khoirunnisa-syahidah.blogspot.com - Kedutaan, dalam bahasa Arab, disebut Safarah.
Kedutaan besar adalah kantor perwakilan diplomatik suatu negara yang
ditempatkan secara permanen di ibukota negara lain atau
lembaga/organisasi internasional (seperti PBB). Pejabat diplomatik
tertinggi yang memimpin kedutaan besar disebut duta besar. Adanya
keduataan di suatu negara biasanya tidak terlepas dari hubungan yang
terjadi di antara keduanya. Jika antara keduanya tidak ada hubungan
diplomatik, maka keduanya tidak akan mempunyai kedutaan di masing-masing
negara tersebut.
Dalam hubungan diplomatik tersebut ada empat faktor penting: Pertama, adanya hubungan kerjasama antar bangsa/negara yang dituangkan dalam perjanjian, baik bilateral maupun multilateral. Kedua, adanya perwakilan masing-masing banga/negara di negara mitranya, dan diakui sebagi perwakilan resmi. Ketiga, adanya misi/kepentingan timbal balik di antara masing-masing bangsa/negara tersebut. Keempat,
adanya hak imunitet yang diberikan kepada duta/perwakilan resmi.
Keempat faktor ini selalu ada dalam setiap hubungan diplomatik.
Berdasarkan
fakta hubungan diplomatik di atas, maka Negara Khilafah pun tidak
mungkin menjalin hubungan diplomatik dengan Negara Kafir Harbi Fi’lan.
Karena di antara keduanya sedang terjadi peperangan secara nyata.
Biasanya yang terjadi justru sebaliknya, dimana hubungan diplomatik di
antara keduanya putus, sehingga duta/perwakilannya pun ditarik, dan
kedutaannya pun ditutup. Dengan demikian, hubungan diplomatik yang
dilakukan oleh Negara Khilafah dengan Negara Kafir adalah dengan Negara
Kafir Harbi Hukman, yang tidak memusuhi dan menyerang kaum Muslim. Mereka adalah Negara Kafir Mu’ahadah,
yang terikat perjanjian dengan Negara Khilafah, baik di bidang ekonomi,
politik, maupun yang lain. Negara Khilafah akan membuka kedutaan di
negara tersebut, demikian juga sebaliknya.
Empat
faktor penting dalam hubungan diplomatik di atas juga tetap berlaku di
dalam Negara Khilafah. Karena, ini merupakan konvensi umum dalam
hubungan diplomatik. Di zaman Nabi saw, ada utusan yang dikirim oleh
Musailmah al-Kadzdzab untuk menyampaikan pesan Musailamah kepada Nabi
saw. Nabi bersabda, “Andai kalian bukan utusan/duta, tentu kalian sudah
aku bunuh.” (H.r. ). Dengan demikian, jelas Islam pun mengakui hak imunitet tersebut.
Hanya saja, siapa yang termasuk dalam kategori utusan/duta tersebut? Menurut Kongres Wina 1961, duta tersebut meliputi: (1) Duta Besar atau Nuncios yang diakreditasikan kepada kepala negara, dan kepala perwakilan lain yang sama derajatnya; (2) Utusan, Duta dan Internunciosyang diakreditasikan kepada kepala negara; (3) Kuasa Usaha (Charge d’affairs)
yang diakreditasikan kepada Menteri Luar Negeri. Secara hirarki
struktur, duta/utusan tersebut meliputi: (1) Duta Besar; (2) Minister;
(3) Minister Counsellor; (4) Counsellor; (5) Sekretaris Pertama; (6)
Sekretaris Kedua; (7) Sekretaris Ketiga; (8) Atase. Atase itu sendiri
terdiri dari Atase Teknik, Atase Militer, Atase Kebudayaan, Atase
Pendidikan, Atase Perdagangan, Atase Pertanian dan Perburuhan, dan
lain-lain.
Jadi,
semuanya ini bisa dimasukkan dalam kategori duta/utusan negara yang
menjalin hubungan diplomatik dengan Negara Khilafah. Karenanya, mereka
berhak mendapatkan hak imunitet, sebagaimana hak yang diberikan kepada
duta/utusan (rusul).
Secara umum, urusan kedutaan negara asing di Negara Khilafah, maupun kedutaan Negara Khilafah di Negara Kafir Harbi Hukman, merupakan urusan yang ditangani oleh Departemen Luar Negeri (Dairah Kharijiyyah),
yang langsung bertanggungjawab kepada Khalifah. Hanya saja, terkait
dengan masalah keamanan di dalam Negara Khilafah, maka ini merupakan
kewenangan Departemen Keamanan Dalam Negeri (Dairah al-Amn ad-Dakhili).
