khoirunnisa-syahidah.blogspot.com - "Seribu kali kebohongan maka hasilnya adalah kebenaran",
pepatah ini tepat untuk menjelaskan upaya-upaya sebagian orang untuk
mendaur ulang pengertian jihad. Jihad selalu didekatkan dengan tindakan
terorisme, jihad sama dengan tindakan kekerasan, jihad identik dengan
usaha merusak tanpa pandang bulu. Ada juga jihad dengan arti usaha
keseharian mencari nafkah dengan sungguh-sungguh juga termasuk jihad,
jihad melawan korupsi, jihad dalam menuntut ilmu, bekerja keras,
disiplin, mengekang hawa nafsu dan makna-makna lain yang menyimpang dari
makna hakikinya (syara').
Pengertian
ini mengalir deras dari mulut-mulut orang kufar atau dari kalangan
muslim yang kurang paham tentang hakikat jihad. Atau keluar dari
ulama-ulama bayaran dan kaum munafikin yang hendak merusak ajaran-ajaran
Islam. Cuma karena sokongan media yang pro mereka maka 'kebohongan'
dalam memberi arti jihad telah merubah 'arti bohong' menjadi benar dan
akhirnya sebagian umat (awam) yang masih butuh bimbingan ini termakan
dan menelan mentah-mentah.
Menilik sejarah masa lalu;umat
Islam Indonesia tidak asing dengan kata 'jihad', mengingat begitu
besarnya nilai istilah ini bagi Indonesia dimasa-masa kritisnya merebut
kemerdekaan dari penjajah(imperialis) Portugis, Jepang dan Belanda.Hanya
orang-orang buta sejarah dan munafik yang tidak mengakui bahwa berkat
resolusi 'jihad' yang dikeluarkan oleh para ulama' secara individu atau
institusi(kelembagaan seperti KH.Hasyim Asyari dengan NU-nya) sejak
penjajah menginjakkan bumi Indonesia telah melahirkan pribadi-pribadi
pejuang.
Nyawa
perlawanan bangkit subur karena panggilan jihad, dan orang-orang yang
memahami keagungan jihadlah yang pada akhirnya menyingsingkan lengan
baju berangkat kemedan-medan pertempuran; kembali dengan kemenangan atau
syahid dimedan juang. Indonesia bisa merdeka seperti sekarang karena
berkat 'jihad', apakah kita lupa dengan pekikan; 'Allahu Akbar..Allahu
Akbar..Allahu Akbar.." dari seorang Bung Tomo ketika menggelorakan
pertempuran 10 November? Pangeran Diponegoro,Teuku Umar, Pangeran
Antasari dan masih banyak lagi pahlawan yang akrab ditelinga kita;
perjuangan mereka tegak dengan ruh jihad menyatu dalam aliran darah dan
tiap tarikan nafas mereka.
Makanya umat perlu atau
sangat perlu mewaspadai niat-niat busuk di balik upaya segelintir orang
(karena sokongan media dan dana dari tuannya yang menjadikan
seolah-olah besar) untuk menyimpangkan makna 'jihad' keluar dari
definisi atau arti yang sesungguhnya.Apalagi ada moment atau peristiwa
yang bisa dijadikan pintu masuk atau alasan untuk mengotak-atik arti
jihad ini. Kasus Bom bali 1&2, eksekusi Amrozi dkk, bom Depok, bom
Serpong, bom gereja Komponten Solo, dan lainya, padahal di saat yang
sama masyarakat dunia bisa melihat dengan mata kepala sendiri betapa
jahat dan biadabnya Amerika, Cs atas tindak terorisme dengan
pengeboman-pengeboman yang menumpahkan darah dan nyawa yang jumlahnya
ratusan kali lipat dibandingkan kasus bom Bali.Lihatlah nasib rakyat
Irak, rakyat Afganistan, yang dicabik-cabik penjajah Amerika cs.
