَ سَيَفْتَرِقَانِ، فَلاَ تُفَارِقُواْ الْكِتَابَ
“Ingatlah,
sesungguhnya Al Kitab (Al Qur`an) dan kekuasaan (as sulthan) akan
terpisah, maka (jika hal itu terjadi) janganlah kamu berpisah dari Al
Kitab (Al Qur`an).” (HR Thabrani). [3]
Sabda Rasulullah SAW ini juga menegaskan konsep kekuasaan sebagai bagian ajaran Islam :
لينقضن عرى الإسلام عروة ، عروة ، فكلما انتقضت عروة تشبث الناس بالتي تليها ، وأولهن نقضًا الحكم ، وآخرهن الصلاة
“Sungguh
akan terurai simpul-simpul Islam satu demi satu, maka setiap satu
simpul terurai, orang-orang akan bergelantungan pada simpul yang
berikutnya (yang tersisa). Simpul yang pertama kali terurai adalah
kekuasaan (pemerintahan) sedang yang paling akhir terurai adalah
shalat.” (HR Ahmad, Ibnu Majah, dan Al Hakim).[4]
Karakter
agama Islam yang komprehensif ini (termasuk mengajarkan aspek
kekuasaan) berbeda dengan karakter agama Nasrani yang tidak
komprehensif, yaitu hanya mengatur persoalan aqidah dan akhlak. Agama
Nasrani bukan sistem kehidupan (system of life)
dan tak punya konsep bernegara, karena itu agama Nasrani dapat
terlaksana tanpa ditopang sebuah negara. Perjanjian Baru sendiri dengan
tegas memisahkan aspek agama dan negara, sebagaimana disebutkan dalam
Matius,”Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar, dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan.” (Matius 22:21).
Jelaslah
bahwa agama dan negara dalam Islam tidak terpisah, berbeda dengan
pandangan sekularisme Barat yang memisahkan agama dari negara. Kitab
yang berjudul Al Islam wa Ushul Hukm karya
Ali Abdur Raziq (1926) yang berusaha membuktikan terpisahnya agama
(Islam) dari negara, adalah kitab yang batil karena nyata-nyata
memalsukan ajaran Islam yang asli tentang ajaran bernegara.[5]
Takrif (Definisi) Khilafah
Dalam kitab-kitab fiqih dan ushuluddin, Khilafah disebut juga dengan istilahImamah. Imam Nawawi menegaskan dalam kitabnya Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab (Juz 15 hlm. 517), bahwa Imamah atau Khilafah atau Imarah Al Mukminin adalah sinonim (mutaradif).[6]
Banyak
definisi tentang Khilafah. Definisi Khilafah menurut Taqiyuddin An
Nabhani (pendiri Hizbut Tahrir) adalah sebagai berikut :
اَلْخِلاَفَةُ
هِيَ رِئَاسَةٌ عَامَّةٌ لِلْمُسْلِمِيْنَ جَمِيْعاً فِي الدُّنْيَا
لإِقَامَةِ أَحْكَامِ الشَّرْعِ الإِسْلاَمِيِّ، وَحَمْلِ الدَّعْوَةِ
الإِسْلاَمِيَّةِ إِلَى الْعَالَمِ
“Khilafah
adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia untuk
menegakkan hukum-hukum Syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke
seluruh dunia.”[7]
Dari definisi Khilafah di atas, dapat dipahami tiga poin penting :
Pertama, bahwa Khilafah itu adalah suatu kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia. Jadi Khilafah bukan kepemimpinan khusus (ri`asah khashash),
seperti kepemimpinan seorang wali (gubernur) di suatu wilayah
(propinsi), atau seperti kepemimpinan khusus pada bidang tertentu,
misalnya kepemimpinan seorang Qadhi Qudhat dalam bidang peradilan Islam (Al Qadha`).
Dapat dipahami juga Khilafah adalah institusi politik pemersatu umat
Islam, sebab kepemimpinan Khilafah bersifat umum bagi umat Islam seluruh
dunia, tanpa melihat lagi batas-batas negara-bangsa (nation state) yang ada sekarang ini.[8]
Kedua,
bahwa fungsi pertama Khilafah adalah menerapkan Syariah Islam dalam
segala aspek kehidupan, baik itu politik (pemerintahan), ekonomi,
sosial, budaya, pendidikan, politik luar negeri, dan sebagainya.
