Oleh : Khusnudin/Joy
Begitu juga
ketika berorasi dalam acara silaturahim keluarga besar Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) Malang, Ahad (16/9) di Pondok Pesantren Sabilul Huda,
Kedung Kandang, Malang, Jawa Timur, dengan bahasa yang mudah dimengerti
ia memaparkan konsekuensi ketika syariah Islam tidak diterapkan.
"Pada saat dicampakkannya Islam, maka hukum yang dijalankan oleh para
penguasa adalah hukum laut yang dipindahkan ke darat. Paus makan hiu,
hiu makan tongkol, tongkol makan teri. Yang paling susah adalah teri,
harus makan apa? Teri itu masyarakat umum termasuk kita," ungkap ulama
yang bernama resmi KH Abdul Qayyum dengan gaya yang mirip Zainuddin MZ
di hadapan sekitar 2000-an ulama.
Maklum saja dai yang cukup
piawai dan biasa berceramah di depan sekitar 2000-3000 peserta tablig
akbar di berbagai kota dan desa Jawa Timur dan Jawa Tengah ini, pada
tahun 1990-an, memang muridnya Zainuddin MZ. Pada waktu yang bersamaan,
ia juga belajar qiraah pada pakar qiraah internasional Muammar ZA selama
2 tahun di Lembaga Pendidikan Tilawatil Qur'an (LPTQ), Jakarta.
Saat ini aktif berdakwah dengan mengangkat isu sentral penegakan
syariah dan khilafah. Penerapan syariah secara kaffah tentu membutuhkan
sebuah institusi negara Islam yang disebut khilafah. Dan, ini harus
ditegakkan melalui amal jama'i. Amal jama'i ini ada pada Hizbut Tahrir.
Menurutnya, dunia tanpa Hizbut Tahrir tidak akan tercipta generasi yang
sanggup secara konsisten untuk menegakkan syariah dan
khilafah."Tegaknya syariah dan khilafah adalah kunci segala-galanya.
Karena saya tidak kuat mikul sendiri, ya saya berjamaah bersama Hizbut
Tahrir," kata lelaki kelahiran Malang, 1 Januari 1966 tersebut.
Padahal dua tahun sebelum intensif berjuang bersama Hizbut Tahrir, ia
sangat membenci Hizbut Tahrir. Di benaknya penuh dengan persepsi yang
buruk tentang Hizbut Tahrir. Ini terjadi karena ia hanya mendengar
informasi tentang partai Islam ideologis internasional tersebut dari
sumber yang tidak representatif alias qiila wa qaala, atau "katanya bin
katanya".
Sehingga tafsir yang digunakannya adalah fathul jare
(baca jare dalam logat Jawa yang berarti katanya) bukan Kitab Fathul
Bari. Isinya tentu negatif semua. "Islam anti kekerasan tapi mengapa HT
sering demo, apa yang didemo? Bukankah demo menjadi representasi dari
kekerasan?" kata Abah Qayyum mencontohkan.
Seiring kecamuk
pertanyaan, tak disangkanya pada tahun 2008, tiba-tiba seorang aktivis
HTI Malang Abu Ridha berkunjung ke rumahnya. Abu Ridha pun
memperkenalkan HizbutTahrir dan meminta dukungan dalam penegakan syariah
dan khilafah.
Sejak saat itu, Abah Qayyum secara rutin
mendapatkan berbagai terbitan Hizbut Tahrir seperti buletin al-Islam,
tabloid Media Umat, dan majalah al-Waie. Namun tidak satu pun pemberian
aktivis HT tersebut yang dibaca lantaran persepsi buruk tentang Hizbut
Tahrir kuat melekat di benaknya. Obrolan tentang syariah dan khilafah
pun ditanggapinya dengan sambil lalu.
Melihat keistiqamahan Abu
Ridha yang rajin bersilaturahmi dan memberikan berbagai bacaan itu,
muncul juga rasa penasaran. Akhirnya ia pun secara serius bertanya
tentang syariah dan khilafah.
Penjelasan yang disampaikan
terasa ada kesesuaian dengan apa yang diinginkannnya, terlebih
disampaikan dengan tenang, tanpa emosi dan berlandaskan pada dalil.
Namun Abah Qayyum belum luluh. Sepulang aktivis HTI tersebut, ia
langsung mengumpulkan kembali berbagai terbitan HTI terutama buletin Al
Islam. Menurutnya, ini kesempatan untuk mencari kesalahan-kesalahan
sebagai pembenar opini yang selama ini diterima. "Namun, semakin lama
saya mencari kesalahan, semakin terpaut hati untuk membenarkan apa yang
diperjuangkan oleh HT," katanya penuh heran.
“Selama 14 tahun
nyantri di pesantren memang mendengar istilah khilafah dan khalifah.
