Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah
Din Syamsuddin dalam jumpa pers di Gedung PP Muhammadiyah, Menteng,
Jakarta Pusat, Kamis (15/11) kemarin, mengatakan, selain fokus di bidang
pendidikan, sosial dan kesehatan, hal lain yang tetap menjadi
perhatian Muhammadiyah adalah fokus dengan istilah yang digunakan Din
sebagai jihad konstitusional, yaitu mengkaji kembali undang-undang yang
dianggap tidak konstitusional dan memperlebar potensi 'kekuasaan asing'
di Indonesia.
Muhammadiyah, ungkap Din, tengah
mempersiapkan uji materi UU Minerba, UU Investasi, UU Geothermal, dan UU
Perguruan Tinggi. Ia sudah meminta tim majelis hukum Muhammadiyah
menyiapkan draf permohonan uji materiil sejumlah undang-undang (UU)
setelah uji materiil terhadap 21 pasal UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Migas dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK).
Din menyambut baik
putusan Mahkamah Konstitusi terkait pembubaran Badan Pelaksana Usaha
Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) yang dinilai tak sesuai dengan UUD
1945. Menurutnya, pengajuan judicial review kepada
Mahkamah Konstitusi bersama dengan sejumlah ormas Islam dan tokoh
lainnya, sesuai dengan amanat muktamar PP Muhammadiyah beberapa waktu
lalu.
"Amanat muktamar adalah agar PP Muhammadiyah melakukan judicial review terhadap sejumlah undang-undang untuk negara. Masih banyak lagi UU yang akan diajukan judicial review," ujar Din.
Bagi Muhammadiyah, persoalan BP Migas adalah persoalan fundamental. Pengajuan judicial review ini,
kata Din, melalui kajian yang panjang sejak 2009-2010 oleh pakar-pakar
Muhammadiyah."Ada 21 pasal yang dikabulkan, tetapi banyak juga yang
tidak dikabulkan. Yang sesungguhnya tidak hanya tentang keberadaan BP
Migas, namun ini lebih luas lagi," katanya.
Ia menganggap bahwa putusan MK ini
sebagai kado ulang tahun PP Muhammadiyah yang ke-100 tahun."Ini sebagai
bonus, kado milad bagi Muhammadiyah, untuk menegakkan negara. Walaupun
tidak seluruhnya dikabulkan, tapi sebagian besar. Ini jihad konstitusi,
untuk meningkatkan harkat martabat negara khususnya dari bidang ekonomi
dan energi," ujarnya.
Muhammadiyah Anti Asing?
Seperti diketahui, semua UU yang disasar
Muhammadiyah dikatakan berpotensi inkonstitusional dan menguntungkan
pihak tertentu, utamanya asing. Pengamat ekonomi pembangunan,
Ichsanuddin Noorsy, tidak yakin alasan Muhammadiyah mengajukan uji
materi sejumlah UU berbau asing kepada Mahkamah Konstitusi, karena
Muhammadiyah anti asing. "Soalnya (terkait judicial review itu) adalah
Muhammadiyah memegang ajaran Islam yang melarang tanah pertanian, air
dan api untuk diperjualbelikan menurut mekanisme pasar bebas," kata
Ichsanuddin di Jakarta.
Ichsanuddin mengakui, bila memang
banyak UU di Indonesia berbau "titipan asing", termasuk UU Migas, dan UU
lain yang sedang disasar untuk diuji materi oleh Muhammadiyah. Soal
itu, dia mengatakan berbagai kalangan sudah membuktikan bahwa Amandemen
UUD 1945 sarat dengan kepentingan asing. Dia menekankan bahwa hasil
amandemen tanpa kajian akademik atau berbasis riset itu telah melahirkan
sembilan titik konflik.
Sementara itu, Ketua Indonesian Human
Rights Committee for Social Justice (IHCS), Gunawan, semua UU yang
disasar oleh Muhammadiyah itu memang sudah sejak lama diidentifikasi
sebagai berpotensi inkonstitusional karena bertentangan dengan UUD 1945
dan Prinsip Pancasila.
Gunawan mengatakan, UU itu lebih beraroma
kepentingan asing. Hanya penting diluruskan bahwa anti kepentingan asing
di sini bukan sikap anti kepada orang asing sebagaimana sikap golongan
chauvinis dan kaum fasis. "Tetapi anti terhadap bentuk imperialisme
baru dan neo kolonialisme yang membawa perekonomian indonesia tidak
untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyatnya sendiri," kata Gunawan
di Jakarta, malam ini.
Walau demikian, menurut Gunawan, tak
bisa dipungkiri bila gerakan Muhammadiyah itu akan memancing kontroversi
terkait kecurigaan adanya motif politis tertentu.
Bila melihat transisi demokrasi, dua
periode kepemimpinan SBY selalu diwarnai dua hal. Yakni konflik elit
yang berkepanjangan serta konsolidasi demokrasi menjadi demokrasi
prosedural guna liberalisasi ekonomi dan politik yang didukung
lembaga-lembaga keuangan internasional.
Secara
historis, Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan modernisasi Islam guna
melawan kolonialisme. Akan tetapi kader-kader Muhammadiyah yang jadi
legislator nampaknya tidak memerankan perlawanan terhadap liberalisasi,
imperialisme baru, dan neo kolonialisme.
Kecurigaan selanjutnya
adalah soal kemungkinan meningkatnya citra politik Din Syamsuddin pasca
dikabulkannya permohonan uji materi UU Migas. Kecurigaan bisa timbul
karena niat baik membenahi sistem itu tak diikuti dengan pengerahan
kerja politik kader Muhammadiyah di DPR dalam rangka pembaruan hukum
melalui agenda prolegnas."Menjadi penting dan utama bagi Muhammadiyah
agar dapat mencegah kadernya di parpol, DPR, dan Pemerintah untuk tidak
bertindak inkonstitusional," kata dia. Desastian/dbs [www.syahidah.web.id]
Posting Komentar