Penerapan syariah ini adalah politik dalam negeri dari negara
Khilafah.[9]
Ketiga,
bahwa fungsi kedua Khilafah adalah mengemban (menyebarkan) dakwah Islam
ke seluruh dunia. Metode untuk mengemban dakwah ini adalah dengan
menjalankan jihad fi sabilillah ke negara-negara lain. Mengemban dakwah dengan jalan jihad fi sabilillah inilah yang menjadi dasar politik luar negeri dari negara Khilafah.[10]
Maka dari itu, dengan keberadaan Khilafah, akan dapat terwujud paling tidak 3 (tiga) hal sbb; pertama, persatuan umat dalam satu negara, yang telah diwajibkan Islam (lihat misalnya QS Ali ‘Imran : 103). Kedua, penerapan syariah Islam secara menyeluruh (kaaffah), yang telah diwajibkan Islam (lihat misalnya QS Al Baqarah : 208; QS Ali ‘Imran : 85). Ketiga,
penyebarluasan Islam sebagai rahmat bagi seluruh manusia dan seluruh
alam, yang menjadi karakter agama Islam (lihat misalnya QS Al Anbiya` :
107).
Sebaliknya, dengan tiadanya Khilafah, akan terjadi keburukan dan dosa bagi umat Islam paling tidak dalam 3 (tiga) hal sbb; Pertama,
umat Islam akan terpecah belah dan tercerai berai, seperti kenyataan
sekarang yang terpecah menjadi 50-an negara lebih. Hal ini menimbulkan
kondisi yang tidak dibenarkan Islam, yaitu dominasi kafir penjajah atas
umat Islam (QS An Nisaa` : 141).Kedua,
syariah Islam tidak dapat diterapkan secara menyeluruh, tapi hanya
sebagiannya saja. Hal ini menimbulkan kondisi yang tidak dibenarkan
Islam, yaitu dominasi hukum non Islam (hukum jahiliyah) atas umat Islam
(QS Al Maaidah : 50). Ketiga,
karakter agama Islam sebagai agama dan rahmat bagi seluruh umat manusia
tidak dirasakan lagi. Yang dirasakan adalah kebalikannya, yaitu
penderitaan dalam segala bidang akibat dominasi kapitalisme yang
menindas dan menghisap umat manusia di seluruh dunia. Kondisi buruk ini
tak dibenarkan Islam (QS Thahaa : 123-125).
Kewajiban Khilafah (Imamah)
Kewajiban
adanya Khilafah telah disepakati oleh seluruh ulama dari seluruh
mazhab. Tidak ada khilafiyah (perbedaan pendapat) dalam masalah ini,
kecuali dari segelintir ulama yang tidak teranggap perkataannya (laa yu’taddu bihi). [11]
Disebutkan dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah Juz 6 hlm. 164 :
أجمعت
الأمّة على وجوب عقد الإمامة ، وعلى أنّ الأمّة يجب عليها الانقياد لإمامٍ
عادلٍ ، يقيم فيهم أحكام اللّه ، ويسوسهم بأحكام الشّريعة الّتي أتى بها
رسول اللّه صلى الله عليه وسلم ولم يخرج عن هذا الإجماع من يعتدّ بخلافه
“Umat
Islam telah sepakat mengenai wajibnya akad Imamah [Khilafah], juga
telah sepakat bahwa umat wajib mentaati seorang Imam [Khalifah] yang
adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah mereka, yang mengatur
urusan mereka dengan hukum-hukum Syariah Islam yang dibawa oleh
Rasulullah SAW. Tidak ada yang keluar dari kesepakatan ini, orang yang
teranggap perkataannya saat berbeda pendapat.” [12]
Syaikh
Abdul Qadim Zallum (Amir kedua Hizbut Tahrir) menyebutkan,”Mengangkat
seorang khalifah adalah wajib atas kaum muslimin seluruhnya di segala
penjuru dunia. Melaksanakan kewajiban ini - sebagaimana kewajiban
manapun yang difardhukan Allah atas kaum muslimin- adalah perkara yang
pasti, tak ada pilihan di dalamnya dan tak ada toleransi dalam
urusannya. Kelalaian dalam melaksanakannya termasuk sebesar-besar
maksiat, yang akan diazab oleh Allah dengan azab yang sepedih-pedihnya.”
