khoirunnisa-syahidah.blogspot.com - JAKARTA, -- Terjadinya
perampasan tanah rakyat yang masih terjadi di Indonesia, hal ini
dikecam Sekretariat Bersama Pemulihan Hak-Hak Rakyat Indonesia (Sekber
PHRI), Perampasan tanah tersebut terjadi karena persekutuan jahat antara
Pemerintah, DPR-RI dan Korporasi.
Terkait kecaman itu, ribuan orang yang tergabung dalam Sekber PHRI akan
menggelar demonstrasi di depan Istana Negara, Senin pagi (24/9).
Koordinator aksi Agus Ruli Ariansyah dalam siaran pers yang diterima,
Minggu (23/9), menyebutkan pemerintah menggunakan kekuasaannya untuk
mengesahkan berbagai Undang-Undang seperti: UU No.25/2007 Tentang
Penanaman Modal, UU No.41/1999 Tentang Kehutanan, UU 18/2004 Tentang
Perkebunan, UU No.7/2004 Tentang Sumber Daya Air, UU No. 27/2007 Tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No. 4/2009
Mineral dan Batubara, dan yang terbaru pengesahan UU Pengadaan Tanah
Untuk Pembangunan.
"Keseluruhan perundang-undangan tersebut sesungguhnya telah melegalkan
perampasan hak-hak rakyat atas tanah, hutan, tambang, wilayah tangkap
nelayan, wilayah kelola masyarakat adat dan desa, kesemuanya hanya untuk
kepentingan para pemodal," kata Agus.
Ia juga mengungkapkan salah salah satu bukti perampasan hak rakyat
tertuang dalam cetak biru yang secara vulgar memperlihatkan skema
sistematis perampasan tanah dan pelayanan kepada pemodal tersebut, yaitu
Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi (MP3EI) yang selalu dijual
oleh pemerintah dalam forum kapitalisme global.
"Salah satunya adalah pada pertemuan APEC KTT APEC 2012 di Vladivostok,
Rusia, bulan September ini. SBY membuka pintu lebar-lebar para investor
dari 21 negara anggota Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) untuk
menanamkan dananya di Indonesia lewat skema public private partnership
(PPP)," tegas Agus.
Berbagai bentuk perampasan tanah skala luas yang sedang berjalan saat
ini, menurut Sekber PHRI, pada hakekatnya adalah skema dari imperialis
dan ditopang oleh kekuatan neoliberal di dalam negeri. Perampasan dalam
berbagai bentuk seperti pertambangan skala besar (minyak, emas,
batubara, mineral, pasir besi, panas bumi, dsb), perkebunan skala besar
(kelapa sawit) Hutan Tanaman Industri bahkan Hutan Konservasi melalui
skema REDD+.
Demikian juga dengan Taman Nasional, proyek infrastruktur melalui skema
MP3EI (kawasan industri milik imperialis, food estate, benih GMO, jalan
tol, bandar udara, waduk, fasilitas militer, dsb), hingga isu green
economy melalui berbagai proyek berlabel hijau.
"Perampasan tanah berjalan dengan mudah dikarenakan pemerintah pusat dan
daerah, serta korporasi tidak segan-segan mengerahkan aparat kepolisian
dan pam swakarsa untuk membunuh, menembak, menangkap dan bentuk-bentuk
kekerasan lainnya jika ada rakyat yang berani menolak dan melawan
perampasan tanah," ujar Agus.
Kasus yang terjadi di Mesuji dan Bima adalah bukti bahwa Polri tidak
segan-segan membunuh rakyat yang menolak perampasan tanah. Hal ini
terjadi karena Kepolisian Republik Indonesia (Polri) secara jelas dan
terbuka telah menjadi aparat bayaran perusahaan perkebunan,
pertambangan, dan kehutanan. Kasus PT.Freeport dan Mesuji Sumatra
Selatan membuktikan bagaimana polisi telah menjadi aparat bayaran
tersebut.
"Kami menilai bahwa perampasan hak-hak rakyat atas tanah, hutan,
tambang, wilayah tangkap nelayan, wilayah kelola masyarakat adat dan
desa yang terjadi sekarang ini adalah bentuk nyata dari perampasan
kedaulatan rakyat," tandas Agus. (Wrh/MI/khoirunnisa-syahidah.blogspot.com)
Posting Komentar