
Dana
milik rakyat itu digunakan untuk membiayai operasional Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). "BPLS merupakan badan yang
dibentuk pemerintah yang bertugas menangani upaya penanggulangan
semburan lumpur, luapan lumpur, serta menangani masalah sosial dan
infrastruktur akibat luapan lumpur di Sidoarjo. Untuk melaksanakan
tugasnya, BPLS dibiayai APBN, di mana untuk Tahun Anggaran 2012
ditetapkan sebesar Rp 1,5 triliun," ujar Dirjen Anggaran Kemenkeu Harry
Purnomo di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (24/7/2012).
Herry
menuturkan, dana Rp 1,5 triliun tersebut akan digunakan untuk membayar
ganti rugi korban semburan lumpur di luar peta area terdampak dengan
cara pembelian tanah. Menurutnya, di dalam Pasal 18 UU APBN-P 2012
ditetapkan bahwa alokasi dana pada BPLS dapat digunakan untuk pelunasan
pembayaran pembelian tanah dan bangunan di luar peta area terdampak pada
tiga desa, yakni Desa Besuki, Desa Kedungcangkring, dan Desa Pejarakan.
Di
bagian lain, saat dihubungi seusai persidangan, kuasa hukum pemohon uji
materi Pasal 18 UU APBNP Tahun 2012, Taufik Budiman, menilai bahwa
semburan lumpur Lapindo merupakan peristiwa yang disebabkan oleh
kelalaian perusahaan keluarga Bakrie dalam melakukan pengeboran. Dirinya
menuturkan bahwa persoalan lumpur Lapindo bukan termasuk dalam
persoalan yang disebabkan bencana alam.
Menurut
analisis Taufik, kerugian yang diakibatkan oleh semburan lumpur Lapindo
seharusnya ditanggung secara personal oleh PT Lapindo Brantas yang
dimiliki Aburizal Bakrie.
"Lapindo
atau keluarga Bakrie harus merogoh koceknya sendiri. Jadi, mereka tidak
bisa menggunakan uang rakyat. Itu kan tidak adil jika uang rakyat Rp 1
triliun lebih dipakai untuk menyubsidi Lapindo atau Bakrie sehingga
tanggung jawab mereka dalam membayar ganti rugi untuk warga korban
Lapindo diringankan," tegasnya. [kompas/khoirunnisa-syahidah.blogspot.com]
Posting Komentar