Diam-diam DPR telah mempersiapkan Rancangan Undang-undang Kerukunan Umat
Beragama (KUB). Draft tersebut bahkan telah masuk dalam rplegnas
(Program Legislasi Nasional) 2010-2014 sebagai inisiatif DPR tahun
2011.
Pentingnya UU ini, menurut Jazuli Juwaini, Wakil Ketua Komisi VIII DPR
RI karena aturan yang ada tidak cukup kuat mengatur kerukunan beragama,
serta aturan yang ada kurang dalam perlindungan terhadap keberagamaan.
“PBM (peraturan bersama menteri) atau SKB (surat keputusan bersama)
tidak dikenal dalam tata urutan perundangan sesuai UU 10 tahun 2004 jo
UU 12 Tahun 2011 tentang Pedoman penyusunan Peraturan
perundang-undangan,” jelasnya dalam sebuah seminar, Senin (8/10) di
Gedung DPR RI Senayan, Jakarta.
Dengan RUU ini, menurutnya, prinsip dan subtansinya bisa memberi rasa
aman dan perlindungan bagi pemeluk agama sesuai dengan keyakinan dan
kepercayaannya. Selain itu, RUU ini menjamin perlindungan dan kebebasan
beragama sebagai hak dasar manusia. “Harus ada tanggung jawab negara
untuk menjamin setiap pemeluk agama,” imbuhnya.
UU ini akan mengatur tentang forum kerukunan umat beragama, pembangunan
tempat ibadah, pengawasan aliran-aliran agama dan peran serta masyarakat
dalam menjaga kerukunan umat beragama. Jazuli menjelaskan masalah
seputar ketentuan-ketentuan dan sanksi seputar pelanggaran juga akan
diatur dalam undang-undang tersebut.
“Sanksi pidana penodaan agama dalam UU 1/PNPS/1965 dinilai tidak efektif, dengan sanksi maksimal 5 tahun,” jelasnya.
Ia menegaskan, beragama dan berkeyakinan merupakan salah satu hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derigble right). Oleh karena itu, konstitusi dan negara menjamin kemerdekaan memeluk agama.
Sedangkan, Mantan Ketua Pansus RUU Penanganan Konflik Sosial (PKS) Adang
Daradjatun menilai ada keterkaitan antara UU PKS yang telah disahkan
dengan RUU KUB. “Keterkaitan tersebut dapat dilihat dalam perbandingan
pasal-pasal dalam UU No 7 /2012, pasal 6,7,8,9,10 dan 11. Yang intinya
bagaimana penanganan kasus-kasus konflik horizontal masyarakat,”
imbuhnya.
Menurut suami Nunun Nurbaeti ini, faktor yang menjadi pemicu ketegangan
bahkan konflik antar agama di Indonesia yaitu: (1) Pendirian rumah
ibadah; (2) Penyiaran agama; (3) Bantuan luar negeri; (4) Perkawinan
beda agama; (5) Perayaan Hari Besar Keagamaan: dan (6) Penodaan agama
yakni perbuatan yang bersifat melecehkan, menodai dokrin dan keyakinan
sesuatu agama tertentu, baik yang dilakukan seseorang maupun kelompok.
Studi-studi Rancangan Undang-Undang KUB ini, kata Adang, meliputi dialog
antar agama yang dilakukan oleh umat Protestan dan Umat Islam di
Yogyakarta dan Malang Jawa Timur. Di Yogyakarta ada program yang disebut
dengan SITI (Studi Intensif tentang Islam), program telah berjalan
selama 9 tahun, dan diikuti oleh pendeta-pendata dan kalangan umat
Islam.
Menurutnya, program ini bertujuan untuk memahami Islam dengan berbagai
aspeknya, di samping itu para peserta juga diajak untuk mengenal dan
menyelami kehidupan pesantren dengan cara tinggal bersama komunitas
santri untuk beberapa lama di pesantren.
“Kegiatan serupa dilaksanakan di Yogyakarta dan Malang Jawa Timur dengan
nama program SIKI (Studi Intensif Kristen-Islam),” urainya.
