Tapi
itu hanyalah tinggal “mitos”. Dongeng pengantar tidur anak-anak agar
doktrin cinta negeri terhunjam ke dalam lubuk hatinya. Tetapi tatkala
membuka mata, telinga, dan hati, mereka akan limbung menatap
sekelilingnya. Apa yang didengarnya, tak sesuai dengan yang dilihatnya.
Mereka
melihat beras negeri tetangga, Vietnam dan Thailand mengalir deras
masuk pasar sampai pelosok negeri. Daging sapi Australia menghiasi
sudut-sudut pasar. Gula juga demikian, bertebaran di meja-meja warung
kopi. Bahkan tahu tempe yang katanya makanan rakyat ternyata berbahan
impor.
KETAHANAN PANGAN MODEL KAPITALIS.
Pengertian Ketahanan Pangan
Definisi
dan paradigma ketahanan pangan terus mengalami perkembangan sejak
adanya Conference of Food and Agriculture tahun 1943 yang mencanangkan
konsep secure, adequate and suitable supply of food for everyone
–Jaminan, Kecukupan dan Supply Yang Terjangkau dari Makanan untuk Semua
Orang-”. Definisi ketahanan pangan sangat bervariasi, namun umumnya
mengacu definisi dari Bank Dunia (1986) dan Maxwell dan Frankenberger
(1992) yakni “jaminan akses setiap saat pada pangan yang cukup untuk
hidup sehat (secure access at all times to sufficient food for a healthy
life). Studi pustaka yang dilakukan oleh IFPRI (1999) diperkirakan
terdapat 200 definisi dan 450 indikator tentang ketahanan pangan
(Weingärtner, 2000). Berikut beberapa definisi yang yang sering
digunakan.
Undang-Undang
Pangan No.7 Tahun 1996 –cat: saat ini sedang diajukan RUU tentang
Pangan dan masih dalam pembahasan di DPR- adalah: kondisi terpenuhinya
kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya
pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata dan
terjangkau.
FAO
(1997) : situasi dimana semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik
maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya,
dimana rumah tangga tidak beresiko mengalami kehilangan kedua akses
tersebut.
FIVIMS
2005 (Food Insecurity and Vulnerability Information and Mapping
Sistems): kondisi ketika semua orang pada segala waktu secara fisik,
social dan ekonomi memiliki akses pada pangan yang cukup, aman dan
bergizi untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi dan sesuai dengan seleranya
(food preferences) demi kehidupan yang aktif dan sehat.
Berdasarkan
definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ketahanan pangan
memiliki 5 unsur yang harus dipenuhi : (1) Berorientasi pada rumah
tangga dan individu; (2) Dimensi waktu setiap saat pangan tersedia dan
dapat diakses; (3) Menekankan pada akses pangan rumah tangga dan
individu, baik fisik, ekonomi dan sosial; (4) Berorientasi pada
pemenuhan gizi; dan (5) Ditujukan untuk hidup sehat dan produktif.
Sub Sistem Ketahanan Pangan
Sub
sistem ketahanan pangan terdiri dari tiga sub sistem utama yaitu
ketersediaan, akses, dan penyerapan pangan, sedangkan status gizi
merupakan outcome dari ketahanan pangan. Ketersediaan, akses, dan
penyerapan pangan merupakan sub sistem yang harus dipenuhi secara utuh.
Salah satu subsistem tersebut tidak dipenuhi maka suatu negara belum
dapat dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang baik. Walaupun pangan
tersedia cukup di tingkat nasional dan regional, tetapi jika akses
individu untuk memenuhi kebutuhan pangannya tidak merata, maka ketahanan
pangan masih dikatakan rapuh.
Ketersediaan pangan
Ketersedian
pangan menurut kapitalis adalah ketersediaan pangan dalam jumlah yang
cukup aman dan bergizi untuk semua orang dalam suatu negara baik yang
berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan maupun bantuan
pangan. Ketersedian pangan dalam hal ini lebih serng dilihat secara
makro. Jika stok memadai dibandingkan tingkat kebutuhan secara makro
maka ketersediaan pangan dianggap cukup. Masalah distribusi dan bisa
diakses oleh tiap individu atau tidak, itu tidak jadi perhatian.
