khoirunnisa-syahidah.blogspot.com - Semua
orang pasti sudah merasakan penderitaan. Kita pernah merasakan sakit
hati, kecewa, dan bahkan dikhianati. Itu luka hati. Di antara kita
pernah juga luka fisik. Mungkin pernah juga ditimpa penyakit yang
berat, atau bahkan sejak lahir sudah cacat. Apa yang kamu lakukan saat
tertekan dan menderita?
Kamu
terbiasa mengeluh? Menyalahkan keadaan? Atau malah menyalahkan orang
lain yang kamu anggap punya andil dalam kegagalan dan penderitaan kamu?
Pada
praktiknya banyak di antara kita yang sering ambil jalan pintas yang
paling mudah, yakni mengarahkan telunjuk kita keluar. Celakanya lagi,
banyak yang tak mau sedikitpun berusaha untuk interospeksi. Ada yang
reaktif menyerang pihak lain, tak sedikit yang bisanya hanya mengeluh
dan mengeluh.
Bro
en Sis, nggak usah malu untuk mengakui bahwa diri kita tidaklah
sempurna. Kegagalan adalah hal biasa. Kekalahan bukanlah akhir dari
segalanya. Kecewa dan sedih bukanlah kiamat. Selama kita mau menghadapi
kenyataan dengan realistis dan berusaha untuk mengubahnya, insya Allah
masih ada waktu untuk memperbaikinya. So, tak perlu
mengeluhkannya atau malah membuat kita hancur lebur di mata orang lain
karena kita selalu menyalahkan mereka yang dianggap andil dalam
kegagalan kita atau ketidakmampuan kita.
Interospeksi diri
Pernah
dengar kan istilah buruk muka cermin dibelah? Yup, ungkapan ini cocok
untuk menggambarkan orang yang nggak biasa berlapang dada. Kalo emang
kalah, harusnya akui kekalahan. Kalo emang salah, akui kesalahan. Tak
perlu juga mengeluh atau membela diri. Sportif gitu lho.
Jangan malah ngamuk-ngamuk untuk menuding orang lain sebagai biang
kegagalan dan kesalahan kita. Padahal, kitanya aja yang emang lemah dan
nggak mampu.
Sikap
lapang dada ini harus dipupuk sejak anak-anak. Kejujuran dan mau
mengakui keunggulan orang lain harus dibiasakan sejak usia dini. Atau,
kalo pun sekarang kita udah pada gede, maka mulailah belajar untuk
lapang dada. Belum telat kok. Sebab, daripada capek-capek menyalahkan
orang lain, kan mendingan mengevaluasi kemampuan diri sendiri. Simpel.
Mudah pula. Betul?
Saya pernah tuh dimarahin waktu kerja di sebuah perusahaan supplier
bahan kimia dan peralatan untuk laboratorium di Jakarta, ketika saya
sekadar menasihati atasan saya untuk tidak melakukan aktivitas suap.
Karena memang dalam Islam nggak boleh. Eh, bukannya kemudian diskusi
untuk mencari titik temu atau paling nggak menanyakan lebih lanjut, dia
malah bilang, “Saya tuh empat tahun nyantri di … (sensor: pokoknya
pesantren terkenal di negeri ini). Tapi nggak fanatik kayak kamu”.
Wacks!
Dia
bilang begitu mungkin karena melihat saya yang lulusan sekolah
kejuruan, bukan pesantren. Padahal, kalo mau berlapang dada, kan bisa
nanya baik-baik, “Memangnya kamu tahu dari mana? Bagaimana
penjelasannya?”. Kan bisa diskusi tuh. Jangan langsung bilang begitu
sampe kudu banding-bandingin lamanya nyantri segala. Sebab, sangat
percuma juga nyantri empat tahun atau mungkin lebih kalo di pesantren
kerjanya cuma tidur melulu. Atau kalo pun belajar, tapi nggak serius.