Maka
ini adalah proyek penjinakan umat Islam agar mati ruh jihadnya, matinya
jiwa perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan baik fisik atau non
fisik, hegemoni atau penguasaan negeri-negeri Islam oleh negera-negera
imperialis adalah menjadi motif utamanya. Makna-makna jihad yang
manipulatif ini terus dipropagandakan di tengah-tengah kaum Muslim
untuk mengaburkan dan menyimpangkan pandangan masyarakat terhadap makna
jihad sebenarnya. Padahal, ruhul jihad merupakan
salah satu tiang pancang bagi tegaknya Islam dan kaum Muslim dari
serangan musuh-musuhnya. Cuma sayang sebagian besar umat tidak bisa
membaca hal-hal seperti ini, umat masih sangat butuh bimbingan agar
bangkit kesadaran politiknya dan menimbang segala fenomena atau
peristiwa menurut kacamata keyakinan dan syariatnya.
Makna 'Jihad' yang benar;
Seperti
diterangkan dalam al Qur'an dan as Sunnah kemudian dibukukan dalam
ratusan kitab fiqh oleh ulama' salafus sholeh dan ulama'-ulama' zaman
sekarang (dan mu'tabar; jadi rujukan dan pegangan umat Islam), bisa
diringkas;
Secara bahasa kata "al-jihaad" berasal dari kata "jaahada", yang bermakna "al-juhd" (kesulitan) atau "al-jahd" (tenaga atau kemampuan).Imam Ibnu Mandzur dalam Kitab Lisaan al-'Arab nya, secara bahasa, al-jihaad artinya;mengerahkan kemampuan dan tenaga yang ada, baik berupa perkataan maupun perbuatan.
Dalam kitab Syarh al-Qasthalaani 'alaa Shahiih al-Bukhaariy dinyatakan sebagai berikut Kata jihaad merupakan
pecahan dari kata al-jahd, dengan huruf jim difathah yang berarti:
at-ta'b (lelah) dan al-masyaqqah (sulit). Sebab, kelelahan dan
kesulitan yang ada di dalamnya bersifat terus-menerus. Kata jihaad bisa
merupakan bentuk pecahan dari kata al-juhd dengan "jim" didhammah, yang
berarti: at-thaaqah (kemampuan atau tenaga). Sebab, masing-masing
mengerahkan tenaganya untuk melindungi shahabatnya.
Di dalam al-Quran dan Sunnah, kata jihaad diberi arti baru oleh syariat dari arti asal (bahasanya) atau menuju makna yang lebih khusus, yaitu, "mengerahkan
seluruh kemampuan untuk berperang di jalan Allah, baik secara langsung,
dengan bantuan keuangan, pendapat (pemikiran), memperbanyak kuantitas
(taktsiir al-sawaad) ataupun yang lain (Ibn 'Abidiin, Haasyiyah, juz
III, hal. 336) Dengan demikian, ketika kata "jihad" disebut, secara
otomatis orang akan memaknainya dengan makna syariatnya –berperang di
jalan Allah", bukan dengan makna bahasanya. Jihad dengan makna khusus
ini, bisa ditemukan pada ayat-ayat Madaniyah. Sedangkan kata jihad di
dalam ayat-ayat Makkiyah, maknanya merujuk pada makna bahasanya
(bersungguh-sungguh).
Contoh Ayat-ayat yang memberikan pengertian Jihad adalah al Qital (perang):
"Tidaklah
sama antara mu'min yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak
mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan
harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad
dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat.
Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga)
dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk
dengan pahala yang besar."(QS. al-Nisaa' : 95)
Jihaad dalam
ayat ini mempunyai pengertian: keluar untuk berperang, dan aktivitas
ini lebih diutamakan daripada berdiam diri dan tidak berangkat menuju
peperangan.
Para
ulama empat madzhab juga telah sepakat bahwa jihad harus dimaknai
sesuai dengan hakekat syariatnya, yakni berperang di jalan Allah baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Madzhab as-Syaafi'i, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab al-Iqnaa', mendefinisikan jihad dengan "berperang di jalan Allah". Al-Siraazi juga menegaskan dalam kitab al-Muhadzdzab;sesungguhnya jihad itu adalah perang.
