“Jadi ini ngaco. Dari segi metodologi ngaco, dari segi struktur pengambilan kesimpulan juga ngaco,” ungkapnya kepada mediaumat.com, Senin (22/10) di Jakarta.
Dikatakan ngaco, lantaran dalam survei tersebut ada logika
yang langsung meloncat pada kesimpulan. “Bagaimana mereka bisa
menyimpulkan rasa tidak nyaman itu sebagai intoleransi?” tanyanya.
Menurut Ismail, rasa tidak nyaman itu lebih kepada rasa yang muncul
lantaran tidak adanya kesesuaian baik itu dari sisi fikiran, budaya
maupun gaya hidup seseorang. Dan itu sebenarnya sesuatu yang wajar, jika
orang merasa nyaman dengan berada di lingkungan yang sepaham dan cocok
dengan dia baik dari budaya maupun gaya hidup sebagaimana juga dia tidak
nyaman terhadap sesuatu yang bertentangan dengan pikirannya,
kebudayaannya dan gaya hidupnya.
Ini, lanjutnya, sebenarnya tidak langsung bisa menunjuk kepada
intoleransi karena soal toleransi itu kan soal kesediaan orang untuk
menerima keadaan yang berbeda di lingkungannya atau kepada orang lain.
Jadi kalau orang ditanya apakah nyaman hidup berbandingan dengan non
Muslim? Mungkin akan menjawab lebih merasa nyaman kalau bertetangga
dengan sesama Muslim. Artinya, dengan non Muslim tidak nyaman. “Tetapi
itu tidak berarti dia tidak toleran. Karena ketika dia, mendapati fakta
tetangganya non Muslim toh bisa juga dia hidup berdampingan dengan non Muslim,” ungkapnya.
Ismail pun menuding bila logika yang tiba-tiba loncat pada kesimpulan
itu lantaran kesimpulannya memang sudah didesain dari sebelum survei
itu dilakukan. “Jadi ini merupakan penelitian yang menunjukkan kebelet dari penyelenggara untuk mengekspos kesimpulan intoleran meningkat, karena kalau turun bagi dia kan bukan berita,” ungkapnya.
Terkait meningkatnya angka kekerasan pun Ismail berkomentar.
Menurutnya, faktor meningkatnya kekerasan atas nama agama kan faktornya
banyak. Biasanya faktor yang ada itu karena ketidaktegasan aparat.
“Bagaimana kita mau ambil kesimpulan dari kekerasan berbasis agama
itu kita sebut sebagai intoleransi? Padahal yang terjadi adalah aparat
yang tidak tegas terhadap penista agama, seperti yang dilakukan
Ahmadiyah, misalnya,” ujarnya.
Bila aparat segera bertindak terhadap penista agama, masyarakat tentu
saja tidak akan main hakim sendiri. Tapi karena masalah ini dibiarkan
berlarut-larut, lalu akhirnya ada sebagian warga yang mengambil jalan
pintas karena sudah tidak tahan lagi melihat agamanya dihina.
“Nah, yang seperti ini kan sering disebut sebagai intoleransi. Jadi
yang disebut toleransi itu ada orang menghina agama lalu dibiarkan? Kan
begitu logikanya,” tanyanya retorik.
Sebelumnya, Lingkaran Survei Indonesia dan Yayasan Denny JA merilis
hasil survei dengan menyebutkan angka tingkat intoleransi ini meningkat
dibanding tahun lalu lantaran meningkatnya ketidaknyamanan warga yang
berdampingan dan bertetangga dengan yang berbeda agama (dari 8,2 menjadi
15,1 persen), penganut Syiah (dari 26,7 menjadi 41,8 persen), penganut
Ahmadiyah (dari 39,1 persen menjadi 46,6 persen), dan komunitas LGBT
(dari 64,7 persen menjadi 80,6 persen).
Selain itu, disebutkan pula toleransi masyarakat terhadap penggunaan
kekerasan sebagai salah satu cara dalam menegakkan prinsip agama juga
meningkat. Tahun 2005 tercatat penggunaan kekerasan hanya diterima oleh
9,8 persen, tapi kini menjadi 24 persen pada tahun 2012.[] Joko Prasetyo [khoirunnisa-syahidah.blogspot.com]
Posting Komentar