Disamping itu dengan filosofi kebebasan ala kapitalis maka penyediaan
pangan itu harus diberikan kepada swasta secara bebas. Keserdiaan
pangan yang ditempuh pada sistem kapitalis ini tidak membatasi pelaku
penjamin ketersedian pangan oleh negara. Hal itu memungkinkan
pihak-pihak lain di luar Negara (swasta DN dan LN) bisa mengambil andil
yang sangat besar. Akibatnya terjadilah monopoli bahan pangan,
menumpuknya kendali supply pangan pada sekelompok orang, serta impor
yang menyebabkan ketergantungan kepada Negara lain ( lihat RUU tentang
Pangan). Contoh, saat ini impor kedelai yang 90% berasal dari AS
dikuasai oleh empat perusahaan saja termasuk Cargill yang induknya di
AS, impor gula dikuasai oleh 7-8 perusahaan saja, impor gandum yang
tahun ini bisa mencapai 7,1 juta ton senilai USD 3,5 miliar atau setara
Rp 32,8 triliun (liiputan6, 17/6) dikuasai tidak lebih oleh 4 perusahaan
saja, yang terbesar Bogasari dari Grup Salim. Hanya beras yang impornya
dikendalikan oleh negara, tapi pelaksanaan impornya yang ditenderkan
kepada importir swasta dan dijadikan bancakan oleh para pejabat dan
politisi.
Pada
saat ini perusahaan–perusahaan yang memiliki modal besar mampu
menguasai pangan dari hulu hingga hilir (contoh, mulai dari impor
gandum, industri tepung terigu sampai makanan olahan berbahan tepung
terigu dikuasai oleh perusahaan dari satu grup, terutama grup Salim
Bogasari – Indofood cs). Akibatnya mereka bisa mengendalikan penentuan
harga di pasar, dan menyebabkan hilangnya peluang usaha bagi masyarakat
yang memiliki modal terbatas.
Akses dan Penyerapan Pangan
Begitu
pula akses pangan bukanlah berarti jaminan bagi setiap induvidu bisa
mendapatkan kebutuhan pangannya. Melainkan bagaimana masyrakat mampu
memenuhi kebutuhannya dengan memproduksi sendiri, membeli, ataupun
mendapat bantuan agar bisa membeli. Jadi distribusi yang menentukan
akses pangan itu tetap berdasarkan mekanisme harga sebagaimana doktrin
ekonomi kapitalis. Pada faktanya sangat sering kita temukan stok pangan
melimpah tapi banyak orang tidak bisa mengaksesnya, dikarenakan mereka
tidak punya uang untuk membeli, apalagi ketika stok pangan kurang
sehingga harga pangan melambung. Ketika kondisi stok pangan tidak
mencukupi, mereka tidak memiliki modal untuk memproduksi sendiri atau
mereka tidak punya kesempatan untuk ikut dalam proses produksi, kalaupun
mereka bisa memproduksi mereka tidak memiliki akses untuk memasarkan
produksinya atau kalah saing dengan produsen yang lebih besar. Sehingga
pada sistem ini tidak ada jaminan bagi setiap individu untuk dapat
memenuhi kebutuhan pokok pangannya.
KETAHANAN PANGAN DALAM SISTEM ISLAM
Ketahanan
pangan dalam sistem Islam tidak terlepas dari sistem politik Islam.
Politik ekonomi Islam yaitu jaminan pemenuhan semua kebutuhan primer
(kebutuhan pokok bagi individu dan kebutuhan dasar bagi masyarakat)
setiap orang individu per individu secara menyeluruh, berikut jaminan
kemungkinan bagi setiap orang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
sekunder dan tersiernya, sesuai dengan kadar kesanggupannya sebagai
individu yang hidup dalam masyarakat yang memiliki gaya hidup tertentu.
Terpenuhinya
kebutuhan pokok akan pangan bagi tiap individu ini akan menentukan
ketahanan pangan Daulah. Selain itu, ketersediaan dan keterjangkauan
bahan pangan yang dibutuhkan oleh rakyat besar pengaruhnya terhadap
kesejahteraan dan kualitas sumber daya manusia. Hal itu berpengaruh
pada kemampuan, kekuatan dan stabilitas negara itu sendiri. Juga
mempengaruhi tingkat kemajuan, daya saing dan kemampuan negara untuk
memimpin dunia. Lebih dari itu, negara harus memiliki kemandirian dalam
memenuhi kebutuhan pangan pokok dan pangan utama dari daam negeri.
Sebab jika pangan pokok dan pangan utama berkaitan dengan hidup rakyat
banyak tergantung pada negara lain melalui impor hal itu bisa membuat
nasib negar tergadai pada negara lain. Ketergantungan pada impor bisa
membuka jalan pengaruh asing terhadap politik, kestabilan dan sikap
negara. Ketergantungan pada impr juga berpengaruh pada stabilitas
ekonomi dan moneter, bahkan bisa menjadi pemicu krisis. Akibatnya
stabilitas dan ketahanan negara bahkan eksistens negara sebagai negara
yang independen, secara keseluruhan bisa menjadi taruhan.
