
Ditlantas
Polri mencatat selama mudik 2012 terjadi 5.233 kecelakaan lalu lintas,
908 orang meninggal, 1.505 orang luka berat, dan 5.139 orang luka
ringan. Kerugian materi akibat ini diperkirakan Rp 11,815 miliar.
Semua
itu tetap tidak bisa dilepaskan dari ri’ayah yang masih buruk. Mengapa
tingkat kecelakaan justru meningkat cukup besar. Semestinya bisa
diantisipasi sebab mudik itu rutinitas yang terjadi tiap tahun.
Selain
itu, arus balik mudik lebaran selalu membawa persoalan kependudukan
bagi sejumlah kota-kota besar. DKI Jakarta misalnya, diperkirakan
dimasuki sekitar 50 ribu pendatang baru. Sementara Tangerang Selatan
diperkirakan diserbu 13 ribu warga pendatang.
Pertambahan
jumlah warga menambah persoalan baru bagi daerah bersangkutan seperti
tempat tinggal, lapangan kerja, kesehatan dan yang dikhawatirkan akan
mendorong naiknya angka kriminalitas akibat tekanan ekonomi. Apalagi
tidak sedikit warga pendatang bukan tenaga terdidik yang memiliki
ketrampilan bekerja.
Ketimpangan Pembangunan
Pembangunan
dan pelayanan terhadap rakyat negeri ini masih timpang. Pembangunan
belum merata khususnya di wilayah pedesaan dan wilayah tertentu terutama
wilayah timur. Hal itu membuat warga khususnya di pedesaan kurang
menikmati hasil pembangunan dan kemiskinan pun merebak di pedesaan. Data
Badan Pusat Statistika (BPS) Maret 2011, 63,2 % penduduk miskin berada
di pedesaan, dan 57,78% penduduk miskin bekerja di sektor pertanian.
Nasib para nelayan juga tidak berbeda. Kementerian Kelautan dan
Perikanan mencatat jumlah nelayan miskin mencapai 7,87 juta orang atau
25,14 % dari jumlah penduduk miskin nasional.
Akibat
ketimpangan pembangunan itu pertumbuhan ekonomi tidak merata. Daerah
perkotaan terus menjadi sentra perekonomian meninggalkan pedesaan yang
kian terpuruk. Putaran uang di Ibukota DKI Jakarta saja mencapai 70
persen dari uang nasional. Itulah yang menyebabkan setiap harinya
Jakarta didatangi 4 juta orang dari luar kota yang bekerja mencari
nafkah di ibukota.
Hal
inilah yang menjadi penyebab terjadinya urbanisasi penduduk. Sekretaris
Jenderal Kementerian Dalam Negeri Diah Anggraeni menyebutkan jumlah
pemukim di perkotaan terus meningkat. Pada tahun 1995 pemukim di kota
sebanyak 40% dan meningkat menjadi 52 % pada tahun 2010. Pada 2025
diperkirakan jumlah pemukim di perkotaan mencapai 195 juta setara 65 %
jumlah penduduk. Tentu saja kondisi ini akan menambah persoalan umum di
kota-kota besar seperti pengangguran, pemukiman, kesehatan dan potensi
kriminalitas.
Kapitalisme Penyebabnya
Buruknya
ri’ayah oleh negara disebabkan oleh sejumlah faktor yang berujung pada
sistem kapitalisme. Pembangunan tidak didasari paradigma pemeliharaan
urusan rakyat (ri’ayah syu’unil ummah).
Dalam kapitalisme negara harus seminim mungkin menangani urusan rakyat
secara langsung, sebaiknya penanganan semua diserahkan kepada swasta.
Itulah yang membuat dan terlihat dalam bentuk kemitraan pemerintah
dengan swasta (KPS) dalam pembangunan berbagai infrastruktur seperti
jalan, jembatan, pasar, terminal, pelabuhan, bandara, dan penanganan
berbagai urusan.
Dengan
pola seperti itu, keuntungan tidak dinikmati rakyat, tetapi dinikmati
swasta yang sudah berinvestasi pada beragam sektor strategis. Alih-alih
melayani masyarakat, kemitraan ini justru menempatkan rakat sebagai
konsumen.
