khoirunnisa-syahidah.blogspot.com - JAKARTA
Ustadz Fauzan Al-Anshori menyoroti kinerja Densus 88 yang menerapkan
double standard (standar ganda) dalam operasi penanganan terorisme.
Buktinya,
jika yang melakukan aksi berjidat hitam, bercelana cingkrang dan ingin
menegakkan syariat maka langsung dituduh sebagai teroris. Tapi jika yang
melakukan adalah orang bertato atau aliran sesat sekalipun sama sekali
Densus tak turun tangan.
“Kalau
yang melakukan jidat hitam, celana cingkrang kemudian ideologinya itu
mau menerapkan syariat itu teroris. Tapi kalau yang melakukan itu
bertato, seperti pemboman ATM di Makasar itu kriminal biasa. Termasuk
Syiah yang di Sampang, itu sudah jelas mereka memasang bom ranjau, itu
saksinya banyak dan sudah menjadi hasil investigasi MUI, kenapa Densus
88 tidak turun tangan?” ujar aktivis yang kini anggota Masyarakat Peduli
Syariah (MPS), kepada voa-islam.com, Jum’at (21/9/2012).
Kalau yang melakukan jidat hitam, celana cingkrang kemudian ideologinya itu mau menerapkan syariat itu teroris. Tapi kalau yang melakukan itu bertato, seperti pemboman ATM di Makasar itu kriminal biasa
Ia melihat Densus 88 seolah menjadi lembaga super body
yang sama sekali tak tersentuh hukum meskipun berkali-kali melakukan
aksi penembakan terhadap seseorang yang baru berstatus terduga.
“Itu
abuse of power (penyalahgunaan wewenang) karena Densus ini tidak ada
yang mengawasi, langsung di bawah presiden. Jadi sudah super body, untouchable
(tak tersentuh hukum), padahal kalau untuk KPK saja mereka mengkritik
terus; harus ada pengawas dan lain-lain, tapi kenapa Densus 88 tidak?
Sehingga setiap ada penembakan terduga teroris lalu mati, itu
pertanggungjawabannya gimana? Orang itu dinyatakan teroris kan kalau
sudah diadili, bukan lewat opini,” ungkapnya.
Lebih
lanjut, ia menjelaskan semestinya jika Densus 88 itu diawasi kinernya
harusnya lembaga tersebut bisa mempertanggungjawabkan dari sisi operasi
penanganan terorisme maupun akuntabilitas pendanaannya.
“Pertanggungjawaban
itu ada banyak hal, diantaranya pertanggungjawaban soal operasi Densus.
Seperti menembak para terseduga, tidak bisa sepihak dengan mengatakan
bahwa dia melakukan perlawanan.
Kemudian
pertanggungjawaban akuntabilitas dana. Selama itu tidak ada, jangan
salahkan kalau kita menuduh di balik itu ada agenda asing. Pendanaan itu
kan selain dari APBN ada juga dari non budgeter contohnya bantuan G to P
(Government to Person) langsung ke personal, seperti apa? Misalnya
langsung ke Gories Mere atau Kadensus. Sebab dulu kan Dai Bachtiar
ngomong sendiri pernah dapat ini dan itu seperti terungkap di video,”
paparnya.
Itu abuse of power (penyalahgunaan wewenang)karena Densus ini tidak ada yang mengawasi, langsung di bawah presiden. Jadi sudah super body, untouchable (tak tersentuh hukum), padahal kalau untuk KPK saja mereka mengkritik terus; harus ada pengawas dan lain-lain, tapi kenapa Densus 88 tidak?
Kinerja
aparat Densus 88 yang seolah menunggu timing dan bertepatan dengan
kedatangan tamu seperti Hillary Clinton juga patut dipertanyakan.
Selain
itu, aparat begitu tanggap menangkapi para teroris tapi mengapa sulit
menangkap koruptor, hal inilah yang membuat para pengamat bersikap
kritis. “Kalau menangkap teroris itu cepat, tapi kalau menangkap
koruptor itu susah banget. Inilah mengapa para pengamat itu mulai
kritis, kecuali pengamat-pengamat yang dibayar, mereka mendukung semua
apa yang dilakukan oleh Densus 88,” tuturnya.
Wal hasil, atas berbagai keganjilan
kinerja Densus 88 itu, ustadz Fauzan kembali menegaskan bahwa Densus 88
telah melakukan double standard dalam penanganan terorisme. “Jadi Densus
itu sebagaimana gurunya Amerika, menerapkan doble standard bahkan multi
standard,” tandasnya. [Ahmed Widad/khoirunnisa-syahidah.blogspot.com]
Posting Komentar