Secara Sosiologis jelas Adang, melihat RUU KUB dengan negara yang sangat
majemuk bisa menjadi berkah dan sekaligus musibah. Berkah seandainya
keanekaragaman itu dihargai dan menjadi modal untuk kemajuan bangsa
Indonesia. Tetapi akan menjadi musibah jika kemajemukan itu diabaikan
dan dipaksakan menjadi tunggal. Konflik-konflik komunal maupun sektarian
yang sering terjadi tak lepas dari pengabaian keanekaragaman tersebut.
Dalam konteks kebebasan beragama, konflik itu biasanya terjadi lantaran
satu kelompok menganggap kelompok lain bermasalah, menyimpang bahkan
sesat. “Itu tidak akan terjadi jika tidak ada pemicunya, terlebih
masalah kebebasan beragama dilindungi secara hukum,” urainya.
Melindungi dan Jangan Menghambat
Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia Ismail Yusanto yang diundang dalam
seminar itu menjelaskan, dari segi gagasan RUU ini bagus karena Islam
pun mempunyai konsep rahmatan lil alamin. RUU KUB ini dibuat agar tercipta kerukunan antara umat beragama.
Hanya saja, tutur Ismail, bagaimana caranya kerukunan itu diwujudkan.
Bagaimana peraturan itu dibuat agar kerukunan itu tercapai. “Nah ini
menurut saya masalah,” urainya pada Media Umat.
Ia mengatakan Islam itu punya dua tujuan. Pertama, tujuan bersama agar
tercipta kehidupan bersama. “Di situlah kerukunan itu,” ujarnya. Dan
kedua, umat Islam itu juga punya tujuan untuk berkembangnya dakwah
Islam. Maka hal yang harus dikritisi dari RUU KUB ini adalah bagaimana
dua tujuan itu biasa tercapai.
“Kalau membaca RUU KUB versi Agustus 2011, saya dapatkan RUU KUB melindungi tapi menghambat,” imbuhnya.
Menurutnya, di satu sisi RUU itu melindungi akidah Islam karena di
dalamnya ada ketetapan larangan mendakwahi orang yang sudah beragama.
Jadi ini merupakan jalan menjaga umat dari pemurtadan.
Namun di sisi lain, menurut Ismail, RUU KUB ini juga menghambat karena
melarang untuk menyebarkan ajaran agama. ”Umat Islam memiliki tugas
untuk berdakwah dan menyebarkan agama Islam ke seluruh penjuru dunia,
ke siapapun baik dia Muslim maupun non Muslim, tapi karena ketentuan
itu jadi dakwah akan terhambat,” imbuhnya
Ketentuan membangun rumah ibadah di mana harus mencari persetujuan
masyarakat dengan jumlah tertentu, menurutnya, sangat baik untuk
mengatur pembangunan gereja di wilayah mayoritas Muslim. “Di sisi lain
menghambat pembangunan masjid di wilayah minoritas Muslim,” urainya.
Karenanya di hadapan para panelis seminar itu Ismail berpesan agar wakil
rakyat tidak membuat aturan yang malah menghambat gerak dakwah kaum
Muslimin. “Hal ini tampak sekali di RUU KUB,” jelasnya.
Ia menambahkan harusnya aturan itu melindungi dan melancarkan dakwah.
Apalagi RUU ini ada kecendrungan pluralisme karena dalam pasal tersebut
dinyatakan tidak boleh menganggap agama itu paling benar. ”Ini kan lucu
kalau kita dikriminalkan hanya karena dakwah,” urainya.
Menurutnya, bisa jadi akan ada kriminalisasi dakwah karena dianggap
sebagai ancaman. Dalam UU itu disebutkan, masyarakat bisa melakukan
langkah-langkah hukum kalau ada sesuatu yang mengancam umat. “Dan yang
dimaksud ancaman itu nggak jelas,” imbuhnya. (mediaumat.com, 18/10/2012/khoirunnisa-syahidah.blogspot.com)
Posting Komentar