Sumber
kekayaan pun juga diserahkan kepada swasta. Akibatnya rakyat sebagai
pemiliknya justru tidak menikmati hasilnya. Negara juga kehilangan
sumber pendapatan sehingga kesulitan untuk membiayai pembangunan dan
pelayananan untuk rakyat.
Pola pembangunan turut
memperumit masalah. Dalam pola otonomi daerah sekarang, daerah harus
mencari sendiri dana pembangunan daerahnya. Dalam PP No. 104 tahun 2000
tentang Dana Perimbangan, untuk pendapatan pajak daerah, mayoritas
diberikan kepada pemda yaitu PBB sebesar 90% dan BPHTB 80%. Demikian
pula dengan pertambangan umum, kehutanan dan perikanan, jatah pemerintah
daerah sebesar 80% dari total penerimaan dari sektor tersebut.
Sementara untuk minyak (85%) dan gas (70%) dikuasai oleh pemerintah
pusat.
Kenyataannya
kondisi alam dan potensi tiap daerah amat beragam sehingga mempengaruhi
pendapatan asli daerah (PAD). Dengan pola tersebut, maka hanya daerah
yang kaya yang berpotensi maju. Daerah miskin akan tetap miskin dan
terbelakang. Hal itu diperparah oleh alokasi APBD yang sangat minim
untuk pembangunan. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA)
memperkirakan ada 124 daerah di Indonesia memiliki anggaran belanja
pegawai lebih besar dibandingkan dengan belanja modal. Ke-124 daerah ini
menganggarkan belanja pegawai hingga diatas 60 persen dari APBD-nya
sehingga mereka terancam bangkrut.
Semua
itu masih diperparah oleh maraknya korupsi dan berkeliarannya pungutan
siluman khususnya pada berbagai proyek pembangunan. Untuk mendapatkan
anggaran, tak jarang daerah harus menyuap. Kasus suap Dana Penyesuaian
Infrastruktur Daerah yang melibatkan anggota Badan Anggaran DPR RI salah
satu buktinya. Hal itu menambah timpang pembangunan di daerah. Selain
itu, akibat suap anggaran proyek pembangunan banyak yang menguap untuk
suap dan meminimkan jumlah biaya yang benar-benar untuk pembangunan.
Akibatnya kualitas berbagai sarana dan fasilitas untuk rakyat pun buruk
dan cepat rusak. Lagi-lagi rakyat yang harus menderita. Ironisnya, semua
itu diantaranya karena sistem politik demokrasi yang mahal, baik untuk
operasional parpol, politisi, pemilu, pencalonan dan pemilihan wakil
rakyat, pemilu kada dan proses-proses politik lainnya. Akibatnya
pemberantasan korupsi seakan menemui jalan buntu.
Syariah Islam Solusinya
Semua
kenyataan di atas sungguh bertolak belakang dengan kenyataan ketika
syariah Islam diterapkan. Dalam Islam, negara memang ada untuk melakukan
pelayanan kepada masyarakat. Memelihara urusan rakyat adalah kewajiban
negara. Prinsip dasar pembangunan dalam syariah Islam adalah untuk
melakukan ri’ayatusy syu’unil ummat,
memelihara urusan dan kepentingan rakyat. Hal itu menjadi tugas dan
kewajiban penguasa, pejabat dan seluruh aparatur negara. Dalam Islam
penguasa harus bertindak layaknya pelayan yang siap melayani rakyat
dengan sebaik-baiknya.
Pemahaman atas paradigma itu tercermin dalam nasihat Imam Hasan al-Bashri kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz;“Pemimpin
adil itu wahai Amirul Mukminin, seperti seorang ibu yang penuh kasih
sayang terhadap anaknya, mengandungnya dengan susah payah, menjaganya
saat kecil, terjaga ketika anaknya terjaga, diam ketika anaknya sudah
terlelap. Sesekali ia menyusuinya dan lain waktu menyapihnya. Bergembira
akan kesihatan anaknya dan berduka ketika anaknya sakit.”