[13]
Kewajiban
Khilafah ini bukan hanya pendapat Hizbut Tahrir, tapi pendapat seluruh
ulama. Imam Ibnu Hazm menyebutkan bahwa, “Telah sepakat semua Ahlus
Sunnah, semua Murji`ah, semua Syiah, dan semua Khawarij akan wajibnya
Imamah [Khilafah]…”[1]
Khusus
dalam lingkup empat mazhab Ahlus Sunnah, Syaikh Abdurrahman Al Jaziri
menyebutkan,”Para imam mazhab yang empat [Imam Abu Hanifah, Malik,
Syafi'i, dan Ahmad] rahimahumullah,
telah sepakat bahwa Imamah [Khilafah] itu fardhu, dan bahwa kaum
muslimin itu harus mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang akan
menegakkan syiar-syiar agama dan menolong orang yang dizalimi dari orang
zalim. Mereka juga sepakat bahwa kaum muslimin dalam waktu yang sama di
seluruh dunia, tidak boleh mempunyai dua imam, baik keduanya sepakat
atau bertentangan.” [14]
Dalil-Dalil Kewajiban Khilafah
Para
ulama menerangkan bahwa dalil-dalil kewajiban Khilafah ada 4 (empat),
yaitu : Al Qur`an, As Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qaidah Syar’iyyah.
Dalil Al Qur`an, antara lain firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-NYa, dan Ulil Amri di antara kamu.” (QS An-Nisaa` : 59)
Wajhul Istidlal (cara
penarikan kesimpulan dari dalil) dari ayat ini adalah, ayat ini telah
memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati Ulil Amri di antara mereka,
yaitu para Imam (Khalifah). Perintah untuk mentaati Ulil Amri ini adalah
dalil wajibnya mengangkat Ulil Amri, sebab tak mungkin Allah SWT
memerintahkan umat Islam untuk mentaati sesuatu yang tidak ada. Dengan
kata lain, perintah mentaati Ulil Amri ini berarti perintah mengangkat
Ulil Amri. Jadi ayat ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang Imam
(Khalifah) bagi umat Islam adalah wajib hukumnya. [15]
Dalil Al Qur`an lainnya, adalah firman Allah SWT :
فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ عَمَّا جَاءكَ مِنَ الْحَقِّ
“Maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran
yang telah datang kepadamu.” (QS Al Maidah : 48)
Wajhul Istidlal dari
ayat ini adalah, bahwa Allah telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk
memberikan keputusan hukum di antara kaum muslimin dengan apa yang
diturunkan Allah (Syariah Islam). Kaidah ushul fiqih menetapkan bahwa
perintah kepada Rasulullah SAW hakikatnya adalah perintah kepada kaum
muslimin, selama tidak dalil yang mengkhususkan perintah itu kepada
Rasulullah SAW saja. Dalam hal ini tak ada dalil yang mengkhususkan
perintah ini hanya kepada Rasulullah SAW, maka berarti perintah tersebut
berlaku untuk kaum muslimin seluruhnya hingga Hari Kiamat nanti.
Perintah untuk menegakkan Syatiah Islam tidak akan sempurna kecuali
dengan adanya seorang Imam (Khalifah). Maka ayat di atas, dan juga
seluruh ayat yang memerintahkan berhukum dengan apa yang diturunkan
Allah, hakikatnya adalah dalil wajibnya mengangkat seorang Imam
(Khalifah), yang akan menegakkan Syariah Islam itu.[16]
Dalil
Al Qur`an lainnya, adalah ayat-ayat yang memerintahkan qishash (QS Al
Baqarah : 178), hudud (misal had bagi pelaku zina dalam QS An Nuur : 2;
atau had bagi pencuri dalam QS Al Maidah : 38), dan ayat-ayat lainnya
yang pelaksanaannya bergantung pada adanya seorang Imam (Khalifah).
Ayat-ayat semisal ini, berarti adalah dalil untuk wajibnya mengangkat
seorang Imam (Khalifah), sebab pelaksanaan ayat-ayat tersebut bergantung
pada keberadaan Imam itu.[17]
Dalil As Sunnah, banyak sekali, antara lain sabda Nabi SAW :
من مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية
“Barangsiapa yang mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada seorang imam/khalifah), maka matinya adalah mati jahiliyah.” (HR Muslim, no 1851).
