khoirunnisa-syahidah.blogspot.com - AIDS
adalah penyakit yang timbul akibat penyimpangan prilaku seksual,
ditandai dengan menurunnya imunitas tubuh penderitanya. Penyakit AIDS
ini merupakan jenis penyakit berbahaya, mematikan, dan menular.
Penularan penyakit ini bisa melalui berbagai cara. Bisa melalui oral,
antara penderita dengan pasangannya yang sehat. Bisa melalui hubungan
badan. Bisa melalui jarum suntik bekas yang pernah digunakan oleh
penderita, kemudian digunakan oleh orang sehat. Karena itu, penyebaran
penyakit ini mengalami peningkatan yang signifikan, bukan hanya menimpa
orang dewasa, tetapi juga anak-anak, bahkan janin yang masih dalam
kandungan.
Penyakit
AIDS ini, diakui atau tidak, berawal dari prilaku seksual yang
menyimpang, akibat berganti-ganti pasangan seks (heteroseksual). Dengan
kata lain, penyakit ini muncul karena prilaku zina yang merajalela di
tengah masyarakat. Ditambah tidak adanya punishment (sanksi) yang bisa menghentikan prilaku menyimpang ini, beserta dampak ikutannya.
Karena
itu mengatasi masalah AIDS ini tidak bisa berdiri sendiri, tetapi
terkait dengan akar masalah yang menjadi penyebab terjadinya penyakit
ini. Maka, menyelesaikan wabah AIDS ini tidak bisa hanya dengan
mengatasi AIDS-nya saja, sementara sumber penyakitnya tidak ditutup.
Tindakan Preventif
Sumber penyakit AIDS ini jelas, yaitu gonta-ganti pasangan seks, atau perzinaan, dan seks bebas (free sex dan free love).
Maka, pintu ini harus ditutup rapat-rapat. Karena itu, dengan tegas
Islam mengharamkan perzinaan dan seks bebas. Allah SWT berfirman: “Janganlah
kalian mendekati perzinaan, karena sesungguhnya perzinaan itu merupakan
perbuatan yang keji, dan cara yang buruk (untuk memenuhi naluri seks).” (QS al-Isra’ [17]: 32)
Islam
bukan hanya mengharamkan perzinaan, tetapi semua jalan menuju
perzinahaan pun diharamkan. Islam, misalnya, mengharamkan pria dan
wanita berkhalwat (menyendiri/berduaan). Sebagaimana sabda Nabi saw, “Hendaknya
salah seorang di antara kalian tidak berdua-duaan dengan seorang
wanita, tanpa disertai mahram, karena pihak yang ketiga adalah setan.” (HR Ahmad dan an-Nasa’i)
Tidak
hanya berduaan, memandang lawan jenis dengan syahwat juga dilarang.
Dengan tegas Nabi menyatakan, bahwa zina mata adalah melihat (HR Ahmad). Nabi juga melarang pandangan kedua (pandangan yang disertai dengan syahwat) (HR Ahmad, at-Tirmidzi dan Abu Dawud). Bahkan, Nabi pernah memalingkan kepala Fadhal bin Abbas ketika memandangi wajah perempuan Khas’amiyah, seraya bersabda, “Pandangan yang bersumber dari syahwat itu merupakan busur panah setan.” Dalam riwayat lain Nabi menyatakan, “Dua mata berzina, ketika keduanya sama-sama melihat. Dua tangan berzina, ketika keduanya meraba..” (as-Sarakhshi, al-Mabsuth, X/145).
Islam juga mengharamkan pria dan wanita menampakkan auratnya. Dengan tegas Allah menyatakan, “Dan
hendaknya para wanita itu tidak menampakkan perhiasannya, kecuali apa
yang boleh nampak darinya (wajah dan kedua telapak tangan).” (QS an-Nur [24]: 31). Dengantegas
ayat ini mengharamkan wanita menampakkan auratnya, yaitu seluruh badan,
kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Sedangkan bagi pria, Islam
mengharamkan pria memperlihatkan pahanya, melihat paha orang hidup
maupun mayit (HR ar- Razi, Tafsir ar-Razi, XXIII/371).
Islam juga mengharamkan wanita berpakaian tabarruj, yaitu berpakaian yang bisa memancing perhatian lawan jenis. Dengan tegas Allah menyatakan, “Hendaknya (perempuan) tidak berpakaian dengan tabarruj, sebagaimana cara perempuan jahiliyah bertabarruj.” (QS al-Ahzab [33]: 33). Seperti menampakkan lekuk tubuh, memakai parfum, atau make up yang menarik perhatian.
Tidak
hanya itu, Islam juga memerintahkan baik pria maupun wanita, sama-sama
untuk menundukkan pandangan kepada lawan jenis dan menjaga kemaluan
mereka (QS an-Nur [24]: 30-31).
Ini
dari aspek pelakunya. Dari aspek obyek seksualnya, Islam pun tegas
melarang produksi, konsumsi dan distribusi barang dan jasa yang bisa
merusak masyarakat, seperti pornografi dan pornoaksi. Karena semuanya
ini bisa mengantarkan pada perbuatan zina. Sebagaimana kaidah ushul yang
menyatakan, “Sarana yang bisa mengantarkan pada keharaman, maka hukumnya haram.”
