
Said
Aqil juga menyatakan bahwa ideologi yang bertentangan dengan ideologi
bangsa Indonesia adalah subversif yang tidak boleh leluasa hidup
mengembangkan ajarannya dinegara Pancasila ini.
Mengherankan
Pernyataan
itu jelas sesuatu yang mengherankan. Pernyataan itu bertolak belakang
dengan pandangan para imam madzhab, mujtahidin dan para fuqoha.
Mayoritas imam madzhab, mujtahidin dan fuqoha sepakat ihwal kewajiban
menegakkan khilafah. Hanya golongan sempalan yang mengingkari kewajiban
yang mulia ini. Apalagi jumhur ahlus sunnah telah menyatakan
kewajibannya. Berikut kami kutipkan sebagian kecil saja perkataan para
ulama salaf mengenai kewajiban menegakkan khilafah.
Al-’Allamah
Abu Zakaria an-Nawawi, dari kalangan ulama mazhab Syafii, mengatakan,
“Para imam mazhab telah bersepakat, bahwa kaum Muslim wajib mengangkat
seorang khalifah.” (Imam an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, XII/205).
Ulama
lain dari mazhab Syafii, Imam al-Mawardi, juga menyatakan, “Menegakkan
Imamah (Khilafah) di tengah-tengah umat merupakan kewajiban yang
didasarkan pada Ijmak Sahabat. (Imam al-Mawardi, Al-Ahkâm
as-Sulthâniyyah, hlm. 5).
Sungguh
mengherankan bila ada seorang yang mengaku alim namun mengingkari
pendapat para ulama madzhab. Apalagi mereka yang mengaku-aku sebagai
ahlus sunnah wal jama’ah semestinya mengetahui bahwa perkara ini adalah
bagian dari ma’lumun min ad-din bi adl-dlarurah.
Perkara yang telah diketahui urgensitasnya. Para pecinta ahlus sunnah
seharusnya berada di garda terdepan dalam perjuangan penegakkan khilafah
dan syariat, karena para ulama ahlus sunnah memang telah mewajibkan hal
demikian.
Imam
Ibnu Hazm mengatakan, “Mayoritas Ahlus-Sunnah, Murjiah, Syiah dan
Khawarij bersepakat mengenai kewajiban menegakkan Imamah (Khilafah).
Mereka juga bersepakat, bahwa umat Islam wajib menaati Imam/Khalifah
yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah-tengah mereka dan
memimpin mereka dengan hukum-hukum syariah yang dibawa Rasulullah saw.”
(Ibnu Hazm, Al-Fashl fî al-Milal wa al-Ahwâ’ wa an-Nihal, IV/87).
Demikian pula Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar jilid
8 hal. 265 menyatakan: “Menurut golongan Syiah, minoritas Mu’tazilah,
dan Asy A’riyah, (Khilafah) adalah wajib menurut syara’.” Ibnu Hazm
dalam Al Fashl fil Milal Wal Ahwa’ Wan Nihal juz
4 hal. 87 mengatakan: “Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh
Murji`ah, seluruh Syi’ah, dan seluruh Khawarij, mengenai wajibnya Imamah
(Khilafah).”
Pernyataan
di atas sekaligus menolak realitas bahwa khilafah Islamiyyah dan
penerapan syariat Islam telah lama hadir di Nusantara, sebelum
dihancurkan kolonial Kristen Portugis dan Belanda, lalu mereka
menggantikannya dengan sekulerisme dan demokrasi. Kesultanan Islam
seperti Sriwijaya Islam, Mataram Islam, Samudera Pasai hingga Jayakarta
yang diperintah oleh Fatahillah adalah realitas sejarah kegemilangan
Islam di tanah air.
Juga
bagaimana para alim ulama rela menjadi martir syuhada melawan
penjajahan Barat yang menyebarkan sekulerisme dan misi zending Kristen
ke seantero Nusantara. Sosok Pangeran Diponegoro yang menobatkan dirinya
sebagai Sultan Abdulhamid Erucakra Sayidin Panatagama Khalifat
Rasulullah Sayidin Panatagama, menunjukkan jati dirinya sebagai pemimpin
yang berjiwa Islam dan memperjuangkan pelaksanaan syariat Islam melawan
VOC Belanda.