Dalalah (penunjukkan
makna) dari hadis di atas jelas, bahwa jika seorang muslim mati
jahiliyyah karena tidak punya baiat, berarti baiat itu wajib hukumnya.
Sedang baiat itu tak ada kecuali baiat kepada seorang imam (khalifah).
Maka hadis ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) itu
wajib hukumnya.[18]
Dalil lain dari As Sunnah misalnya sabda Nabi SAW :
إذا خرج ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم
“Jika
ada tiga orang yang keluar dalam suatu perjalanan, maka hendaklah
mereka mengangkat salah seorang dari mereka untuk menjadi amir
(pemimpin).” (HR Abu Dawud).
Imam
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa jika Islam mewajibkan pengangkatan
seorang amir (pemimpin) untuk jumlah yang sedikit (tiga orang) dan
urusan yang sederhana (perjalanan), maka berarti Islam juga mewajibkan
pengangkatan amir (pemimpin) untuk jumlah yang lebih besar dan untuk
urusan yang lebih penting. (Ibnu Taimiyah, Al Hisbah, hlm. 11).
Dengan
demikian, untuk kaum muslimin yang jumlahnya lebih dari satu miliar
seperti sekarang ini, dan demi urusan umat yang lebih penting dari
sekedar perjalanan, seperti penegakan hukum Syariah Islam, perlindungan
umat dari penjajahan dan serangan militer kafir penjajah, maka
mengangkat seorang Imam (Khalifah) adalah wajib hukumnya.
Adapun dalil Ijma’ Shahabat, telah disebutkan oleh para ulama, misalnya Ibnu Khaldun sebagai berikut :
نصب الإمام واجب ، وقد عرف وجوبه في الشرع بإجماع الصحابة والتابعين
“Mengangkat
seorang imam (khalifah) wajib hukumnya, dan kewajibannya dapat
diketahui dalam Syariah dari ijma’ (kesepakatan) para shahabat dan
tabi’in…” (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 191).
Imam Ibnu Hajar Al Haitami berkata :
اعلم
أيضًا أن الصحابة رضوان الله عليهم أجمعوا على أن نصب الإمام بعد انقراض
زمن النبوة واجب ، بل جعلوه أهم الواجبات حيث اشتغلوا به عن دفن رسول الله
“Ketahuilah
juga, bahwa para shahabat -semoga Allah meridhai mereka- telah
bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya
zaman kenabian adalah wajib, bahkan mereka menjadikannya sebagai
kewajiban paling penting ketika mereka menyibukkan diri dengan kewajiban
itu dengan meninggalkan kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW.”
(Ibnu Hajar Al Haitami, As Shawa’iqul Muhriqah, hlm. 7).
Adapun dalil Qaidah Syar’iah, adalah kaidah yang berbunyi :
ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
“Jika suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.”
Sudah
diketahui bahwa terdapat kewajiban-kewajiban syariah yang tidak dapat
dilaksanakan secara sempurna oleh individu, seperti kewajiban
melaksanakan hudud, seperti hukuman had bagin pelaku zina dalam QS An
Nuur : 2; atau hukuman had bagi pencuri dalam QS Al Maidah : 38,
kewajiban jihad untuk menyebarkan Islam, kewajiban memungut dan
membagikan zakat, dan sebagainya. Kewajiban-kewajiban ini tak dapat dan
tak mungkin dilaksanakan secara sempurna oleh individu, sebab
kewajiban-kewajiban ini membutuhkan suatu kekuasaan (sulthah), yang
tiada lain adalah Khilafah. Maka kaidah syariah di atas juga merupakan
dalil wajibnya Khilafah.[19]
Berdasarkan
penjelasan di atas, Khilafah hukumnya wajib berdasarkan 4 (empat)
dalil, yaitu : Al Qur`an, As Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qaidah
Syar’iyyah.
Empat Pilar Negara Khilafah
Khilafah mempunyai empat pilar (qaidah)
yang mutlak wajib ada demi keberadaan dan kelangsungan keberadaan
Khilafah. Jika salah satu pilar ini tidak ada, berarti Khilafah tidak
ada atau telah berubah menjadi bentuk negara atau sistem pemerintahan
lain yang tidak Islami. Kedudukan empat pilar ini seperti halnya
rukun-rukun shalat, yang jika salah satu rukun itu tidak ada, maka
shalatnya tidak sah dan tidak diterima oleh Allah SWT.