Karena
itu ketahanan pangan dalam Islam mencakup: (1) Jaminan pemenuhan
kebutuhan pokok pangan; (2) Ketersediaan pangan dan keterjangkauan
pangan oleh individu masyarakat; dan (3) Kemandirian Pangan Negara.
Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Pokok Pangan
Negara
dalam pandangan Islam memiliki tugas untuk melakukan kepengurusan
terhadap seluruh urusan rakyatnya, baik dalam ataupun luar negri (
ri’âyah su`ûn al-ummah). Islam mewajibkan negara menjamin pemenuhan
kebutuhan pokok pangan (selain kebutuhan pokok sandang dan papan serta
kebutuhan dasar pendidikan,kesehatan dan keamanan) seluruh rakyat
individu per individu. Dalil bahwa itu merupakan kebutuhan pokok
diantaranya bahwa imam Ahmad telah mengeluarkan hadits dengan sanad yang
dishahihkan oleh Ahmad Syakir dari jalur Utsman bin Affan ra., bahwa
Rasulullah saw bersabda:
«كُلُّ
شَيْءٍ سِوَى ظِلِّ بَيْتٍ، وَجِلْفِ الْخُبْزِ، وَثَوْبٍ يُوَارِي
عَوْرَتَهُ، وَالْمَاءِ، فَمَا فَضَلَ عَنْ هَذَا فَلَيْسَ لابْنِ آدَمَ
فِيهِ حَقٌّ»
Segala
sesuatu selain naungan rumah, roti tawar, dan pakaian yang menutupi
auratnya, dan air, lebih dari itu maka tidak ada hak bagi anak Adam di
dalamnya
Hadits tersebut juga dinyatakan dengan lafazh lain:
«لَيْسَ
لابْنِ آدَمَ حَقٌّ فِي سِوَى هَذِهِ الْخِصَالِ: بَيْتٌ يَسْكُنُهُ،
وَثَوْبٌ يُوَارِي عَوْرَتَهُ، وَجِلْفُ الْخُبْزِ وَالْمَاءِ»
Anak
Adam tidak memiliki hak pada selain jenis ini: rumah yang ia tinggali,
pakaian yang menutupi auratnya dan roti tawar dan air (HR at-Tirmidzi
dan ia berkata hasan shahih)
Ini
menunjukkan bahwa apa yang disebutkan di dalam lafazh hadits itu yaitu
pangan, papan dan sandang: «zhillu baytin –naungan rumah», «bayt
yaskunuhu –rumah yang ia diami-», «tsawbun yuwârî ‘awratahu –pakaian
yang menutupi auratnya-», «jilfu al-hubzi wa al-mâ’ –roti tawar dan
air-» itu sudah cukup dan di dalamnya ada kecukupan. Sabda Rasul di
dalam hadits tersebut «apa yang lebih dari ini maka anak Adam tidak
memiliki hak di dalamnya» di sini sangat gamblang bahwa tiga kebutuhan
inilah yang merupakan kebutuhan pokok. Kedua hadits ini menyatakan
tentang kebutuhan-kebutuhan pokok yaitu pangan, papan dan sandang. Yang
lebih dari itu maka bukan kebutuhan pokok, dan pemenuhannya terjadi
dimana kebutuhan-kebutuhan pokok individu itu telah terpenuhi.
Dalam
memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok itu termasuk kebutuhan
pokok pangan negara akan menggunakan mekanisme ekonomi dan non ekonomi
seperti yang diatur oleh hukum syara’.
Mekanisme Non Ekonomi
Negara
memastikan agar hukum-hukum syariat terkait dengan nafkan berjalan
sebagaimana mestinya. Islam memerintahkan agar setiap laki-laki bekerja
untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan kebutuhan orang-orang yang berada
dibawah tanggungannnya (QS. al-Baqarah [2]: 233). Jika kemudian
pemenuhan kebutuhan pokok dia dan keuarganya belum terpenuhi, baik
karena ia tidak bisa bekerja atau pendapatannya tidak cukup, maka
kerabatnya mulai yang terdekat diwajibkan untuk turut menanggungnya (QS.