Sikap
ini juga bertentangan dengan pendiri Nahdlatul Ulama KH Wahab Hasbullah
yang turut berpartisipasi dalam Kongres Khilafah pada bulan Febuari
1926. Sayangnya acara tersebut disabotase oleh kolonial Inggris melalui
antek mereka Ibnu Saud, penguasa Hijaz.
Satu-satunya
alasan mengapa muncul pernyataan yang kontradiksi dengan pendapat para
ulama salafush sholeh, adalah motif politik tidak terpuji dari pembicara
untuk mendiskreditkan ajaran Islam dan para pejuang syariah. Motif ini
adalah mata rantai imperialisme Barat terhadap dunia Islam yang
memanfaatkan sejumlah tokoh Islam dan politisi muslim untuk melawan arus
kebangkitan Islam.
Barat
telah memahami sejak lama bahwa upaya menghancurkan Islam tidak bisa
dilakukan melalui jalur militer, akan tetapi harus dimulai dari akar
perjuangannya, yakni ajaran Islam. Maka bermunculanlah studi-studi
orientalisme yang bertujuan menghujamkan pisau beracun berupa perang
pemikiran dan peradaban terhadap kaum muslimin yang telah meninggalkan
dien mereka.
Di
antara serangan berbahaya yang mereka lakukan adalah mendidik kaki
tangan mereka dari kalangan pemikir dan politisi muslim untuk
mengkampanyekan sekulerisme. Bila pemikiran sekulerisme dapat
diinduksikan ke dalam pemikiran umat, maka agama dan kehidupan akan
terpisah. Selanjutnya akan terjadi pemisahan agama dari negara dan
aturan politik. Berikutnya sistem kenegaraan dan sistem politik dunia
Islam akan digantikan dengan ajaran demokrasi yang memiliki beragam
derivatnya. Seperti di tanah air, pemikiran demokrasi disulap menjadi
demokrasi ala Indonesia sebagaimana ajaran sesat HAM pun dimodifikasi
agar dapat diterima oleh rakyat Indonesia.
Demokrasi memang mensyaratkan sekulerisme secara mutlak. Luthfie asy-Syaukanie dalam situsnya menulis artikel bertajuk Berkah Sekulerisme.
Di dalamnya terdapat pernyataan sebagai berikut, “Sebuah demokrasi yang
baik hanya bisa berjalan jika ia mampu menerapkan prinsip-prinsip
sekularisme dengan benar. Sebaliknya, demokrasi yang gagal atau buruk
adalah demokrasi yang tidak menjalankan prinsip-prinsip sekularisme
secara benar.”
Andaipun
tidak disingkirkan, maka agama akan dipaksa untuk ditafsirkan ulang
agar sesuai dengan keinginan demokrasi. Seperti yang ditulis Nader
Hashemi seorang Asisten Profesor dalam bidang kajian Timur Tengah dan
Politik Islam, University of Denver. Dalam bukunya Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberalia
menyatakan bahwa “reinterpretasi ide-ide keagamaan menjadi amat penting
bagi kehidupan demokrasi liberal yang kondusif”. Apa yang disampaikan
Said Aqil hanyalah riak kecil dari gelombang westernisasi dan
depolitisasi Islam.
Pernyataan
di atas bisa diniai bukan hanya depolitisasi Islam, tetapi lebih dari
itu bisa dinilai sebagai deislamisasi. Sayangnya pernyataan seperti itu
keluar dari lisan orang yang dianggap tokoh dan ulama. Pernyataan
demikian sangat berbahaya dan potensi daya rusaknya sangat besar.
Rasulullah saw memperingatkan dari keburukan yang berasal dari ulama dan
menyebutnya sebagai seburuk-buruk keburukan. Imam ad-Darimi
meriwayatkan dari al-Akhwas bin Hakim dari bapaknya :
سَأَلَ
رَجُلٌ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الشَّرِّ فَقَالَ :« لاَ
تَسْأَلُونِى عَنِ الشَّرِّ وَسَلُونِى عَنِ الْخَيْرِ ». يَقُولُهَا
ثَلاَثاً ، ثُمَّ قَالَ :« أَلاَ إِنَّ شَرَّ الشَّرِّ شِرَارُ
الْعُلَمَاءِ ، وَإِنَّ خَيْرَ الْخَيْرِ خِيَارُ الْعُلَمَاءِ »
Seorang
laki-laki bertanya kepada Nabi saw tentang keburukan. Rasul bersabda:
“jangan kamu tanya aku tentang keburukan dan tanyai aku tentang
kebaikan”. Beliau mengatakannya tiga klai. Kemudian beliau bersabda:
“ingatlah, sesungguhnya seburuk-seburuk keburukan adalah keburukan ualam
dan sesungguhnya sebaik-baik kebaikan adalah kebaikan ulama”.