Tindakan Kuratif
Jika
seluruh hukum dan ketentuan di atas diterapkan, maka praktis pintu zina
telah tertutup rapat. Dengan begitu, orang yang melakukan zina, bisa
dianggap sebagai orang-orang yang benar-benar nekat. Maka terhadap
orang-orang seperti ini, Islam memberlakukan tindakan tegas. Bagi yang
telah menikah (muhshan), maka Islam memberlakukan sanksi rajam(dilempari batu) hingga mati. Ketika Maiz al-Aslami dan al-Ghamidiyyah melakukan zina, maka keduanya di-rajam oleh Nabi SAW hingga mati.
Bagi yang belum menikah (ghair muhshan), Islam memberlakukan sanksi jild (cambuk) hingga 100 kali. Dengan tegas Allah menyatakan, “Pezina perempuan dan laki-laki, cambuklah masing-masing di antara mereka dengan 100 kali cambukan.” (QS an-Nur [24]: 02)
Punishment bukan hanya diberikan kepada pelaku zina, dengan rajam bagi yang muhshan, atau dicambul 100 kali bagi ghair muhshan,
tetapi semua bentuk pelanggaran yang bisa mengantarkan pada perbuatan
zina. Dalam hal ini, Islam menetapkan sanksi dalam bentukta’zir,
yang bentuk dan kadarnya diserahkan kepada hakim. Dengan cara seperti
itu, maka seluruh pintu perzinaan benar-benar telah ditutup rapat-rapat
oleh Islam.
Maslahat
dari penerapan seluruh ketentuan dan hukum ini adalah terbebasnya
masyarakat dari perilaku seks yang tidak sehat. Tidak hanya itu, prilaku
seks yang menjadi sumber penyakit AIDS pun benar-benar telah ditutup
rapat. Jika pelaku zina muhshan di-rajam sampai mati, maka salah satu sumber penyebaran penyakit AIDS ini pun dengan sendirinya bisa dihilangkan.
Lalu,
bagaimana dengan mereka yang tertular penyakit AIDS, dan bukan pelaku
zina? Seperti ibu rumah tangga yang tertular dari suaminya yang
heteroseksual, atau anak-anak balita, dan orang lain yang tertular,
misalnya, melalui jarum suntik, dan sebagainya?
Karena
itu merupakan masalah kesehatan yang menjadi hak masyarakat, maka
negara wajib menyediakan layanan kesehatan nomor satu bagi penderita
penyakit ini. Mulai dari perawatan, obat-obatan hingga layanan
pengobatan. Khilafah juga akan melakukan riset dengan serius untuk
menemukan obat yang bisa menanggulangi virus HIV-AIDS ini.
Karena
ini merupakan jenis virus yang berbahaya dan mematikan, maka para
penderitanya bisa dikarantina. Ini didasarkan pada hadits Nabi, “Larilah kamu dari orang yang terkena lepra, sebagaimana kamu melarikan diri dari (kejaran) singa.” (HR Abdurrazaq, al-Mushannaf, X/405). Nabi memerintahkan kita lari dari penderita lepra, karena lepra merupakan penyakit menular.
Dari hadits ini bisa ditarik dua hukum: Pertama,
perintah melarikan diri, yang berarti penderitanya harus dijauhkan dari
orang sehat. Dalam konteks medis, tindakan ini bisa diwujudkan dalam
bentuk karantina. Artinya, penderita lepra harus dikarantika. Kedua,
lepra sebagai jenis penyakit menular, bukan lepra sebagai penyakit
tertentu. Berarti, ini bisa dianalogikan kepada penyakit menular yang
lain. Karena itu, berdasarkan hadits ini, penderita AIDS bisa disamakan
dengan penderita lepra, karena sama-sama menderita penyakit menular.
Tindakannya juga sama, yaitu sama-sama harus dikarantinakan.
Dalam
karantina itu, mereka tidak hanya dirawat secara medis, tetapi juga non
medis, khususnya dalam aspek psikologis. Penderita AIDS tentu akan
mengalami tekanan psikologis yang luar biasa, selain beban penyakit yang
dideritanya, juga pandangan masyarakat terhadapnya. Dalam hal ini,
ditanamkan kepada mereka sikap ridha (menerima) kepada qadha’,
sabar dan tawakal. Dengan terus-menerus meningkatkan keimanan dan
ketakwaan mereka agar lebih terpacu melakukan amal untuk menyongsong
kehidupan berikutnya yang lebih baik.
Dengan
cara seperti itu, Islam telah berhasil mengatasi masalah AIDS ini
hingga ke akar-akarnya. Semuanya itu tentu hanya bisa diwujudkan, jika
ada Negara Khilafah yang bukan saja secara ekonomi mampu menjamin
seluruh biaya kesehatan rakyatnya, tetapi secara i’tiqadi juga mampu mengatasi akar masalah ini dengan pondasi akidah Islam yang luar biasa.[khoirunnisa-syahidah.blogspot.com]
Posting Komentar