al-Baqarah [2]: 233). Jika belum terpenuhi juga maka tanggungjawab itu
beralih menjadi kewajiban baitul mal (negara). Rasul saw bersabda:
«
اَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ، مَنْ تَرَكَ مَالاً
فَلِأَهْلِهِ، وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضِيَاعًا، فَإِلَيَّ، وَعَلَيَّ
»
“Aku
lebih utama dibandingkan orang-orang beriman daripada diri mereka,
siapa yang meninggalkan harta maka bagi keluarganya, dan siapa yang
meninggalkan hutang atau tanggungan keluarga, maka datanglah kepadaku,
dan menjadi kewajibanku.” (HR. an-Nasai dan Ibnu Hibban)
Disamping
itu, ketika kebutuhan pokok termasuk kebutuhan pokok pangan tidak
terpenuhi maka orang tersebut berhak atas harta zakat. Karena itu orang
tersebut berhak meminta harta zakat ke Baitul Mal dan amil zakat.
Mekanisme ekonomi
Mekanisme
ekonomi yang dimaksud di sini adalah keterlibatan individu dalam
aktivitas ekonomi untuk mendapatkan harta sehingga ia bisa memenuhi
kebutuhan dia dan keluarganya. Mekanisme ini saling melengkapi dengan
mekanisme non ekonomi di atas. Secara lebih tepatnya adalah pemberian
peluang bagi setiap orang khususnya laki-laki untuk bekerja. Sebab
Islam mewajibkan setiap laki-laki yang mampu untuk bekerja. Dalam hal
ini negara wajib menyediakan lapangan dan kesempatan kerja.
Untuk
menyediakan lapangan dan kesempatan kerja bagi rakyat, Negara bisa
menempuhnya dengan cara langsung dan tidak langsung. Cara langsung
artinya negara secara langsung membuka lapangan kerja dengan membuka
proyek-proyek pembangunan khususnya proyek padat karya. Kesempatan
kerja justru lebih banyak bisa diberikan oleh negara secara tidak
langsung. Jadi bukan negara yang secara langsung membuka lapangan
kerja, tapi masyarakatlah yang membuka lapangan kerja melalui kegiatan
usaha yang mereka lakukan. Agar kesempatan kerja bisa terbuka
seluas-luasnya melalui cara ini, negara harus mewujdukan dan menjamin
adanya iklim usaha yang kondusif bagi masyarakat. Untuk itu setidaknya
negara harus menjamin terealisasinya hal-hal berikut:
Negara
harus menjamin terlaksananya hukum-hukum syara terkait dengan ekonomi,
seperti hukum-hukum kepemilikan, pengelolaan dan pengembangan
kepemilikan, serta distribusi harta di tengah masyarakat.
Menjamin
terlaksananya mekanisme pasar yang sesuai syari’at. Negara akan
menghilangkan dan memberantas berbagai distorsi yang menghambat, seperti
penimbunan, kanzul mal (QS at-Tawbah [9]: 34), riba, monopoli,
penipuan. Negara juga harus menyediakan informasi ekonomi dan pasar
serta membuka akses informasi itu untuk semua orang sehingga akan
meminimalkan terjadinya informasi asimetris yang bisa dimanfaatkan oleh
pelaku pasar mengambil keuntungan secara tidak benar.
Negara
harus mengembangkan sistem birokrasi dan administrasi yang sederhana
dalam aturan, cepat dalam pelayanan, dan profesional. Dalam hal ini,
untuk membuka usaha misalnya, tidak perlu izin. Meski dalam hal
pembukaan usaha tetap ada aturan-aturan teknis dan administratif sesuai
hukum syara’ dalam rangka agar tidak terjadi pelanggaran hak individu
dan umum oleh para pelaku usaha, seperti aturan tentang RTRW, izin
lingkungan, dsb. Negara juga akan menghilangkan berbagai pungutan,
retribusi, cukai dan pajak yang bersifat tetap. Dalam konteks
perdagangan luar negeri negara tidak akan memungut bea import ataupun
ekspor dari para pedagang warga negara.
Negara memberikan bantuan teknis, teknologi dan litbang, informasi, dan modal kepada rakyat yang mampu berusaha/bekerja.
Negara
menghilangkan sektor non riil, sehingga harta hanya akan berputar di
sektor riil (produksi dan distribusi barnag dan jasa). Denga begitu
semua kegiatan ekonomi akan berefek langsung pada kemajuan perekonomian
secara riil.