Keempat pilar Khilafah ini adalah sebagai berikut [20] :
Pertama, kedaulatan di tangan syariah, bukan di tangan rakyat.
Kedua, kekuasaan di tangan umat.
Ketiga, mengangkat satu orang khalifah adalah wajib atas seluruh kaum muslimin.
Keempat,
hanya khalifah saja yang berhak melegislasikan hukum-hukum syara’, dan
khalifah saja yang berhak melegislasi UUD dan segenap UU.
Pilar pertama, kedaulatan adalah ditangan syariah (as siyadah li as syar’i),
dengan kata lain ialah bahwa yang berhak mengatur manusia hanyalah
Syariah Islam, bukan hukum yang lain. Sebab definisi kedaulatan (as siyadah, sovereignty)
adalah otoritas tertinggi yang bersifat mutlak yang merupakan
satu-satunya pihak yang berhak mengeluarkan hukum untuk mengatur
perbuatan manusia dan benda-benda yang digunakan manusia.[21]
Tak
ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dan seluruh umat Islam, bahwa
kedaulatan di tangan syariah, sebab kedaulatan di tangan syariah itu
artinya adalah hanya Allah SWT saja yang berhak menetapkan hukum bagi
manusia (lihat misalnya QS Al An’am : 57; QS Asy Syura : 10).[22]
Jika
pilar pertama tentang kedaulatan ini hilang, yakni kedaulatan berubah
menjadi di tangan rakyat, berarti Khilafah itu dengan sendirinya sudah
hancur dan berubah menjadi sistem demokrasi. Dalam demokrasi, kedaulatan
di tangan rakyat, yang berarti bahwa satu-satunya pihak yang berhak
mengatur hidup manusia adalah manusia itu sendiri, bukan Allah SWT.
Inilah perbedaan paling mendasar antara sistem Khilafah dan sistem
demokrasi. Dalam Khilafah, kedaulatan di tangan syariah. Sedang dalam
demokrasi, kedaulatan di tangan rakyat. Jelas demokrasi adalah paham
kufur yang sangat bertentangan dengan Islam.
Pilar kedua, menetapkan kekuasaan ada di tangan umat (as sulthan li al ummah). Kekuasaan (as sulthan) didefinisikan sebagai otoritas untuk menerapkan hukum-hukum dan perundang-undangan. Pilar kekuasaan ada di tangan umat (as sulthan li al ummah)
ini mengandung arti bahwa umatlah yang berhak memilih pemimpin yang
dikehendakinya untuk menjalankan kekuasaan. Hal ini dapat dipahami dari
hadis-hadis tentang baiat, bahwa seseorang tak menjadi pemimpin
(khalifah), kecuali dibaiat (dipilih) oleh umat. Juga dapat dipahami
dari hadis tentang pengangkatan pemimpin (ta`miir), yakni bahwa dalam
perjalanan oleh tiga orang, harus diangkat pemimpin (amir) oleh pihak
yang dipimpin (yakni umat). Inilah dalil-dalil yang menunjukkan bahwa
kekuasaan dalam Islam itu ada di tangan umat (as sulthan li al ummah).[23]
Jika
pilar tentang kekuasaan ini hilang, yaitu kekuasaan tak lagi di tangan
umat, misalnya berubah menjadi di tangan keluarga atau suku tertentu,
berarti Khilafah itu sudah hancur dan berubah menjadi sistem monarki
(kerajaan). Contoh sistem monarki adalah Kerajaan Saudi Arabia yang
kekuasaannya berada di tangan keluarga Ibnu Saud secara eksklusif.
Inilah perbedaan mendasar Khilafah dengan sistem monarki. Dalam
Khilafah, kekuasaan di tangan umat. Sedang dalam sistem monarki,
kekuasaan secara eksklusif dimiliki oleh keluarga tertentu.
Pilar
ketiga Khilafah, menetapkan bahwa mengangkat satu orang khalifah adalah
wajib atas seluruh kaum muslimin. Pilar ini mempunyai dua dimensi
pengertian. Pertama, khalifah yang diangkat wajib satu orang saja, tidak boleh lebih. Kedua, mengangkat khalifah itu sendiri adalah wajib hukumnya, bukan sunnah, mubah, dan sebagainya.[24]
Jika
pilar ini hilang dalam negara Khilafah, misalnya khalifah yang diangkat
ada dua orang, maka otomatis Khilafah telah hancur dan berubah menjadi
sistem lain. Sebab Syariah Islam telah mengharamkan membaiat dua orang
khalifah pada waktu yang sama, sesuai sabda Nabi SAW,”Jika dibaiat dua
orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR Muslim).