Setiap ikutan kajian cuma masuk telinga kanan, keluar lagi telinga kiri.
Sehingga materi pelajaran tuh dibiarkan memantul sempurna alias nggak
ada yang masuk. Gimana mo pinter?
Sikap
lapang dada untuk menerima masukan itu sebenarnya nggak susah. Kalo
memang kita mau terus merenung dan mengevaluasi kondisi kita. Kita ini
kan manusia. Punya kelemahan dan keterbatasan. Itu sebabnya,
membutuhkan dukungan yang lain. Dan, yang biasanya lebih mudah menilai
kita ya orang lain. Ibarat cermin, kita itu akan dilihat oleh orang
lain. Kan belum ada ceritanya kita bisa ngelihat wajah kita sendiri kalo
nggak pake cermin atau benda sejenisnya yang bisa memantulkan gambaran
diri kita. Iya kan?
Cermin
memantulkan wajah asli kita. Begitu pun orang-orang di sekitar kita
yang akan memberikan masukan kepada kita. Kalo kita salah, maka di
antara mereka ada yang ngasih tahu kita. Jangan merasa menang sendiri.
Coba deh, misalnya kita udah makan es cendol. Terus, lupa membersihkan
mulut, kumis dan jenggot. Ketika ada orang yang bilang, “Mas, tuh ada
cendol yang nyangkut di jenggot!”. Nah, karena kita nggak bawa cermin,
orang lain yang lihat itulah yang mengingatkan karena tahu wajah kita
dan tahu penampilan diri kita. Maka, dengan lapang dada kita ngucapin
terima kasih. Betul? Tetapi kalo kita malah marah diingatkan, itu sih
namanya nggak tahu diri.
Sama
halnya ketika kita berbuat maksiat, kemudian ada orang lain yang
mengingatkan kita. Sikap yang bagus tentunya kita berterima kasih
karena ada orang yang mau mengingatkan kita. Sikap yang sama sekali
nggak elok dan mungkin bisa dibilang bodoh adalah malah balik menyerang.
“Kamu tahu apa sih tentang agama? Jangan khotbah di depan saya!” Wah,
itu namanya nggak lapang dada. Tapi melakukan argumentum ad hominem alias argumentasi melawan orang. Yakni menimpakan kesalahan, kekesalan, dan kegagalan pada orang lain.
Terima kenyataan tapi jangan menyerah
Bro
en Sis, selain kita kudu interospeksi, kita juga jangan putus asa.
Interospeksi diperlukan agar kita mau sadar atas apa yang telah kita
perbuat. Tetapi tentu saja nggak cukup cuma menyadari. Masih ada agenda
yang harus dilakukan, yakni berusaha untuk memperbaiki kondisi dan
jangan pernah menyerah.
Kata
pepatah hidup ini nggak selamanya bisa memilih. Adakalanya kita harus
rela menerima, sepahit apa pun kenyataannya. Nikmati saja. Nggak usah
bingung, nggak usah jadi beban. Anggap saja kegagalan ini bagian dari
dinamika hidup. Orang-orang yang lebih sentimentil suka bilang, ini
seninya hidup. Duilee.. kedengarannya indah banget ya? Tapi bagus tuh,
selain menghibur diri, juga belajar menikmati dengan senang hati
terhadap sesuatu yang sebenarnya tak kita inginkan dan tak kita
harapkan.
Kamu
pernah nggak mengeluh ketika ditugaskan oleh ketua OSIS atau Rohis di
sekolah? Bagi mereka yang suka mengeluhkan tugas-tugas yang dibebankan
kepadanya, alasannya seringkali banyak. Padahal intinya kamu manja
campur malas. Misalnya, disuruh ngisi pengajian. Gaga-gara nggak ada
sepeda motor lalu kamu malas. Tetapi untuk menutupi kemalasanmu, kamu
berusaha self defence. Bahkan kemanjaan kamu ditampakkan juga
dengan sedikit menimpakan kesalahan ke orang lain dengan beralasan,
“Nih sepeda motor teman saya dipake bapaknya, jadi teman saya nggak
bisa nganter saya deh ke pengajian. Lagi pula nih tiba-tiba penyakit
maag saya kambuh.” Waduh! Kesannya emang jadi mendramatisir. Mengeluh
dan sekaligus nyalahin orang.
