apa hukumnya asuransi syariah?Apakah memang sudah sesuai syariah? (Farid Ma’ruf, Bantul).
Jawab :
Asuransi
syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara
sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau
tabarru’ (hibah) yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi
risiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah, yaitu akad yang
tak mengandunggharar (penipuan), perjudian, riba, penganiayaan/ kezaliman, suap, barang haram dan maksiat. (Fatwa DSN No 21/DSN-MUI/IX/2001, hlm. 5; Al Ma’ayir Al Syar’iyah, AAOIFI, 2010, hlm. 376).
Dalil-dalil
asuransi syariah antara lain dalil tolong menolong (QS Al Maidah : 2)
dan dalil tabarru’ (hibah). Ada dalil hadis yang diklaim sebagai dasar
asuransi syariah, yakni hadis tentang Kaum Asy’ariyin. Dari Abu Musa
Asy’ari RA, ia berkata,”Nabi SAW bersabda,’Kaum
Asy’ariyin jika mereka kehabisan bekal dalam peperangan atau jika
makanan keluarga mereka di Madinah menipis, mereka mengumpulkan apa yang
mereka miliki dalam satu lembar kain kemudian mereka bagi rata di
antara mereka dalam satu wadah, mereka itu bagian dariku dan aku pun
bagian dari mereka (HR Muttafaq ‘alaih). (Abdus Sattar Abu Ghuddah, Nizham At Ta`min At Takafiuli min Khilal Al Waqf, hlm. 3).
Dalam asuransi syariah tanpa tabungan (non saving),
seluruh premi yang dibayarkan peserta asuransi menjadi dana tabarru’
(hibah), yang dikelola oleh perusahaan asuransi berdasar akad wakalah bil ujrah. Peserta mendapat dana pertanggungan dari dana tabarru’ tersebut.
Sedang dalam asuransi syariah dengan tabungan (saving),
premi yang dibayarkan dibagi dua; (1) dana untuk tabarru’, dan (2) dana
untuk investasi. Dana tabarru’ dikelola perusahaan asuransi yang
mendapat ujrah (fee) berdasar akad wakalah bil ujrah.
Peserta mendapat dana pertanggungan dari dana tabarru’ tersebut. Dana
investasi dikelola perusahaan asuransi dengan akad mudharabah /
musyarakah.
Menurut kami, asuransi syariah ini hukumnya haram, karena 4 (empat) alasan sbb : Pertama,
dalil hadis Asy’ariyin yang digunakan tak tepat. Sebab dalam hadis
tersebut, bahaya terjadi lebih dahulu, baru terjadi proses ta’awun
(tolong menolong). Sedang pada asuransi syariah, ta’awun dilakukan lebih
dahulu, padahal bahayanya belum terjadi sama sekali. Menurut Syaikh
‘Atha` Abu Rasyta, menggunakan hadis Asy’ariyin sebagai dasar asuransi
syariah adalahistidlal yang keliru. (Ajwibatu As`ilah, 7/6/2010).
Kedua, akad
hibah (tabarru’) dalam asuransi ayariah tak sesuai dengan pengertian
hibah. Sebab hibah dalam pengertian syar’i adalah memberikan kepemilikan
tanpa kompensasi (tamliik bilaa ‘iwadh). (Imam Syaukani, Nailul Authar, Bab Hibah,
Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000, hlm. 1169). Sementara dalam asuransi
ayariah, peserta asuransi memberikan dana hibah, tapi mengharap mendapat
kompensasi (‘iwadh / ta’widh),
bukannya tak mengharap. Ini sama saja dengan menarik kembali hibah yang
diberikan yang hukumnya haram, sesuai sabda Nabi SAW,”Orang yang
menarik kembali hibahnya, sama dengan anjing yang menjilat kembali
muntahannya.” (HR Bukhari & Muslim). (Yahya Abdurrahman, Asuransi dalam Tinjauan Syariah, hlm. 42).
Ketiga, tak sesuai dengan akad dhaman (pertanggungan) dalam fiqih Islam. Sebab pada asuransi syariah, hanya ada dua pihak, bukan tiga pihak sebagaimana dhaman. Dua pihak tersebut: Pertama, penanggung (dhamin), yaitu peserta asuransi; kedua, pihak yang mendapat tanggungan (madhmun lahu), yaitu juga para peserta asuransi. Jadi dalam asuransi syariah tak terdapat pihak ketiga, yaitu pihak tertanggung (madhmun anhu).
Keempat, terjadi penggabungan dua akad menjadi satu akad (uqud murakkabah,
multiakad), yaitu penggabungan akad hibah, akad ijarah, dan akad
mudharabah. Padahal multiakad telah dilarang dalam syariah. Diriwayatkan
oleh Ibnu Mas’ud RA bahwa Nabi SAW melarang dua kesepakatan (akad)
dalam satu kesepakatan (akad). (HR Ahmad, hadis sahih). (Taqiyuddin
Nabhani, Al Syakhshiyah Al Islamiyah, 2/308). Wallahu a’lam.(Ustadz Siddiq al Jawi) [khoirunnisa-syahidah.blogspot.com]
Posting Komentar