Dalam masalah ini, Ibnu Qudamah dalam al Mughni-nya berkata: Ribaath (menjaga perbatasan) merupakan pangkal dan cabang jihad. Beliau juga mengatakan: Jika
musuh datang, maka jihad menjadi fardlu 'ain bagi mereka… jika hal ini
memang benar-benar telah ditetapkan, maka mereka tidak boleh
meninggalkan (wilayah mereka) kecuali atas seizin pemimpin (mereka).
Sebab, urusan peperangan telah diserahkan kepadanya.
Jihad Ofensif dan Jihad Defensif
Dr. Mohammad Khair Haekal di dalam kitab al-Jihad wa al-Qital menyatakan,
bahwa sebab dilaksanakannya jihad fi sabilillah bukan hanya karena
adanya musuh (jihad defensif), akan tetapi juga dikarenakan tugas Daulah
Islamiyyah dalam mengemban dakwah Islam ke negara lain, atau agar
negara-negara lain tunduk di bawah kekuasaan Islam (jihad ofensif).
Hanya
saja, para ulama berbeda pendapat dalam menentukan batas minimal jihad
yang dilakukan oleh negara. Imam al-Mawardiy dalam kitab al-Iqnaa', hal.175 menyatakan, "Hukum
jihad adalah fardlu kifayah, dan imamlah yang berwenang melaksanakan
jihad…ia wajib melaksanakan jihad minimal setahun sekali, baik ia pimpin
sendiri, atau mengirim ekspedisi perang."
Syeikh Imam Nawawi al-Bantani al-Jawi dalam kitab Nihayah Az-Zain, "Jihad
itu adalah fardhu kifayah untuk setiap tahun, apabila orang-orang kafir
berada di negeri mereka. Paling sedikit satu kali dalam satu tahun,
tapi apabila lebih tentu lebih utama, selama tidak ada kebutuhan lebih
dari satu kali. Jika jihad tidak dilakukan maka wajib atas sebagian
(kaum Muslimin) untuk mengajak jihad, dengan salah satu dari dua cara".
Berdasarkan
pendapat di atas dapatlah disimpulkan bahwa jihad yang dilakukan oleh
kaum Muslim bisa berujud jihad ofensif maupun defensive. Jadi jihad itu
bukan terorisme, dan jihad tidak sama dan tidak identik dengan
terminologi kekerasan.
Umat
Islam bisa menyaksikan hari ini, penanganan aksi teror selalu di ekpos
di media secara sengaja dengan mengkaitkan simbol-simbol Islam, misalkan
barang bukti adalah buku-buku yang menjelaskan tentang jihad dan
semisalnya. Sekalipun kita juga harus obyektif, barang kali ada
segelintir orang muslim yang bias menterjemahkan jihad dalam konteks
yang tidak tepat. Namun demikian bukan berarti orang bisa seenak
perutnya mengkriminalisasi terma Jihad yang mulia.Bahkan condong
penanganan "terorisme" sudah lepas dari konteks historikal politik
global maupun lokal yang sedemikian rupa akhirnya mendorong memposisikan
umat Islam banyak membuat reaksi daripada aksi. Dan ketika sebagian
saudara-saudara kita tidak mampu mengendalikan diri, outputnya adalah
sebuah langkah yang akhirnya menjadi kontraproduktif di manipulir oleh
media sekuler secara sistematis. Atas nama jihad melakukan tindakan
teror yang tidak proporsional, dan membuat salah paham dunia dan umat
Islam sendiri yang masih banyak yang awam. Maka, saya selalu katakan
motif "teror" tidak relevan lagi dengan terma jihad karena yang tampak
adalah teror dan tindakan tidak logis lagi jika motifnya adalah sebuah
tatatan politik baru yang disebut dengan negara Islam atau Khilafah
Islamiyah.
Umat
harus waspada manufer orang-orang yang membenci Islam & kaum muslim
melalui permainan bahasa berusaha membikin kacau cara berfikir dan
perilakunya.Wallahu a'lam. [arrahmah/khoirunnisa-syahidah.blogspot.com]
Posting Komentar