Dr. Fahmi Amhar
khoirunnisa-syahidah.blogspot.com - Pupus
sudah rencana TNI untuk membeli 100 tank berat Leopard dari Jerman.
Bukan karena tank seberat 50 ton itu mungkin akan merobohkan beberapa
jembatan yang akan dilewatinya di Indonesia, juga bukan karena Indonesia
sebagai negara maritim sebenarnya lebih butuh kapal perang, tetapi
karena Parlemen Jerman menolak rencana penjualan tank ke Indonesia
karena Indonesia dianggap belum baik dalam soal HAM.
Maka
muncul pertanyaan: bagaimana umat Islam di masa keemasannya memiliki
alat utama sistem senjata (alutsista) yang lebih canggih dari
bangsa-bangsa lain? Ataukah keunggulannya di masa lalu itu semata-mata
dari semangat jihad yang menyala-nyala, kepemimpinan yang efisien,
sehingga kaum Muslim dapat bersatu dan kuat?
Masih
ada pihak di dalam kaum Muslim yang berpendapat bahwa teknologi militer
kaum Muslim di masa lalu tidaklah sepenting semangat, kepemimpinan dan
persatuan. Mereka berargumentasi bahwa pada masa Rasulullah dan sahabat
teknologi senjata yang dimiliki juga masih sangat sederhana, bahkan di
bawah teknologi negara-negara adidaya seperti Romawi dan Persia, namun
faktanya tentara Islam berhasil memenangkan peperangan.
Karena
itu lantas ada sejumlah Muslim yang menolak teknologi militer, apalagi
saat ini hampir seluruhnya diimpor dari negara-negara adidaya penjajah
seperti Amerika, Inggris, Prancis atau Rusia. Sejumlah orang Islam
mencukupkan diri dengan latihan pencak silat dan upaya spiritual. Yang
dimaksud adalah upaya menghasilkan kesaktian, seperti kebal, dapat
menghilang atau berpindah tempat secara mistik.
Namun
kalau kita telaah sejarah, ternyata sejak awal kaum Muslim sangat
terbuka dalam mempelajari teknologi militer. Pada perang Ahzab,
Rasulullah SAW menerima usulan untuk membuat parit dari Salman yang
berasal dari Persia. Sampai saat itu, bangsa Arab tidak pernah mengenal
teknik perang parit.
Rasulullah
juga sempat mengirim sejumlah sahabat untuk berburu ilmu ke Cina.
Mereka kemudian pulang di antaranya membawa pengetahuan membuat mesiu
yang di Cina biasa dipakai untuk membuat kembang api saat perayaan
Imlek, dan saat itu belum dikenal di luar Cina.
Kaum
Muslim kemudian mengembangkan berbagai ilmu dasar yang terkait
teknologi militer, yaitu fisika dan kimia. Sekarang pun bila Hamas
ingin merakit sebuah roket sederhana untuk mengganggu Israel, mereka
harus menguasai fisika dan kimia dasar. Fisika untuk mekanikanya, dan
kimia untuk bahan bakar dan peledaknya. Kalau roket itu ingin dapat
dikendalikan, maka mereka harus menguasai elektronika, terutama terkait
sinyal radio dan navigasi.
Pada
tahun 1228, laporan independen dari Prancis menyebutkan bahwa tentara
Muslim sudah menggunakan bahan peledak untuk mengalahkan tentara Salib
yang dipimpin Ludwig IV. Bahan peledak itu dikemas dalam pot-pot
tembikar yang dilontarkan dengan ketapel raksasa.
Tahun
1260 pistol pertama telah digunakan oleh tentara Mesir dalam
mengalahkan tentara Mongol di Ain Jalut. Menurut Syamsuddin Muhammad
(wafat 1327 M), pistol itu berisi bubuk mesiu yang komposisinya idealnya
terdiri dari 74 persen salpeter, 11 persen sulfur, dan 15 persen
karbon. Mereka juga sudah menggunakan pakaian tahan api untuk
melindungi diri dari bubuk mesiu itu.
Tahun 1270 insinyur kimia Hasan al-Rammah dari Suriah menulis dalam kitabnya al-Furusiyya wa al-Manasib al-Harbiyya (Buku tentang formasi perang [dengan pasukan berkuda] dan peralatan perang) hampir
70 resep kimia bahan peledak (seperti kalium nitrat) dan teknik
pembuatan roket. Dia menuliskan bahwa banyak dari resep itu telah
dikenal generasi kakeknya, yang menunjukkan akhir abad 12 M. Komposisi
bahan peledak secanggih ini belum dikenal di Cina atau Eropa sampai
abad-14 M.
Torpedo
juga ditemukan oleh Hasan al-Rammah yang memberi ilustrasi torpedo yang
meluncur di air dengan sistem roket yang diisi bahan peledak dengan
tiga lubang pengapian.
Ibnu
Khaldun menuliskan bahwa pada tahun 1274 penggunaan meriam telah
dimulai oleh Abu Yaqub Yusuf dalam menaklukkan kota Sijilmasa. Namun
penggunaan “senjata super” yaitu meriam raksasa pertama kali adalah saat
penaklukan Konstantinopel pada 1453 oleh tentara Muhammad al Fatih.
Dia memiliki meriam dengan diameter 762 mm yang dapat melontarkan peluru
batu ataupun mesiu hingga seberat 680 kg.
Pada
1582 Fathullah Shirazy, seorang matematikawan dan ahli mekanik
Persia-India yang bekerja untuk dinasti Mughal menemukan senapan mesin.
Mesin ini dapat mengoperasikan meriam berikut membersihkan hingga 16
lubang mesiunya secara otomatis. Mesin ini dioperasikan dengan tenaga
sapi.
Teknologi
alutsista di masa khilafah Islam juga mencakup hal-hal yang paling
“sederhana” seperti ilmu metalurgi untuk menghasilkan pedang dan tombak
yang lebih kuat, metode komunikasi militer untuk menyampaikan
pesan-pesan rahasia secara cepat, hingga astronomi navigasi untuk
memandu kapal-kapal perang ke tujuan dengan akurat secara cepat.
Di
berbagai era kekhilafahan, peran para perekayasa militer terus
meningkat. Korps perekayasa yang terdiri dari pandai besi
(metalurgist), tukang kayu, ahli keramik, ahli kimia dan sebagainya
dibentuk, dan mereka bekerja di bawah komando yang langsung bertanggung
jawab kepada Amirul Jihad.
Pada
1683 M, tentara Khilafah Utsmani yang persenjataannya masih di atas
seluruh persenjataan Eropa bersama-sama, salah strategi, sehingga misi
mereka menaklukkan Wina Austria tanpa tetesan darah, gagal total. Jihad
kemudian dinyatakan “reses”. Akibatnya korps perekayasa militer ini
mengalami stagnasi. Pada akhir abad 18 saat tentara Napoleon memasuki
Mesir, teknologi meriam Prancis sudah di atas meriam Mesir - yang
praktis sudah berhenti berkembang selama satu abad! Karena itu memang
jihad tidak boleh berhenti. Jihad itulah yang akan terus mengobarkan
perkembangan teknologi alutsista kaum Muslimin.[]
[Mediaumat/khoirunnisa-syahidah.blogspot.com]
Posting Komentar