Ketersediaan dan Keterjangkauan Pangan
Ketersediaan
pangan yang dimaksudkan adalah tersedianya stok pangan yang memadai
untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Sementara keterjangkauan
pangan adalah tersedianya pangan secara merata di semua wilayah dengan
tingkat harga yang wajar. Ketersediaan pangan itu erat kaitannya dengan
produksi pangan. Sedangkan keterjangkauan pangan erat kaitannya dengan
distribusi dan keseimbangan supply dan demand.
Untuk
menjamin ketersediaan pangan maka negara harus menjamin produksi pangan
pada tingkat yang mencukupi kebutuhan masyarakat. Dan jika produksi
dalam negeri tidak cukup maka bisa dipenuhi dari impor dengan tetap
memperhatikan kemaslahatan dalam negeri dan negara. Untuk menjamin
produksi pangan setidaknya negara harus melakukan hal-ha berikut:
Negara
harus menjamin pelaksanaan politik pertanian dan politik pertanahan
syariah. Hal itu akan menjamin ketersedian lahan dan produktivitas
lahan. Dalam Islam, tanah-tanah mati yaitu tanah yang tidak tampak
adanya bekas-bekas tanah itu diproduktifkan, maka tanah mati itu bisa
dihidupkan oleh siapa saja baik dengan cara memagarinya dengan maksud
untuk memproduktifkannya atau menanaminya dan tanah itu menjadi milik
orang yang menghidupkannya itu. Rasul bersabda:
« مَنْ أَحْيَى أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ »
Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya (HR. Tirmidzi, Abu Dawud)
Selanjutnya,
siapapun yang memiliki tanah baik dari menghidupkan tanah mati atau
dari warisan, membeli, hibah, dsb, jika ia telantarkan tiga tahun
berturut-turut maka hak kepemilikannya atas tanah itu hilang.
Selanjutnya tanah yang ditelantarkan pemiliknya tiga tahun
berturut-turut itu diambil oleh negara dan didistribusikan kepada
individu rakyat yang mampu mengolahnya, tentu dengan memperhatikan
keseimbangan ekonomi dan pemerataan secara adil. Abu Yusuf meriwayatkan
di dalam kitab al-Kharâj dari Umar bin al-Khathab :
« … لَيْسَ لِمُحْتَجِرٍ حَقٌّ بَعْدَ ثَلاَثِ سِنِيْنَ »
… Tidak ada hak bagi orang yang memagari tanah mati setelah tiga tahun
Humaid
bin Zanjawaih an-Nasa’iy dalam kitab al-Amwâl meriwayatkan dari jalan
Amr bin Syu’aib bahwa Nabi saw memberikan tanah kepada orang-orang dari
Juhainah lalu mereka membiarkannya dan menelantarkannya, lalu datang
kaum yang lain dan menghidupkannya. Kemudian orang-orang Juhainah itu
mengadukannya kepada Umar bin Khathab, lalu Umar berkata : seandainya
itu dari pemberianku atau dari Abu Bakar maka aku tidak akan ragu,
tetapi itu adalah pemberian Rasulullah saw (artinya sudah ditelantarkan
lebih dari tiga tahun). Dan Umar berkata :
« مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَعَطَلَهَا ثَلاَثَ سِنِيْنَ لاَ يَعْمُرُهَا فَعَمَرَهَا غَيْرُهُ فَهُوَ أَحَقٌّ بِهَا »
Siapa
saja yang memiliki tanah lalu ia telantarkan tiga tahun tidak ia
gunakan, lalu orang lain menggunakannya maka orang lain itu lebih berhak
atas tanah itu
Ibn
Hajar al-Ashqalani berkomentar bahwa riwayat ini mursal dan para
perawinya tsiqah (Ibn Hajr, ad-Dirâyah fi Takhrîj Ahâdîts al-Hidâyah,
II/243, Dar al-Ma’rifah, Beirut).
Dengan
ketentuan itu maka tanah akan terdistribusi kepada rakyat. Dan lebih
dari itu akan terjamin bahwa tanah yang ada akan produktif dan
meminimalkan bahkan menghilangkan adanya tanah terlantar. Sebagai
gambaran, saat ini di Indonesia terdapat 7,5 juta ha tanah terlantar
dimana 2,1 juta ha diantaranya layak untuk pertanian.
Dengan
hukum-hukum ini maka akan tersedia lahan yang cukup untuk pertanian,
dan semua laha yang ada akan produktif. Jika lahan yang ada dirasakan
masih kurang, maka negara bisa melakukan ekstensifikasi dengan membuka
lahan baru. Hal itu seperti yang dilakukan pada masa pemerintahan Umar
bin al-Khaththab ra dan dilanjutkan pada masa umayyah. Pada waktu itu
daerah delta sungai Eufrat dan Tigris dan daerah rawa-rawa di Irak
dikeringkan dengan jalan dibangun saluran-saluran air /irigasi kemudian
lahan itu direkayasa menjadi lahan pertanian dan selanjutnya dibagikan
kepada akyat yang mampu menanaminya.
