Mantan wartawan dan pengelola Jawa Pos, seakan-akan manusia yang paling "super dan bersih", dan selalu tampil beda, di dalam berbagai peristiwa, terkait dengan jabatannya yang baru sebagai Meneg BUMN.
Rakyat tak begitu jelas, apa alasan sejatinya Presiden SBY, mengangkat Dahlan Iskan menjadi Meneg BUMN?
Dilihat dengan latar belakangnya, yang
sangat minim, kemudian harus mengelola asset BUMN, yang ribuan triliun
itu? Sebelumnya, Dahlan hanya menjadi Dirut PLN, dan itupun belum ada
prestasi yang sangat menonjol sebagai Dirut PLN, tiba-tiba ketika
berlangsung reshuffle kabinet, muncul nama Dahlan Iskan, menyadi Meneg
BUMN.
Apakah ini hasil lobi kalangan pengusaha
Cina kepada Presiden SBY? Tentu, ketika itu, Dahlan mendatangkan ribuan
genset buatan Cina, yang alasannya digunakan menutupi kebutuhan
listrik, dan kebijakannya itu, tak melalui prosedur tender, tetapi hanya
penunjukkan.
Sekarang, manusia yang dianggap "ajaib" yaitu
Meneg BUMN Dahlan Iskan,harus menghadapi DPR, yang bersikeras meminta
mempertanggung-jawabnya terkait hasil audit BPK (Badan Pemeriksa
Keuangan) atas pemeriksaan sektor hilir listik.
Selanjutnya, selaku Meneg BUMN Dahlan
Iskan dua kali tidak menghadiri undangan Komisi VII DPR terkait
klarifikasi atas temuan BPK. Alasannya, Dahlan sibuk acara kunjungan
kerja yang telah dijadwalkan sebelumnya. Bukan itu pokok soalnya, ujung
masalah berasal dari hasil pemeriksaan BPK No.30/Auditama
VII/PDTT/09/2011 tertanggal 16 September 2011. Di sinilah angka Rp 37
triliun muncul.
Dalam kesimpulan pemeriksaan BPK yang
diperoleh INILAH,COM disebutkan "PLN tidak dapat memenuhi kebutuhan gas
untuk pembangkit sesuai dengan volume dan spesifikasi teknis yang
dibutuhkan. Hal tersebut terjadi antara lain pada 8 unit pembangkit yang
berbasis dual firing sehingga harus dioperasikan high speed diesel atau
solar yang lebih mahal dari gas" demikian ditulis dalam laporan BPK
yang diteken Penanggung Jawab Pemeriksaan Ilya Avianti itu.
Dalam pengoperasioan high speed diesel
itulah, BPK menemukan PLN kehilangan kesempatan melakukan penghematan.
"Hal tersebut mengakibatkan PLN kehilangan kesempatan melakukan
penghematan biaya bahan bakar sebesar Rp17.900.681,34 juta pada 2009 dan
Rp19.698.224,77 juta pada 2010"
Hasil pemeriksaan BPK inilah yang
memantik Komisi VII DPR untuk memanggil Dahlan Iskan dalam kapasitasnya
sebagai mantan Direktur Utama PLN. Wakil Ketua Komisi VII DPR Effendi
Simbolon mengatakan pihaknya memanggil Dahlan Iskan untuk melakukan
klarifikasi atas temuan BPK. "Kenapa terdapat kerugian negara, kami juga
gak mau gegabah, kami klafikasi dulu dan (bisa) dinaikan ke panja terus
ke rapat komisi, biar clear," kata Effendi awal pekan lalu.
Namun, Dahlan Iskan memiliki alibi.
Menurut dia, dalam temuan BPK tersebut tidak disebutkan terdapat
kerugiaan negara, namun BPK menyebut PLN tidak bisa menghemat. "Kalimat
di BPK itu karena PLN tidak mendapatkan gas, di dalam temuan BPK tidak
ada kalimat yang menyalahkan PLN," kelit Dahlan di Istana Kepresidenan,
Kamis 25 Oktober 2012 lalu.
Sejatinya persoalan tidak hanya sekadar
potensi kerugian negara sebesar Rp37 triliun tersebut. Karena di saat
bersamaan, akibat penggunaan BBM tersebut, PLN di era Dahlan Iskan juga
menyewa ribuan genset yang didatangkan dari China. Rumor mencuat, sewa
genset tersebut dilakukan penunjukan langsung.
"Kami juga mendengar rumor tersebut, Pak
Dahlan melakukan penunjukan langsung dalam menyewa genset. Itulah yang
mau kita klarifikasi," ujar Sutan kepada berbagai media di Jakarta,
Minggu (28/10/2012).
Pemanggilan Dahlan Iskan, kata Ketua DPP
Partai Demokrat ini, untuk membreakdown temuan pemerikaaan BPK. Menurut
dia, rapat Komisi VII dengan bekas Direktur Utama PLN tersebut penting
agar tidak ada fitnah di antara DPR dan Dahlan Iskan. "Biar tidak ada
fitnah. Nanti habis reses Pak Dahlan kita panggil lagi," tambah Sutan.
Soal genset ini, dua bulan setelah
dilantik sebagai Direktur Utama PLN, pada Februari 2010 PLN
menganggarkan penyewaan genset untuk enam provinsi sebesar Rp2 triliun
dengan kapastias 700 Megawatt. Penyewaan tersebut dimaksudkan untuk
mengatasi krisis listrik di Jawa-Bali.
Bahkan, pada semester pertama saat
memimpin PLN, Dahlan berambisi tidak ada lagi listrik mati di Indonesia
pada 30 Juni 2010. Untuk mewujudkan ambisinya tersebut, pihaknya
melakukan penyewaan genset dari China.
Dahlan mengklaim, menyewa genset dari
China jauh lebih hemat dibanding menggunakan genset dari dalam negeri.
Harga sewa genset dari China sebesar Rp1.700 per kwh sedangkan genset
dari dalam negeri membutuhkan biaya sebesar Rp2.200 per kwh.
Pengamat Keuangan Negara dari
Universitas Indonesia (UI) Dian Puji N Simatupang menilai temuan BPK
terkait PLN belum masuk kategori kerugian negara. Menurut dia,
pengertian keuangan negara itu harus pasti dan nyata. "Kalau menurut
hukum itu pasti pasti dan nyata. Jadi itu masih potensi," kata Dian,
Minggu (28/10/2012).
Jika merasa tidak bersalah mengapa
Dahlan Iskan menolak hadir di DPR, memberikan klarifikasi atas temuan
audit investigasi yang dilakukan BPK. Dan sebentar lagi nasib rakyat
miskin dan jelata, megap-megap akibat kenaikan tarif dasar listrik
(TDL), dan sekarang Dahlan membela diri dan cuci tangan? af/ilh.[www.syahidah.web.id]
Posting Komentar