khoirunnisa-syahidah.blogspot.com - Jakarta
– Polisi melakukan kebohongan kepada masyarakat dengan menyebut
kejadian penembakan di Solo dilakukan para teroris. Ketua Presidium
Indonesian Police Watch (IPW) Neta S Pane menilai, aksi penembakan
terhadap polisi di Solo bukan serangan yang dilakukan oleh teroris,
seperti yang selama ini disebut polisi.
Menurutnya,
ada hal yang sangat signifikan untuk diragukan, yaitu pelaku menembak
polisi dari jarak dekat dan menggunakan senjata FN, seperti dikatakan
pihak kepolisian. “Penembakan terhadap polisi di Solo bukan dilakukan
teroris yang selama ini disebut-sebut polisi,” kata Ketua Presidium
Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane, Selasa (4/9/2012).
Sebelumnya
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Anang Iskandar, mengatakan
bahwa korban bernama Bripka Dwi Data Subekti tewas seketika akibat
tertembak di dada sebanyak empat kali. “Ya, telah terjadi penembakan di
Pos Polisi Matahari Singosaren jam 21.00, ditembak jarak dekat. Korban
Briptu Data, anggota Polsek Serengan dengan luka empat tembakan di
dada,” kata Anang saat itu, seperti dikutip kompas.com.
Menurut
Neta, ada hal yang sangat berbeda dan sangat signifikan dalam peristiwa
di Solo itu, yakni, pelaku menembak polisi dengan jarak dekat dengan
senjata yang menurut polisi adalah FN. “Fakta yang ada selama ini
adalah, para teroris selalu menyerang targetnya dari jarak jauh memakai
remote control maupun menggunakan handphone. Kalaupun ada serangan jarak
dekat, hanya aksi bom bunuh diri,” kata Neta.
Kata
Neta, pola penyerangan yang dilakukan pihak tertentu terhadap anggota
polisi di lapangan perlu dicermati secara jernih, agar petugas di
lapisan bawah tidak terus menerus menjadi korban sia-sia.
Presidium IPW Neta S Pane: Siapa yang berani menembak polisi dari jarak dekat? Tak lain adalah orang-orang terlatih dan orang-orang yang sudah terbiasa berada di lingkungan aparat keamanan…
“Perbedaan
ini sangat signifikan. Pertanyaannya, siapa yang berani menembak polisi
dari jarak dekat? Tak lain adalah orang-orang terlatih dan orang-orang
yang sudah terbiasa berada di lingkungan aparat keamanan. Sebab itu, IPW
menilai, antara penembakan polisi di Solo dan penyergapan polisi di
Solo adalah dua hal berbeda,” jelasnya.
Terkait
teror di Solo ini, menurutnya, ada dua hal yang mendasari sehingga
polisi dijadikan target penyerangan. Pertama, akumulasi kekesalan
terhadap sikap, perilaku, dan kinerja polisi. Kedua, memperburuk citra
Polri agar terjadi krisis kepercayaan pada institusi tersebut. Yang
dimaksud adalah, terbangunnya opini bahwa Polri tak mampu melindungi
anggotanya sendiri. “Sehingga muncul opini, untuk melindungi dirinya
saja Polri tidak mampu, bagaimana pula untuk melindungi masyarakat,”
ujar Neta.
Ia
juga mengimbau agar Polri lebih jernih mencermati pola penyerangan yang
dilakukan oleh pihak tertentu. Hal ini dinilai penting agar para
anggota Polri di lapisan bawah tidak terus-menerus menjadi korban
sia-sia.
Neta
melanjutkan, peristiwa ada penggiringan opini ini penting untuk
menggolkan RUU Kamnas. “Sebab esensi dari keberadaan RUU Kamnas adalah
mengebiri dan mengerdilkan peran Polri dalam sistem keamanan di negeri
ini. Hal itulah yang harus diantisipasi Polri,” ungkapnya.