Jadi
pilar ketiga ini memastikan persatuan umat di bawah satu kepemimpinan.
Maka dari itu, jelas kelitu sekali kondisi umat Islam yang terpecah
belah dipimpin oleh banyak pemimpin sebagaimana dalam sistem
negara-bangsa (nation state)
sekarang ini. Demikian pula juga suatu kekeliruan jika mengangkat
khalifah tidak lagi dianggap sebagai kewajiban, atau malah dianggap
perbuatan criminal.
Pilar
keempat, menegaskan bahwa Khalifah mempunyai hak khusus dalam
melegislasikan hukum syara’ menjadi undang-undang yang berlaku umum dan
bersifat mengikat. Hal ini didasarkan pada Ijma’ Shahabat yang
melahirkan kaidah syar’iyah yang termasyhur,”Amrul Imam yarfa’ul khilaf.” (Perintah Imam [khalifah] menghilangkan perbedaan pendapat. Juga kaidah syar’iyah lain yang tak kalah masyhur,”Lil Imam an yuhditsa minal aqdhiyati bi qadri maa yahdutsu min musykilat.” (Imam [khalifah] berhak menetapkan keputusan baru sejalan dengan persoalan-persoalan baru yang terjadi).[25]
Jika
pilar keempat ini tidak ada, misalnya hak legislasi diserahkan kepada
lembaga legislatif, bukan menjadi hak khusus khalifah, maka Khilafah
hakikatnya sudah hancur dan berubah menjadi sistem demokrasi yang
menetapkan hak legislasi ada di tangan lembaga legislatif.
Penutup
Demikianlah
sekilas penjelasan tentang wajibnya Khilafah dan empat pilar Khilafah.
Diharapkan, umat Islam mulai terbuka mata hati dan pikirannya untuk
bersedia mempelajari dan mendukung ajaran Islam yang asli ini.
Umat
Islam tak boleh lagi tertipu oleh kaum liberal sekular yang terus
menerus menjajakan ide-ide kufur dan menyesatkan seperti sekularisme dan
demokrasi dari Dunia Barat yang memang sekular dan Kristen. Marilah
kembali ke konsep Khilafah, ajaran bernegara yang asli dari Islam,
walaupun orang-orang kafir dan munafik pasti akan membencinya. Wallahu a’lam.
*Makalah disampaikan dalam Seminar Khilafah Islamiyah, dengan tema Khilafah Solusi Terbaik Permasalahan Umat, diselenggarakan oleh HTI Bengkulu, di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Bengkulu, Minggu, 10 Juni 2012.
**DPP HTI (Dewan Pimpinan Pusat Hizbut Tahrir Indonesia).
CATATAN AKHIR :
[1] Abdul Qadim Zallum, Nizham Al Hukm fi Al Islam, 2002, hlm. 116-117.
[2] Sayyid Muhammad Habib Al Ubaidi Al Maushili, Hablul I’tisham wa Wujub Al Khilafah fi Diinil Islam, hlm. 70-71; Hisyam Al Badrani, An Nizham As Siyasi Ba’da Hadm Daulah Al Khilafah, hlm. 46.
[3] Lihat Ath Thabrani, Al Mu’jam Al Shaghir no 794; dalam Al Mu’jam Al Kabir, juz 20 hlm. 76; no 172; Ibnu Hajar Al Haitsami, Majma’uz Zawa`id, Juz 5 hlm. 225-226.
[4] Lihat Musnad Ahmad, 1/251; Shahih Ibnu Majah no 257; Al Hakim dalam Al Mustadrak, 4/92; disahihkan oleh Nashiruddin Al Albani, Shahih Al Jami’ As Shaghir no. 4951, Juz 5 hlm.15.
