Dan
di antara contoh ideal terkait potret kesabaran adalah kesabaran Ahnaf
bin Qais. Ia ditanya dari siapa Anda belajar kesabaran? Ia menjawab:
Saya belajar kesabaran dari Qais bin Ashim al-Minqari. Suatu hari aku
mendatanginya ketika ia yang sedang duduk memeluk lutut dengan punggung
dan kedua kakinya diikat serban. Kemudian orang-orang datang membawa
putranya yang terbunuh dan sepupunya yang diikat erat dengan tali.
Mereka berkata bahwa keponakanmu ini telah membunuh putramu. Mendengar
dan melihat hal itu ia tetap diam dan tidak beridiri dari tempatnya,
namun ia menoleh pada salah seorang putranya, lalu berkata: Hai putraku,
berdirilah, lepaskan sepupumu, kebumikan saudaramu, dan berikan seratus
onta pada ibu dari anak yang terbunuh itu, karena ia akan merasa
kehilangan, semoga dengannya ia terhibur.
Dalam
hal ini, mungkin orang yang paling membutuhkan kesabaran adalah oarang
yang sedang berpuasa. Sebab ada di antara manusia yang tidak tahan
merasakan lapar dan haus dalam waktu yang lama, sehingga kami
mendapatinya begitu cepat marah. Oleh karena itu, Rasulullah Saw
berwasiat agar orang yang berpuasa itu ingat selalu bahwa dirinya sedang
berpuasa, agar hal itu dapat mencegahnya dari marah, dan mencegah dari
membalas kejahatan dengan kejahatan yang sama.
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Jika
salah seorang dari kalian suatu hari berpuasa, maka jangan mengeluarkan
kata-kata kotor, dan jangan pula marah. Jika salah seorang mencacinya
atau mengajaknya bertengkar, maka katakan: “Sungguh saya seorang yang
sedang berpuasa….” (HR. Bukhari).
Namun,
puasa bagi orang yang berpuasa bukan alasan (dalil) ia tidak melakukan
kejahatan atau membalas kejahatan dengan kejahatan yang sama. Sebab
terkait hal ini ada dalilnya sendiri.
Mungkin
seorang yang sedang berpuasa itu mengatakan bahwa ia sulit untuk
mengendalikan dirinya pada saat berpuasa, dan mencegahnya dari
kemarahan. Kami jawab bahwa, “Kesabaran itu terbentuk hanya dengan
berusaha sabar, innamâ al-hilmu bit-tahallumi“.
Artinya, barangsiapa yang membiasakan dirinya bermurah hati, maka ia
akan menjadi seorang yang pemurah hati. Dan barangsiapa yang membiasakan
dirinya bersabar, maka ia akan menjadi seorang yang penyabar.
Dengan
demikian, bagi seseorang, khususnya yang sedang berpuasa wajib berusaha
sabar dan menahan diri ketika marah, bahkan untuk itu ia harus memaksa
dirinya. Memang memulai kebaikan seperti sangat berat. Namun perlu
diingat bahwa barangsiapa membiasakan dirinya dengan sesuatu, maka
sesuatu itu akan menjadi mudah dan membantunya untuk terus melakukan.
Al-Bushiri berkata dalam qasidahnya yang memuji kebaikan akhlak
Rasulullah Saw: “Jiwa
itu seperti anak kecil. Sehingga jika ia dibiarkan terus menyusu, maka
hingga tumbuh dewasa ia akan tetap senang menyusu. Sebaliknya jika ia
disapih, maka ia akan berhenti menyusu.”
Rasulullah
Saw adalah orang yang paling penyabar, paling mampu menahan diri, dan
paling mampu untuk tidak marah. Namun jika ada pelanggaran terhadap
apa-apa yang diharamkan Allah, maka tampak merah wajahnya karena marah,
sebab adalanya pelanggaran terhadap apa-apa yang diharamkan Allah.
Bahkan berulang kali Rasulullah Saw berwasiat kepada para sahabatnya
yang mulia: “Jangan marah, jangan marah.”
Siapakah
yang lebih utama dari orang yang berpuasa dengan kesabaran, menahan
amarah, dan mema’afkan orang, apalagi semua itu diperintahkan? Apakah ia
akan membiarkan dirinya melampaui batas kemarahan, dan membalas
keburukan dengan keburukan yang sama? Ataukah tidak lebih utama jika ia
mengumpulkan keutamaan (fadhilah) puasa,
keutamaan mema’afkan orang, keutamaan menahan amarah, dan keutamaan
sabar? Semoga Allah menguatkan kita untuk bisa mengumpulkan semua itu
dalam diri kita. [khoirunnisa-syahidah.blogspot.com]
Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 16/08/2011.
Posting Komentar