Kondisi
yang ‘mengkhawatirkan’ lainnya adalah, kalo kita berada pada posisi
yang benar-benar menderita dalam kegagalan, tetapi kita mengeluh terus
ketimbang berusaha mengubah kondisi itu. Setiap orang emang berbeda
dalam cara meresponnya. Itu semua bergantung kepada pengalamannya dalam
menikmati hidup ini. Bagi mereka yang kurang ‘terampil’ dan selalu
lurus-lurus aja dalam hidupnya, maka bisa dipastikan, ia akan kaget
berat menghadapi beratnya ujian. Beda ama yang udah biasa “pahit”, ia
akan lebih dewasa dan bijak dalam bersikap. Tidak ada keluhan, yang
muncul selalu optimis.
Yakinlah
sobat, kalo kamu menghadapi persoalan sulit, dan jika kamu harus
menelan rasa kecewa yang emang pahit itu, nikmati sajalah sebagai
bagian dari dinamika hidup kita. Nikmati apa adanya. Yakin saja bahwa
kamu bisa lolos dari tekanan itu atas pertolongan Allah Swt.
Kita
harus yakin bahwa kita masih selalu bisa memperbaiki. Siapa tahu
“ketahan-malangan” itu akan berguna di masa depan. Yakin saja sobat!
Suatu saat kita akan terbiasa, dan terus mencari solusinya.
Badai pasti berlalu
Sobat
muda muslim, satu hal yang perlu ditanamkan dalam diri kita adalah,
rasa pasti bahwa kehidupan ini akan normal kembali, meskipun mungkin
dalam beberapa kondisi kayaknya bisa dibilang tak menentu. Tapi
yakinlah, itu hanya sementara waktu saja. Ibarat penyakit mah, dalam tahap pemulihan. Ibarat badai, pasti akan berlalu.
Bila
kegagalan itu sangat membuatmu patah semangat dan patah hati, jangan
mengeluh. Tetapi cobalah berani untuk membagi kesedihan dengan orang
lain. Paling nggak dengan orang yang dekat denganmu. Insya Allah,
dengan adanya shoulder to cry on—bahu untuk menangis, kita bisa
menumpahkan segala kesedihan, amarah, termasuk emosimu yang lainnya
setelah kegagalan itu kepada orang terdekat kita. Meskipun mungkin
sangat sulit untuk memulainya. Tapi, cobalah lebih dekat dengan
orang-orang yang spesial bagimu; kakakmu, ibumu, ayahmu, guru pengajian,
guru di sekolah, atau bahkan dengan teman kamu yang kamu anggap cocok
untuk curhat. Insya Allah bisa membantu.
So,
jangan pernah terus mengurung diri dalam rasa kecewa yang amat dalam.
Gagal itu biasa. Tapi berusaha terus, itu yang luar biasa. Jangan
menyerah. Yakin saja, bahwa peristiwa itu akan sirna seiring perjalanan
waktu, kepedihan perlahan-lahan akan lenyap sejalan dengan berlalunya
waktu. Karena emang kegagalan bukanlah akhir dari segalanya.
Oya,
kamu juga bakal mengerti bahwa dalam upaya menghadapi sebuah
kegagalan, kamu akan menjadi lebih kuat, lebih mudah beradaptasi, dan
tentunya akan lebih pede menjalani hidup ini. Teruslah berusaha untuk
berhasil. Lupakan kegagalan. Tak perlu mengeluh. Selain itu, kamu kudu
berhenti mencari alasan untuk sebuah kegagalan. Jangan menyalahkan orang
lain atas kegagalanmu atau ketidakmampuanmu melakukan sesuatu. Ok?