Ini meliputi keberadaan dan fungsi kantor kedutaan mereka di Negara Khilafah, termasuk aktivitas para duta/utusan Negara Kafir Harbi Hukman itu di dalam wilayah Negara Khilafah. Dalam hal ini, Departemen Keamanan Dalam Negeri (Dairah al-Amn ad-Dakhili)
mempunyai kewenangan untuk memonitor dan memata-matai mereka. Termasuk
terhadap rakyat Negara Khilafah yang bekerja di kantor perwakilan
tersebut. Dengan dua syarat:
1- Hasil monitoring Departemen Pertahanan (Dairah Harbiyyah) dan Departemen Keamanan Dalam Negeri (Dairah al-Amn ad-Dakhili) terhadap para pimpinan korp diplomatik Negara Kafir Harbi Hukman tersebut menyatakan, bahwa aktivitas mereka tidak wajar, dan mencurigakan.
2- Hasil monitoring dua departemen tersebut diserahkan kepada Qadhi Hisbah, kemudianQadhi Hisbah memutuskan aktivitas mereka berpotensi mengancam kepentingan Islam dan kaum Muslim.
Jika kedua syarat di atas terpenuhi, maka Departemen Keamanan Dalam Negeri (Dairah al-Amn ad-Dakhili)
berhak memata-matai rakyat Negara Khilafah yang bekerja kepada mereka.
Karena hukum asalnya memata-matai mereka adalah haram, dan diperbolehkan
ketika terbukti mereka menjadi Ahl Ribah, karena aktivitas dan interaksi mereka dengan Negara Kafir Harbi Hukman tersebut dianggap membahayakan Negara Khilafah.
Adapun memata-matai kedutaan Negara Kafir Harbi Hukman di
Negara Khilafah hukumnya boleh, karena dianggap berpotensi menimbulkan
ancaman terhadap Negara Khilafah. Bahkan aktivitas tersebut wajib
dilakukan terhadap Negara Kafir Harbi Fi’lan. Karena hubungan perang yang terjadi antara kita dengan mereka.
Mengenai izin pendirian kedutaan dan bangunan yang digunakan oleh Negara Kafir Harbi Hukman sebagai
tempat perwakilan resmi mereka, hal ini semestinya mengacu kepada asas
kebutuhan yang ditentukan oleh hubungan diplomatik di antara keduanya.
Besar dan kecilnya gedung perwakilan tersebut sebenarnya mencerminkan kepentingan Negara Kafir Harbi tersebut
di Negara Khilafah. Karena itu, Negara Khilafah berhak, dan bahkan
wajib membatasi ruang gerak mereka. Juga perlu dicatat, bahwa hubungan
diplomatik antara Negara Khilafah dengan Negara Kafir Harbi Hukman ini
tidak bersifat permanen. Tetapi, hubungan ini didasarkan kepada
perjanjian bilateral antara Negara Khilafah dengan mereka. Dalam
perjanjian seperti ini, hadits Nabi hanya memberi tenggat waktu,
maksimal 10 tahun. Tidak lebih. Artinya, tidak boleh Negara Khilafah
menjalin hubungan diplomatik yang didasarkan pada perjanjian kerjasama
tersebut lebih dari 10 tahun. Karena ini akan menyalahi nas, sebagaimana
yang ditetapkan dalam Sulh Hudaibiyyah. Ini sekaligus mempertegas, bahwa hukum asal dalam hubungan antara Negara Khilafah dengan Negara Kafir Harbi Hukman ini adalah hubungan perang, bukan hubungan damai.
Dengan
demikian, maka kebijakan Negara Khilafah terhadap kantor kedutaan asing
tersebut dilihat sebagai “kantor sementara”, bukan “kantor permanen”.
Dengan begitu, jika mereka mengajukan izin pembangunan kantor permanen,
maka izin tersebut harus ditolak, karena tidak sejalan dengan kebijakan
Negara Khilafah terhadap mereka.
Jika
kemudian terbukti, bahwa kantor perwakilan ini digunakan untuk
melakukan aktivitas yang mengancam kepentingan Negara Khilafah, maka
Negara Khilafah bisa melakukan tindakan sebagai berikut:
1- Menutup kantor kedutaan tersebut.
2- Mengusir duta/utusan, dan seluruh korp diplomatik yang bekerja di kantor kedutaan tersebut.
3-
Meminta keterangan rakyat Negara Khilafah yang bekerja dengan mereka,
yang jika terbukti mereka melakukan tindakan yang mengancam kepentingan
Negara Khilafah, maka mereka akan dijatuhi sanksi ta’zir.
4- Membatalkan perjanjian yang menjadi dasar dibukannya hubungan diplomatik tersebut. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman:
“Dan
jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari mereka, maka
kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur
(sama). Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” (Q.s. al-Anfal [08]: 58)
Ayat
ini dengan tegas memberikan opsi kepada kita untuk membatalkan
perjanjian yang kita teken dengan mereka, jika mereka terindikasi
mengkhianati perjanjian tersebut, atau terindikasi mengancam kepentingan
kita. Inilah yang dilakukan terhadap kaum Kafir Quraisy, ketika Sulh Hudaibiyyah baru
seumur jagung. Karena dianggap patron politik mereka mengkhianati isi
perjanjian ini, meski kaum Kafir Quraisy itu berat hati, tetapi
Rasulullah saw. tetap tidak peduli. [khoirunnisa-syahidah.blogspot.com]
Wallahu a’lam.
Posting Komentar