Dengan
paradigma itu, seluruh rakyat dan semua daerah harus diperhatikan.
Tidak boleh terjadi konsetrasi perhatian dan pembangunan pada sejumlah
daerah saja. Negara dalam Islam wajib membangun dan menyediakan seluruh
infrastruktur yang dibutuhkan oleh masyarakat, tanpa memandang perbedaan
tingkat pendapatan daerah. Kaedahnya adalah setiap daerah diberi dana
pembangunan sesuai kebutuhannya tanpa memperhatikan besar kecilnya
pendapatan daerah tersebut. Dengan begitu semua daerah memiliki peluang
yang sama untuk maju. Pembangunan pun bisa merata di seluruh daerah.
Kesenjangan pembangunan dan perekonomian tidak akan terjadi seperti saat
ini. Sehingga daerah memiliki daya saing yang relatif sama dengan
perkotaan. Dengan mekanisme seperti ini urbanisasi akan dapat diredam
karena penduduk daerah juga memiliki lapangan pekerjaan yang layak.
Semua itu masih ditambah lagi adanya jaminan pemenuhan kebutuhan pokok
(sandang, pangan dan papan) dan kebutuhan dasar masayrakat (pendidikan,
kesehatan dan keamanan) melalui mekanisme yang telah ditetapkan oleh
syariah.
Islam
menjamin hal itu bisa direalisasikan. Islam menetapkan berbagai
kekayaan alam sebagai milik umum, milik seluruh rakyat, yang tidak boleh
diserahkan kepada swasta. Negara haus mengelolanya mewakili rakyat dan
seluruh hasilnya dikembalikan kepada rakyat.
Semua
itu dijalankan oleh penguasa, pejabat dan aparat yang baik. Kekuatan
ruhiyah menjadi pendorong mereka untuk menjalankan kekuasaan dan tugas
dengan amanah. Korupsi atau penyalahgunaan wewenang dalam pembangunan
pun bisa diminimalkan seminimal mungkin. Sebab mereka akan terus
terngiang oleh peringatan Nabi saw:
«
مَا مِنْ وَالٍ يَلِى رَعِيَّةً مِنَ الْمُسْلِمِينَ ، فَيَمُوتُ وَهْوَ
غَاشٌّ لَهُمْ ، إِلاَّ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ »
Tidaklah seorang wali mengurusi urusan kaum muslimin kemudian dia mati dan dia berbuat curang, kecuali Allah haramkan baginya surga. (HR. Al-Bukhari)
Korupsi,
suap dan sejenisnya, akan bisa dibasmi dengan hukum-hukum syariah,
termasuk pencatatan kekayaan penguasa, pejabat dan aparat, jika ada
kekayaan mencurigaan yang bersangkutan diharuskan membuktikan asalnya
yang halal, dan penerapan sanksi yang menjerakan bagi pelaku dan orang
lain.
Wahai kaum Muslimin!
Belum
cukupkah kezaliman sistem kapitalisme terhadap kita? Masih perlukah
kita biarkan terus menimpa kita? Tentu saja tidak. Untuk itu yang harus
kita lakukan adalah segera mengakhiri sistem kapitalisme di tengah kita.
Sebagai gantinya kita segera terapkan Syariah Islam secara total dan
menyeluruh, tentu saja hanya bisa kita wujudkan di bawah sistem
al-Khilafah ar-Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Kapan kita perjuangkan
kalau bukan sekarang. Wallâh a’am bi ash-shawâb. []
Komentar Al Islam
Sebanyak
13 anggota Pansus RUU Desa DPR akan mengunjungi Brasil selama sepekan.
Anggaran yang dikeluarkan cukup besar, sekitar Rp 1,6 miliar.
(Detik.com, 26/8)
- Selama ini kunjungan lebih kental untuk pelesiran dan menghamburkan uang rakyat
- Perhatian terhadap rakyat dan memajukan desa sulit dilakukan selama sistem kapitalis masih bercokol
- Memajukan seluruh daerah hanya bisa diwujudkan dengan penerapan syariah Islam secara total dalam bingkai Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah.
[khoirunnisa-syahidah.blogspot.com]
Posting Komentar