[5] Sangat menyedihkan kaum liberal yang dangkal pikirannya terus menerus menggunakan kitab Al Islam wa Ushul Al Hukm karya
Ali Abdur Raziq untuk membodohi umat Islam bahwa Islam tidak
mengajarkan konsep Negara (Khilafah). Padahal sudah banyak kitab yang
mengkritik secara telak kitab tersebut, misalnya : Muhammad Imarah, Al Islam wa Ushul Al Hukm li Ali Abd Ar Raziq Dirasah wa Watsa`iq, (Beirut : Al Mu`assah Al Arabiyah), 2000; Ruysdi Ilyan, Al Islam wa Al Khilafah, (Baghdad: Darus Salam), 1976; Sayyid Taqiyuddin Sayyid, Radd Hai`ah Kibar Al ‘Ulama ‘Ala Kitab Al Islam wa Ushul Al Hukm li Ali Abd Ar Raziq, (Kairo : t.p), 1414 H; Muhammad Thahir bin ‘Asyur, Naqd ‘Ilmi li Kitab Al Islam wa Ushul Al Hukm, (Kairo : Mathba’ah Salafiyah), 1344 H; Muhammad Imarah, Naqdh Kitab Al Islam wa Ushul Al Hukm li Syaikh Al Islam Muhammad Khidhir Al Husain, (Kairo : Dar Nahdhah Mishr), 1998.
[6] Lihat Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji, Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 35. Lihat juga Ibnu Khaldun,Muqaddimah, hlm. 190.
[7] Taqiyuddin An Nabhani, As Syakhshiyah Al Islamiyah, (Beirut : Darul Ummah), 2003, Juz 2 hlm. 14
[8] Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah, Bab Definisi Imarah, Juz 6 hlm.149.
[9] Hizbut Tahrir, Afkar Siyasiyah, 1994, hlm. 7-9.
[10] Hizbut Tahrir, Afkar Siyasiyah, 1994, hlm. 7-9.
[11] Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah, Bab Al Imamah Al Kubro, Juz 6 hlm. 163.
[12] Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah, Bab Al Imamah Al Kubro, Bab Al Imamah Al Kubra, Juz 6 hlm. 164.
[13] Abdul Qadim Zallum, Nizhamul Hukm fi Al Islam, hlm. 34.
[14] Ibnu Hazm, Al-Fashlu fi Al Milal wal Ahwa` wan Nihal, Juz 4 hlm.78
[15] Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji, Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49.
[16] Ibid. hlm. 50.
[17] Ibid. hlm. 51.
[18] Ibid. hlm. 52.
[19] Ibid., hlm. 61.
[20] Lihat pembahasan empat pilar Khilafah dalam Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawa’id Nizham Al Hukm fi Al Islam,
(Kuwait : Darul Buhuts Al Ilmiyah), 1980. Kitab ini adalah pengembangan
dari konsep Hizbut Tahrir yang terdapat dalam kitab-kitab Hizbut
Tahrir, seperti Nizham Al Hukm fi Al Islam, 2002; atauMuqaddimah Ad Dustur,
2010, dan sebagainya. Pada gilirannya, kitab Mahmud Abdul Majid Al
Khalidi itu lalu dirujuk oleh ulama lain, seperti Dr. Shalah as Shawi,
dalam kitabnya Nazhariyah As Siyadah.
[21] Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawa’id Nizham Al Hukm fi Al Islam, (Kuwait : Darul Buhuts Al Ilmiyah), 1980, hlm. 24; lihat kitabnya yang lain,Naqdh An Nizham Ad Dimuqrathi, (Beirut : Darul Jiil; Amman : Maktabah Al Muhtasib), 1984, hlm. 30. Lihat juga Shalah As Shawi, Nazhariyah As Siyadah wa Atsaruha ‘Ala Syar’iyyah Al Anzhimah Al Wadh’iyyah, hlm. 10.
[22] Shalah As Shawi, Nazhariyah As Siyadah wa Atsaruha ‘Ala Syar’iyyah Al Anzhimah Al Wadh’iyyah, hlm. 31-32.
[23] Abdul Qadim Zallum, Nizham Al Hukm fi Al Islam, 2002, hlm. 41-42.
[24] Abdul Qadim Zallum, Nizham Al Hukm fi Al Islam, 2002, hlm. 43-44
[25] Abdul Qadim Zallum, Nizham Al Hukm fi Al Islam, 2002, hlm. 44-45.
[1] Ibnu Hazm, Al-Fashlu fi Al Milal wal Ahwa` wan Nihal, Juz 4 hlm.78[khoirunnisa-syahidah.blogspot.com]
Posting Komentar