Disamping
itu, negara juga menggunakan pendekatan intensifikasi pertanian.
Intensifikasi pertanian itu dimaksudkan untuk meningkatkan
produktifitas tanah. Intensifikasi itu dilakukan dengan memanfaatkan
kemajuan sains dan teknologi, penggunaan pupuk, obat-obatan, teknologi,
teknik produksi, pola tanam, penggunaan benih unggul, penggunaan alat
dan mesin pertanian, termasuk pemanfaatan teknologi kultur jaringan dan
rekayasa tanaman dan rekayasa genetika, dan sebagainya. Untuk itu,
negara haus membangun pusat-pusat kajian dan litbang pertanian secara
luas. Hasil-hasil litbang itu harus bisa diakses secara terbuka dan
luas oleh masyarakat. Tidak adanya hak patent sangat besar pengaruhnya
dalam hal ini. Hasillitbang itu misalnya benih unggul, bisa langsung
dibudidayakan dan dikembangkan oleh siapa saja dan disebarkan. Tidak
seperti sekarang, banyak hasil litbang yang tidak serta merta bisa
dimanfaatkan oleh para petani. Sebab ada peraturan dimana yang bisa
memasarkan benih hanyalah perusahaan yang berizin dan bersertifikasi.
Akibatnya, budidaya dan pemasaran benih hanya dikuasai oleh para
pemodal, sementara para petani tidak bisa mengaksesnya degan mduah.
Bahkan tiga orang petani di Kediri harus dipenjara karena menjual benih
jagung hasil budidayanya dengan alasan ketiganya tidak punya izin
budidaya dan pemasaran benih. Hal demikian tidak boleh terjadi di dalam
daulah. Penggunaan alat dan mesin pertanian hanya bisa efektif jika
didukung oleh politik industri yang tepat. Dalam hal ini, daulah akan
mengedepankan industri berat dan industri mesin dan peralatan sebagai
strategi industrialisasi dan strategi menciptakan kemandirian dan
kemajuan teknologi. Produksi pertanian yang baik apalagi intensifikasi
tidak bisa jalan tanpa didukung oleh infrastruktur pertanian yang
memadai. Karena itu sebagai bagian dari ri’ayah asy-syu’un, negara
melalui direktorat terkait harus membangun infratsruktur pertanian
seperti waduk, bendungan, jaringan irigasi, balai-balai pertanian,
jalan, dsb. Disamping itu negaa juga harus memiliki tenaga penyuluh dan
pembimbing pertanian yang mencukupi dan memiliki kemampuan yang memadai
untuk memberikan penyuluhan, pembimbingan dan memandu para petani
melakukan produksi dengan teknik, cara yang paling efisien dan paling
produktif. Diluar semua itu, negara pun bisa memberikan bantuan subsidi
langsung maupun tidak langsung, bantuan fasilitas, informasi dan
bantuan lainnya yang dibutuhkan, seperti yang dahulu pernah dicontohkan
oleh Umar bin al-Khaththab dan Umar bin Abdul Aziz dan para khalifah
lainnya. Dengan semua itu maka ketersediaan pangan bisa diwujdukan.
Keterjangkauan Pangan
Keterjangkauan
pangan yang dimaksudkan adalah terdistribusinya pangan di seluruh
wilayah dan dengan tingkat harga yang wajar. Untuk itu pembangunan
infrastruktur jalan dan transportasi menjadi suatu keniscayaan. Begitu
pula penyebaran informasi pasar dan informasi produksi juga harus
dikelola dengan baik oleh negara dan dibuka aksesnya untuk semua.
Pendistribusian hasil pertanian ke seluruh wilayah tentu membutuhkan
waktu, sementara sifat produk pertanian kebanyakan adalah perishable
(mudah rusak). Karena itu untuk menjamin keterjangkauan pangan ini,
negara juga harus mengembangkan teknologi pasca panen dan menyebarkannya
ke para petanidan pelaku usaha pertanian. Litbang untuk itu bisa
dikerjakan di pusat-pusat litbang yang didirikan oleh daulah. Teknologi
pasca panen jelas menuntut penguasaan seain sains juga teknologi dan
pengadaan teknologi itu. Dalam hal ini politik industri yang
mengedepankan industri berat, mesin dan peralatan akan sangat membantu.
