khoirunnisa-syahidah.blogspot.com - Imam
Abu Dawud meriwayatkan dalam Sunannya: Telah memberitahu kami Ali bin
Ja’ad al-Lu’lu’iy. Telah memberitahu kami Hariz bin Ustman, dari Hibban
bin Zaid al-Syar’abiy, dari laki-laki yang berasal dari Qarn. Telah
memberitahu kami Musaddad. Telah memberitahu kami Isa bin Yunus. Telah
memberitahu kami Hariz bin Ustman. Telah memberitahu kami Abu Khidasy.
Dan ini adalahlafadh Ali
dari laki-laki di antara kaum Muhajirin, di antara sahabat Nabi saw. Ia
berkata saya mengikuti Nabi saw berperang sebanyak tiga kali, sedang
saya mendengar beliau bersabda:
« اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإَِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ»
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu padang rumput, air dan api.“
Pengarang kitab “Aunul Ma’bûd” berkata: “Saya mengikuti Nabi saw berperang sebanyak tiga kali, yakni tiga kali peperangan.”
“Dalam air“:
Maksudnya adalah air yang tidak terjadi dari pencarian dan usaha
seseorang, seperti air saluran pribadi, dan air sumur, serta belum
dimasukkan dalam wadah, kolam atau selokan yang airnya dari sungai.
“Padang rumput“: Maksudnya adalah semua tumbuhan atau tanaman yang basah maupun yang kering.
Al-Khathabi berkata: Arti kata al-kalâ’ (padang
rumput) adalah tumbuhan atau tanaman yang tumbuh di tanah mati atau
tanah tak bertuan yang dipelihara masyarakat, dimana tidak ada seorang
pun yang memilikinya atau memagarinya. Adapun al-kalâ’ (padang
rumput), jika ia berada di tanah yang ada pemiliknya, maka ia adalah
miliknya, sehingga tidak seorang pun yang ikut memilikinya, kecuali
dengan izin darinya.
“Dan dalam Api“.
Maksud dari berserikat dalam api adalah, bahwa ia tidak dilarang
menyalakan lampu darinya, dan membuat penerangan dengan cahayanya,
namuan orang yang menyalakannya dilarang untuk mengambil bara api
dirinya, sebab menguranginya akan menyebabkan pada padamnya api.
Dikatakan
bahwa yang dimaksud dengan api adalah batu yang mengeluarkan api (batu
api) dimana tidak dilarang mengambil sesuatu darinya jika ia berada pada
tanah mati. Al-Allamah Imam al-Syaukani dalam “Nailul Authâr”
berkata: Ketahuilah bahwa hadits-hadits dalam masalah ini mencakup
semuanya, sehingga menunjukan bahwa persekutuan dalam ketiga perkara itu
bersifat mutlak (umum). Karenanya, tidak ada sesuatu darinya yang
dikecualikan, kecuali dengan dalil yang mengkhususkan dari keumumannya,
dan bukan dengan dalil yang justru lebih umum darinya, misalnya hadits
yang menetapkan bahwa tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan
kerelaan dirinya. Karena ia lebih umum, maka tidak layak berhujjah
dengannya setelah tetapnya harta dan tetapnya ketiga perkara itu sebagai
tempatnya konflik.
Sungguh,
masalah kepemilikan merupakan masalah penting dalam kehidupan manusia,
sebab ia bagian dari kebutuhan hidup. Manusia tidak dapat memenuhi
setiap kebutuhan jasmanisnya atau nalurinya tanpa memiliki sarana
pemuasnya. Sehingga manusia berusaha untuk mendapatkan semua yang
dibutuhkan dan diperlukannya. Semua inilah yang membuat manusia bersaing
untuk menguasai harta, dan bahkan mereka berjuang mati-matian demi
menguasainya dan memperbanyak kepemilikannya. Oleh karena itu, asy-Syâri’(pembuat
hukum) datang dengan membawa hukum (ketentuan) yang mengatur penguasaan
manusia terhadap harta, serta mencegah perselisihan dan setiap masalah
yang mungkin terjadi sebagai akibat dari berebut untuk memilikinya.
Islam
telah membuat kepemilikan menjadi tiga kategori, yang merupakan
konsekuensi dari kebutuhan seseorang manusia sebagai individu dan
masyarakat, yaitu: kepemilikan individu (al-milkiyah al-fardhiyah), kepemilikan umum (al-milkiyah al-âmmah), dan kepemilikan negara (milkiyah ad-daulah).
Dalam hadits ini, Rasulullah saw mengenalkan kepada kami salah satu dari jenis-jenis kepemilikan, yaitu kepemilikan umum (al-milkiyah al-âmmah). Sementara arti dari kepemilikan umum (al-milkiyah al-âmmah)
atas sesuatu adalah, bahwa semua manusia berserikat dalam kepemilikan
sesuatu ini, sehingga masing-masing dari mereka memiliki hak untuk
memanfaatkannya, sebab sesuatu itu tidak dikhususkan untuk dimiliki
individu tertentu, dan mencegah orang lain untuk memanfaatkannya.
Sedangkan sesuatu yang oleh syara’ dijadikan sebagai kepemilikan umum (al-milkiyah al-âmmah), seperti yang terdapat dalam hadits tersebut adalah: air, padang rumput dan api.
Dan yang membuat sesuatu tersebut sebagai kepemilikan umum (al-milkiyah al-âmmah),
dan mencegah individu tertentu untuk memilikinya, tidak lain adalah
karena semua manusia sangat membutuhkannya. Sehingga ia merupakan
fasilitas publik yang sangat dibutuhkan oleh komunitas selamanya. Bahkan
sebuah komunitas akan tercerai-berai untuk mencarinya jika sesuatu itu
sangat sedikit atau habis. Dalam hal ini, Somalia merupakan contoh nyata
masalah ini, dimana orang-orang meninggalkan desa dan kota-kota mereka,
akibat paceklik, kekurangan air dan padang rumput, sehingga mereka
bercerai-berai di dalam negeri untuk mencari fasilitas vital ini. Bahkan
untuk mendapatkan sesuatu itu, mereka rela menghadapi penderitaan demi
penderitaan.
Dan asy-Syâri’ (pembuat hukum) telah mewakilkan tugas penggunaan dan pengaturan kepemilikan umum (al-milkiyah al-âmmah)
ini kepada negara, sehingga semua manusia memungkinkan untuk
memanfaatkannya dan mencegah individu-individu tertentu dari mengontrol
dan menguasainya. Semua itu untuk melindungi hak-hak rakyat, menjaga
stabilitas masyarakat Muslim, serta untuk menjamin ketenangan semua
individu rakyat. [khoirunnisa-syahidah.blogspot.com]
Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 8/7/2012.
Posting Komentar