Tetapi ia tidak pernah mendapatkan pengajaran secara khusus tentang
khilafah harus begini, khalifah harus begitu, termasuk hukum yang harus
diterapkan itu ini, kalau tidak diterapkan dampaknya begini, solusinya
begitu,” ungkap lulusan tahun 1992 Ponpes Raudlatul U'lum 2 Assanamiyah
Ganjaran Gondang Legi, Malang.
Empat Alasan
Sejak saat
itu, ia pun mengikuti berbagai kegiatan yang dilakukan oleh Hizbut
Tahrir. Tentu sambil melihat bagaimana keseriusan para aktivis HT
berdakwah. Dari sini, ia menemukan alasan kenapa harus berjuang bersama
Hizbut Tahrir dalam penegakan syariah dan khilafah.
Diantaranya, pertama, karena keikhlasan dan kesabarannya. Menurutnya,
aktivis HT ikhlas, buktinya mereka tidak ada harapan sedikitpun ketika
perjuangan selesai ingin memperoleh jabatan/kedudukan yang ingin diraih.
Kesabaran para aktivisnya juga terlihat dari berbagai kegiatan yang ia
ikuti selama ini. Salah satunya ketika ia mengikuti para aktivis HT yang
akan melakukan dakwah penyadaran tokoh umat di Lenggok Sono, Malang.
Puluhan kilometer harus ditempuh. Jalan rusak, licin, gelap, dan
menanjak. Tiba-tiba mobil tua yang ditumpangi ngadat. Tenggorokan kering
sudah, badanpun terasa lemah.
Dengan penuh kesabaran, mereka
memperbaiki hingga perjalanan bisa dilanjutkan. "Saya berpikir, dakwah
ini tidak ada yang membayar, tidak dapat beras, dan transportasi
ditanggung sendiri. Kenapa mereka masih mau melakukan? Ini yang membuat
saya semakin terkesan," ungkapnya.
Keduo, karena daya juang
yang tidak takut risiko. Buktinya, dakwah amar ma'ruf nahi munkar
disampaikan pada semua level masyarakat, DPR, eksekutif, legislatif,
militer, ulama, hakim, pengusaha, pelajar dan lainnya.
Ketiga,
tertarik konsep atau ide yang ditawarkan oleh Hizbut Tahrir. Menurutnya,
ide¬-ide yang ditawarkan oleh Hizbut Tahrir adalah ide para al anbiya
dalam penegakan kalimat Allah.
Keempat, adanya perasaan malu
pada Allah SWT. Menurutnya, Islam sudah diturunkan. Berbagai fasilitas
informasi terkait Islam (wajibnya penegakan syariah dan khilafah, red.)
sudah diterima dengan landasan yang sharih dan tegas. "Kenapa disuruh
berbuat ikhlas tidak mau? Ini yang membuat malu pada diri sendiri,”
ungkapnya.
Setelah dua tahun berinteraksi dengan Hizbut Tahrir,
ia pun semakin sadar. Banyak perubahan, khususnya terkait bagaimana
memandang persoalan umat. Masalah umat ternyata bukan hanya masalah
furuiyyah seperti qunut dalam shalat dan tahlil tetapi masalah umat
ternyata lebih karena tidak diterapkannya syariah Islam dalam bingkai
khilafah.
'Tertundanya kewajiban shalat berefek secara
individual. Namun, tertundanya penerapan syariah oleh khilafah akan
berdampak pada kehidupan umat secara keseluruhan, baik terkait
kebodohan, kemiskinan, kerusakan moral, keterbelakangan, penindasan oleh
bangsa penjajah, dan lainnya,” ungkapnya mengutip pernyataan salah
seorang aktivis HTI Malang yang menghentak kesadarannya.
Dulu,
Abah Qayyum mengira ilmu sudah cukup dan tidak perlu ngaji lagi.
Ternyata ini adalah pikiran yang salah dan cupik. Ternyata banyak
pemahaman yang harus diluruskan dan diasah."Inilah perlunya halqah,'
simpulnya.
Menyadari itu, pada 2010, ia pun menjadi aktivis HT
dengan mengikuti kajian rutin sepekan sekali. "Sekarang saya halqah di
HT mengkaji kitab Nidzam Al Islam bab terakhir, masru' dustuur," katanya
dengan bangga. Nidzam Al Islam adalah kitab pertama dari 24 kitab yang
diterbitkan HT untuk diajarkan kepada setiap aktivisnya.
Sehingga dai yang tadinya merasa berdakwah sudah cukup pada masyarakat
awam, kini, ia merasa terpanggil untuk berdakwah pada para ulama, yang
sejatinya adalah pewaris para nabi tetapi belum turut mendakwahkan
penerapan Islam secara total dalam bingkai khilafah.
"Oleh
karena itu, saya menghimbau kepada para ulama. Tanamkan sifat malu diri
sendiri kepada Allah SWT jika tidak berjuang untuk menegakkan syariah
dan khilafah bersama HizbutTahrir," gugahnya. [www.syahidah.web.id]
Posting Komentar