IPW
berharap, Polri jangan terjebak dengan stigma ala Orde Baru yang jika
terjadi masalah langsung main tuding PKI dan komunis. Kini stigmanya
diubah, jika terjadi masalah langsung main tuding, teroris dan Islam
radikal.
Ada Tiga Kejanggalan Operasi Densus 88 di Solo
Indonesian Police Watch (IPW) menyatakan ada tiga kejanggalan dalam
penyergapan terhadap orang-orang yang disebut sebagai teroris oleh
polisi Solo pada 31 Agustus 2012. “Ada tiga kejanggalan dalam
penyergapan itu,” kata Ketua Presidium IPW, Neta S Pane melalui siaran
persnya di Jakarta, Ahad kemarin. Ia menjelaskan kejanggalan pertama terletak
pada pistol yang disita dari tertuduh teroris yang terbunuh adalah
jenis Bareta dengan tulisan “Property Philipines National Police”.
Padahal,
kata Neta, sebelumnya Kapolresta Solo, Kombes Asdjima’in menyebutkan
senjata yang digunakan menembak polisi di Pos Pengamanan (Pospam)
Lebaran adalah jenis FN kaliber 99 milimeter (mm). “Pertanyaannya apakah
orang yang ditembak polisi itu, benar-benar orang yang menembak polisi
di Pospam Lebaran atau ada pihak lain sebagai pelakunya,” katanya.
Kedua, ia
menambahkan Bripda Suherman, anggota Densus 88 tewas akibat tertembak
di bagian perut. “Ini menunjukkan anggota Densus 88 dalam bertugas yang
bersangkutan tidak sesuai dengan “Standard Operational Procedure” (SOP)
yang harus memakai rompi anti peluru,” katanya.
Pertanyaannya
apakah benar pada 31 Agustus 2012 malam itu, ada operasi Densus 88.
“Jika ada kenapa anggota Densus 88 bisa teledor bertugas tidak sesuai
SOP,” katanya.
Ketiga, beberapa
jam setelah penyergapan itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
memerintahkan Kapolri segera meninjau tempat kejadian perkara (TKP).
“Padahal dalam peristiwa-peristiwa sebelumnya, hal itu tidak pernah
terjadi bahkan saat tiga kali penyerangan terhadap Pospam Lebaran itu,
Presiden tidak bersikap seperti itu,” katanya.
Pertanyaannya
apakah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ingin membangun citra dan
menarik simpati publik dari peristiwa Solo yang terjadi sebelumnya yang
sempat memojokkan Joko Widodo, Walikota Solo yang saat ini menjadi Calon
Gubernur DKI Jakarta.
Karena
itu, IPW menganalisa meski Densus 88 sudah melakukan penyergapan di
Solo tapi teror dan penembakkan terhadap polisi tetap menjadi ancaman.
“Sebab rasa kesal sebagai masyarakat terhadap polisi kian memuncak,”
katanya.
Selama
lima bulan pertama pada 2012, terdapat 11 polisi yang dikeroyok
masyarakat. “Untuk itu, IPW mengimbau Polri agar mengubah sikap,
perilaku dan kinerjanya. Jangan arogan, represif, memeras dan memungli
masyarakat,” katanya.
Almarhum Farhan Mujahidin
Seperti
diberitakan sebelumnya, Detasemen Antiteror pada Jumat (31/8/2012)
malam lalu menyergap tiga orang yang diduga menembak Ajun Inspektur Dua
(Anumerta) Dwi Data Subekti hingga tewas. Diduga, dua
dari tiga pelaku itu, yakni Farhan Mujahidin (19) dan Mukhsin Sanny
Permadi (19), tewas dalam baku tembak di Jalan Veteran, Kelurahan Tipes,
Solo. Satu lainnya, Bayu Setiono, warga Tipes, ditangkap di kediaman
mertuanya di Desa Bulurejo, Kecamatan Gondangrejo, Karanganyar, Jawa
Tengah.
[KbrNet/Slm/Kmps/khoirunnisa-syahidah.blogspot.com]
Posting Komentar