Keterjangkauan
pangan juga mencakup kekontinuan supply pangan. Kekontinuan supply itu
bisa diwujudkan dengan pengaturan stok dan pengendalian logistik.
Pengaturan logistik diantaranya dengan menerapkan pengaturan pola dan
musim tanam yang dikombinasikan dengan pembagian atau pengaturan daerah
produksi. Hal itu bisa dilengkapi dengan pengembangan sentra-sentra
produksi produk pertanian dengan memperhatikan kesesuaian antara jenis
tanaman dengan karakteristik tanah dan iklim tiap daerah. Sementara
pengaturan stok dan supply bisa dilakukan dengan mendistribusikan produk
dari daerah-daerah sentra produksi atau yang surplus ke daerah-daerah
lain yang kurang. Untuk itu negara harus memiliki badan yang mengelola
informasi pasar dan informasi pertanian termasuk produksi. Sekarang
pengelolaan informasi semua itu bisa dilakukan secara real time. Adanya
badan seperti itu seperti yang cikal bakalnya dicontohkan oleh Rasul
saw. beliau mengangkat Hudzaifah ibn al-Yaman sebagai katib yang
mencatat hasil produksi Khaybar dan hasil produksi pertanian. Bisa juga
negara membeli hasil pangan dan menyimpannya di gudang-gudang negara
untuk didistribusikan ketika supply mengalami kekurangan. Dengan
kebijakan itu maka harga pangan bisa dijaga pada tingkat yang wajar.
Untuk itu perlu ada badan negara yang berfungsi sebagai penyangga harga
dan keseimbangan supply dan deman, khususnya untuk produk-produk pangan
pokok dan pangan utama. Badan itu bisa saja seperti Bulog.
Kebijakan
pengendalian harga dengan mengendalikan supply dan demand menggunakan
menakisme pasar seperti itulah yang harus dilakukan. Sebab Islam
melarang kebijakan pematokan harga. Anas ra. menceritakan:
غَلاَ
السِّعْرُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ e فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ
سَعِّرْ لَنَا.فَقَالَ «إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ
الْبَاسِطُ الرَّزَّاقُ وَإِنِّى لأَرْجُو أَنْ أَلْقَى رَبِّى وَلَيْسَ
أَحَدٌ مِنْكُمْ يَطْلُبُنِى بِمَظْلَمَةٍ فِى دَمٍ وَلاَ مَالٍ »
Harga
meroket pada masa Rasulullah saw lalu mereka (para sahabat) berkata:
“ya Rasulullah patoklah harga untuk kami”. Maka Beliau bersabda:
“sesungguhnya Allahlah yang Maha Menentukan Harga, Maha Menggenggam,
Maha Melapangkan dan Maha Pemberi Rezki dan aku sungguh ingin menjumpai
Allah dan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku karena
kezaliman dalam hal darah dan harta (HR at-Tirmidzi, Ibn Majah, Abu
Dawud, ad-Darimi, Ahmad)
Praktek
pengendalian supply seperti itu pernah dicontohkan oleh Umar bin
al-Khaththab ra. Pada waktu tahun paceklik dan Hijaz dilanda
kekeringan, Umar bin al-Khaththab ra menulis surat kepada walinya di
Mesir Amru bin al–‘Ash tentang kondisi pangan di Madinah dan
memerintahkannya untuk mengiripkan pasokan. Lalu Amru membalas surat
tersebut, “saya akan mengirimkan unta-unta yang penuh muatan bahan
makanan, yang “kepalanya” ada di hadapan Anda (di Madinah) dan dan
ekornya masih dihadapan saya (Mesir) dan aku lagi mencari jalan untuk
mengangkutnya dari laut”.
Disamping
semua itu, negara juga harus melarang perserikatan/asosiasi produsen,
konsumen atau pedagang melakukan kesepakatan, kolusi atau persekongkolan
untuk mengatur dan mengendalikan harga atau perdagangan, misalnya
membuat kesepakatan harga jual minimal. Hal itu berdasarkan sabda Rasul
saw:
«
مَنْ دَخَلَ فِى شَىْءٍ مِنْ أَسْعَارِ الْمُسْلِمِينَ لِيُغْلِيَهُ
عَلَيْهِمْ فَإِنَّ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يُقْعِدَهُ بِعُظْمٍ مِنَ
النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ »
Siapa
saja yang turut campur (melakukan intervensi) dari harga-harga kaum
Muslimin untuk menaikkan haga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah
untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada Hari Kiamat kelak
(HR Ahmad, al-Baihaqi, ath-Thabarani)
Dalam
hadits ini terdapat ‘illat yaitu untuk memahalkan harga atas
masyarakat. Maka apa saja yang disitu ada unsur untuk memahalkan harga
maka tercakup dalam ancaman hadits ini.