Kenapa
harus berhenti mencari alasan? Saya menemukan sebuah pernyataan bagus
dalam sebuah artikel motivasi yang dikirim seorang teman via e-mail. Di
situ disebutkan bahwa kalo kamu fokus mencari alasan untuk sebuah
kegagalan, kamu bisa temukan berjuta-juta dengan mudahnya. Namun,
alasan tetaplah alasan. Ia takkan mengubah kegagalan menjadi
keberhasilan. Kerapkali, alasan serupa dengan pengingkaran. Semakin
banyak menumpuk alasan, semakin besar pengingkaran pada diri sendiri.
Ini menjauhkan kamu dari keberhasilan; sekaligus melemahkan kekuatan
diri sendiri. Berhentilah mencari suatu alasan untuk menutupi
kegagalan. Mulailah bertindak untuk meraih keberhasilan.
Dalam
artikel itu pun dijelaskan bahwa belajarlah dari penambang yang tekun
mencari emas. Ditimbanya berliter-liter tanah keruh dari sungai. Ia
saring lumpur dari pasir. Ia sisir pasir dari logam. Tak jemu ia
lakukan hingga tampaklah butiran emas berkilauan. Begitulah semestinya
kamu memperlakukan kegagalan. Kegagalan itu seperti pasir keruh yang
menyembunyikan emas. Bila kamu terus berusaha, tekun mencari perbaikan
di sela-sela kerumitan, serta berani menyingkirkan alasan-alasan, maka
kamu akan menemukan cahaya kesempatan. Hanya mencari alasan, sama saja
dengan membuang pasir dan semua emas yang ada di dalamnya.
Kita
bisa mencontoh usaha tak kenal lelah Rasulullah saw. yang berjuang 13
tahun di Mekkah untuk menyebarkan Islam. Bukan tanpa kegagalan, tapi
Rasulullah saw. selalu dapat bangkit kembali. Perjuangan beliau 10
tahun di Madinah pun, banyak menuai kegagalan. Tapi Rasulullah saw. tak
gentar. Dakwahnya yang sering dicemooh kaum kafir Quraisy, beliau
jadikan sebagai cambuk untuk terus melaju. Hasilnya? Sampai sekarang
Islam menjelma menjadi sebuah kekuatan yang wajib diperhitungkan
pejuang ideologi lain.
So,
jika menghadapi kesulitan dan kerumitan dalam hidup, jangan menyerah,
jangan mengeluh, jangan menyalahkan orang lain atas penderitaan kita.
Bersikaplah realistis. Kita memang manusia. Punya kelemahan dan tentu
saja keterbatasan. Keluhan tak ada artinya tanpa ada perbuatan untuk
mengubahnya. Apalagi selalu mengeluh. Awalnya sih bisa dianggap wajar
karena manusia kalo menderita ya langsung merespon dengan berbagai
ungkapan dan perilaku, termasuk mengeluh. Tetapi kalo ngeluh terus dan
selalu nyalahin orang lain, gimana kita mau belajar mencambuk diri
kita? Iya kan? Kamu bisa kan mengubah dan memperbaiki diri menjadi yang
terbaik? Insya Allah bisa selama kamu mau berusaha.
Bener
banget! Tak sedikit yang berusaha bangkit, dan akhirnya mereka
berhasil. Namun banyak juga yang sudah berkali-kali bangkit tapi harus
jatuh pula berkali-kali. Mereka mengeluh? Ada yang mengeluh. Namun tak
sedikit yang tetap fokus pada apa yang ingin diraihnya dan alhamdulillah
berhasil. Maka, kuncinya adalah meluruskan niat, maksimalkan ikhtiar
dan yakinlah bahwa Allah Swt akan menyempurnakannya dengan keberhasilan
yang kita raih. Insya Allah.[solihin: osolihin@gaulislam.com]
[khoirunnisa-syahidah.blogspot.com]
Posting Komentar