
Menurut At-Tirmidzi, memperhatikan dirinya maknanya adalah menghisab dirinya (muhasabah) di dunia sebelum dihisab pada Hari Akhir nanti. Terkait dengan itu, Umar bin al-Khaththab ra pernah berkata, “Hisablah
diri kalian sebelum kalian dihisab (di akhirat nanti) dan timbanglah
diri kalian sebelum kalian ditimbang (di akhirat nanti)…Sesungguhnya
penghisaban yang ringan pada Hari Kiamat nanti hanya bagi orang-orang
yang biasa menghisab dirinya di dunia. Menghisab diri adalah dengan
selalu berikap wara’…” (Abu Thalib al-Makki, Qut al-Qulub, I/104).
Menurut ‘Amir bin Abdillah bin ‘Abd Qays, sebagaimana dituturkan oleh Hasan al-Bashri, “Sesungguhnya
manusia yang tampak paling cemerlang keimanannya pada Hari Kiamat nanti
adalah yang paling keras melakukan muhasabahnya saat di dunia.” (Abu Nu’aim al-Ashbahani, Hilyah al-Awliya’, I/245).
Senada dengan itu, Maymun bin Mahran pernah berkata, “Seseorang
tidak tergolong sebagai orang yang bertakwa hingga dia menghisab
(mengoreksi) dirinya lebih kuat daripada menghisab (mengoreksi) kawannya
hingga ia tahu darimana asal makanannya, dari mana asal pakaiannya dan
dari mana asal minumannya; apakah berasal dari yang halal atau yang
haram?” (Ibn al-Jauzi, Shifat ash-Shafwah, I/458).
Harits bin Asad al-Muhasibi juga pernah menyatakan, “Pangkal ketaatan adalah sikap wara’. Pangkal sikap wara’ adalah takwa. Pangkal takwa adalah muhasabah diri.” (Ibn al-Jauzi, Shifat ash-Shafwah, IV/282).
Hasan al-Bshri juga pernah menyatakan, “Sesungguhnya
seorang Mukmin yang menjaga dirinya sendiri akan selalu melakukan
muhasabah karena Allah SWT. Sungguh akan terasa ringan penghisaban Allah SWT atas suatu kaum yang biasa menghisab diri mereka saat di dunia.” (Ibn al-Jauzi, Shifat ash-Shafwah I/356).
*****
Dengan sering melakukan muhasabah diri
seorang Muslim tentu akan mengetahui sejauh mana kadar ketataannya
kepada Allah SWT. Saat dirinya merasa kurang taat atau masih jauh dari
ketaatan kepada Allah SWT, sejatinya ia akan terdorong untuk terus
berusaha keras meningkatkan ketaatannya itu. Ia akan selalu berusaha
menjalankan setiap kewajibannya, baik yang terkait dengan fardhu ‘ain
(seperti shalat, shaum, zakat dan haji, menutup aurat, menuntut ilmu,
berbakti kepada orang tua, mencari rezeki yang halal, melakukan dakwah fardiyah dan
amar makruf nahi mungkar, dll) maupun fardhu kifayah (seperti berdakwah
secara berjamaah); juga melakukan banyak amalan sunnah (seperti banyak
melakukan shalat malam/tahajud, shalat dhuha dan shalat-shalat nafilah;
banyak membaca Alquran dan berzikir; banyak bersedekah dan berinfak di
jalan Allah SWT, dll).
Dengan muhasabah diri
seorang Muslim tentu juga akan menyadari dosa-dosanya. Saat ia
menyadari betapa banyak dosa-dosanya yang telah dia perbuat kepada Allah
SWT, ia akan terdorong untuk segera bertobat kepada Allah SWT dengan
cara banyak ber-istighfar (memohon
ampunan-Nya), menyesal sedalam-dalamnya atas dosa-dosanya yang telah
lalu sekaligus bertekad sekuat tenaga untuk meninggalkan dosa-dosa yang
pernah ia lakukan itu.
Demikianlah, seorang Muslim sejatinya
lebih banyak mengoreksi kesalahan diri sendiri daripada mengoreksi
kesalahan-kesalahan orang lain. Mengoreksi kesalahan orang lain—termasuk
penguasa sekalipun—tentu penting karena termasuk ke dalam bagian amar
makruf nahi mungkar yang memang telah Allah SWT wajibkan. Namun,
mengoreksi kesalahan diri sendiri juga penting karena dengan itulah kita
akan selalu berusaha meningkatkan ketaatan kita kepada Allah SWT
sekaligus berusaha menjauhi dosa dan maksiat kepada-Nya. Itulah takwa
dan itulah satu-satunya bekal saat kita menghadap Allah SWT pada Hari
Kiamat nanti.
Posting Komentar