Kadang
kala, para produsen, penjual, pedagang, pembeli, profesi atau penyedia
jasa tertentu, dsb, mereka berkumpul atau berasosiasi untuk menyepakati
batas harga/sewa/upah tertentu; menghalangi harga yang lebih rendah atau
lebih tinggi dari batas yang mereka sepakati; atau untuk mengatur harga
secara tak langsung dengan membagi kuota diantara mereka. Hal itu
berpotensi besar memahalkan harga bagi masyarakat, dan itu jelas
tercakup dalam ancaman hadits ini. Maka dalam konteks seperti ini,
perkumpulan atau asosiasi itu berpotensi besar menjadi wasilah kepada
yang haram, sehingga hukumnya haram. Negara harus melarang perkumpulan
atau asosiasi seperti itu.
Kemandirian Pangan Negara
Terpenuhinya
kebutuhan pangan dalam suatu Negara dan adanya jaminan terpenuhinya
kebutuhan pangan bagi setiap individu dan tersedianya sarana dan
prasarana yang memadai secara otomatis akan mampu menciptakan ketahanan
pangan suatu Negara. Begitupun sebaliknya. Karena itu jaminan
tersedianya pangan yang dibutuhkan oleh masyarakat suatu Negara harus
mendapat perhatian penting dari Negara. Ketersediaan pangan bisa
dilakukan dengan meningkatkan produksi pangan dalam negri ataupun
dengan impor bahan pangan dari luar negri. Kebijakan impor pangan dari
luar negeri diambil oleh Negara tentu setelah Negara mengambil kebijakan
dan strategi peningkatan produksi pangan nasional sebagaimana yang
telah disebutkan sebelumnya. Kebijakan impor pangan yang diambil oleh
Negara tentulah harus memperhatikan bebera hal yang terkait dengan
kekuatan politik Negara. Contoh kondisi negeri ini yang sangat tergatung
pada impor bisa mempengaruhi stabilitas dalam negeri. Seperti kedelai,
dari kebutuhan sebesar 3 juta ton, produksi dalam negri banya 800.000
ton saja. Artinya 2,2 juta ton harus diimpor dan 90%-nya dari Amerika.
Hal sama juga terjadi atas gandum yang 100 % impor, jagung, gula, bahkan
garam. Ketika produksi pangan negara asal impor mengalami gangguan,
atau terjadi spekulasi harga di tingkat internasional sehingga harga
melambung seperti yang terjadi beberapatahun lalu, maka stabilitas dalam
negeri ini akan terganggu.
Kareba
itu impor pangan haruslah tidak terus menerus, dan tidak boleh
dijadikan sandaran penyediaan pangan dalam negeri sebab hal itu akan
menyebabkan ketergantungan kepada negara lain. Jika itu terjadi, hal
itu membuka jalan bagi negara lain itu untuk mengintervensi bahkan
mengontrol Negara baik secara langsung maupun tidak langsung. Yang
demikian adalah haram sebab kita haram menyediakan jalan bagi kaum kafir
untuk menguasai kaum mukmin. Allah SWT berfirman:
] وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً [
dan
Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir
untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (TQS. an-Nisa’ [4]: 141).
Karenanya
negara harus benar-benar memperhatikan kebijakan impor bahan pangan.
Ataupun kebijakan ekspor jika kebutuhan pangan itu belum memenuhi
kebutuhan dalam negeri.
Dalam
hal ini, daulah harus mengupayakan semaksimal mungkin terwujudnya
kemandirian pangan dengan memenuhi kebutuhan pangan dari produksi dalam
negeri. Dengan strategi yang dipaparkan di atas maka kemandirian pangan
itu bisa diwujudkan, insya’a Allah.
Semua
kebijakan dan straetegi itu hanya akan bisa berjalan dengan baik jika
didukung oleh kepemimpinan yang baik adlam sistem kenegaraan yang bisa
terjamin adanya keterpaduan antar sektor, bukan malah terjadi ego antar
sektor ditengah kepemimpinan yang lemah seperti saat ini. Hal itu hanya
bisa terwujud dalam sistem Khilafah ‘ala minhan an-nubuwwah. Wallâh
a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman/khoirunnisa-syahidah.blogspot.com]
Posting Komentar