Imam al-Ghazali di dalam Ihyâ’Ulûmuddîn menjelaskan:
“ulama itu ada tiga golongan. (Golongan) Ulama yang mencelakakan
dirinya sendiri dan orang lain, dan mereka adalah yang terang-terangan
mencari dunia dan mencurahkan perhatian terhadap dunia. Atau (golongan)
ulama yang membahagiakan dirinya dan orang lain. Mereka adalah yang
menyeru makhluk kepada Allah baik secara zahir maupun batin. Atau
(golongan) ulama yang mencelakakan dirinya sendiri tapi menyenangkan
orang lain dan dia adalah yang mengajak kepada akhirat dan bisa jadi ia
menolak dunia pada zahirnya sementara maksudnya pada batin adalah
(mencari) penerimaan makhluk dan mencari kedudukan. Maka perhatikan
termasuk golongan manakah kamu …”.
Imam
al-Ghazali juga mengingatkan: ” … inilah jejak langkah para ulama dan
tradisi mereka dalam melakukan amar makruf nahi mungkar dan minimnya
atensi mereka kepada kekuasaan penguasa. Akan tetapi mereka
menyandarkan diri pada karunia Allah agar Allah menjaga mereka. Mereka
rela dengan keputusan Allah SWT agar Allah memberi mereka rezki
kesyahidan. Maka ketika mereka memurnikan niyat kepada Allah, ucapan
mereka pun membekas di dalam hati yang keras sehingga melunakkannya dan
menghilangkan kekerasan hati itu. Adapun sekarang, ketamakan telah
membelenggu lisan ulama sehingga mereka diam. Jika pun mereka
berbicara, perikeadaan mereka tidak bsia membantu ucapan mereka, maka
mereka pun tidak berhasil. Andai mereka benar (jujur) dan memaksudkan
hak ilmu niscaya mereka beruntung. Jadi rusaknya rakyat karena rusaknya
penguasa dan rusaknya penguasa adalah karena rusaknya ulama. Dan
rusaknya ulama adalah karena dikuasai cinta harta dan kedudukan. Siapa
saja yang dikuasai oleh kecintaan kepada dunia maka dia tidak akan mampu
meluruskan hal-hal yang remeh sekalipun, lalu bagaimana mungkin akan
bisa meluruskan para raja (penguasa) dan orang-orang besar. Dan Allah
adalah tempat meminta bantuan atas segala keadaan” (Ihyâ’ Ulûmuddîn, jus 7 hal 92).
Syaikh
Abdul Aziz al-Badri, seorang ulama dari Baghdad yang syahid dalam
rangka amar makruf nahi mungkar kepada Saddam Husain, dalam bukunya al-Islâm bayna al-‘Ulamâ wa al-Hukkâm hal
62 mengatakan: “disini harus dikatakan, bahwa standar dan timbangan
untuk mengetahui keberadaan seorang alim sebagai orang fasid atau shalih
dan keberadaan penguasa apakah seorang zalim atau adil, adalah Islam
dan bukan yang lain dan tidak ada yang lain yang bersama Islam.
Aktifitas
ulama dan perbuatan penguasa, tindakan dan perilaku mereka di dalam
kehidupan dan terhadap masyarakat dan penentuan sikap sebagian mereka
kepada sebagian yang lain, semua itu ditimbang dengan timbangan Islam
dan distandarisasi dengan standar syara’. Maka sampai tingkat maka
mereka terikat kepada Islam dan menerapkannya, mengemban dakwahnya,
pemeliharaan mereka terhadap hukum-hukumnya dan pelayanan mereka kepada
para pengikut Islam maka setingkat itulah ia menjadi orang yang shalih
dan adil. Dan dengan sebaliknya tampaklah kerusakan mereka dan sejauh
mana mereka dituntun oleh kezaliman, meskhpun orang ‘alim itu seorang
filsuf dan penguasa itu seorang yang jenius”. Wallâh a’lam bi
ash-shawâb. [Iwan Januar dan Yahya Abdurrahman - LS HTI/khoirunnisa-syahidah.blogspot.com]
Posting Komentar