Demikian pernyataan sikap HTI yang
dibacakan oleh Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia, Muhammad Ismail
Yusanto dalam jumpa pers di kantor HTI, Gedung Crown Palace, Tebet,
Jakarta Selatan, Senin (19/11) siang.
HTI meminta kepada pihak terkait untuk
membatalkan kedua UU tersebut karena bila diberlakukan akan makin
memberatkan kehidupan ekonomi rakyat. Mereka hanya akan menjadi obyek
pemalakan dengan kedok jaminan sosial, sehingga rakyat yang sudah
menderita akan semakin sengsara.
Sekilas UU BPJS & SJSN
Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS)
didirikan atas dasar UU Nomor 24 Tahun 2011 Tentang BPJS, yang merupakan
amanat dari UU Nomer 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN). Jaminan sosial itu sendiri bagi seluruh rakyat dalam
sebuah negara adalah perkara yang sangat penting. Melalui program itu
bisa dipastikan bahwa seluruh rakyat akan mendapatkan kesejahteraan
sosial baik dalam bidang kesehatan, ketenagakerjaan, pendidikan maupun
jaminan hari tua. Hal ini pula yang mungkin dimaui oleh UU Nomer 40
Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU Nomer 24
Tahun 2011 tentang BPJS.
Namun dalam kedua UU justru mengatur
tentang asuransi sosial yang akan dikelola oleh Badan Pelaksana Jaminan
Sosial. Hal ini ditegaskan oleh UU 40/2004 pasal 19 ayat 1 yang berbunyi: Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Juga Pasal
29, 35, 39, dan 43. Semua pasal tersebut menyebutkan secara jelas bahwa
jaminan sosisal itu diselenggarakan berdasarkan prinsip asuransi
sosial.
Dalam Pasal 17 ayat (1), (2), (3) juga
disebutkan bahwa peserta harus membeli premi guna melindungi dirinya
sendiri dari bencana sosial. Apalagi ayat (2) Pasal 17, mengharuskan
pemberi kerja memungut sebagian upah pekerjanya untuk dibayarkan ke
pihak ke tiga yang notabene milik Pemerintah.
Tentang prinsip asuransi sosial juga
terlihat dalam UU Nomer 24 Tahun 2011 tentang BPJS dimana pada Pasal 1
huruf g) dan Pasal 14 serta Pasal 16 disebutkan bahwa BPJS
menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan prinsip
kepesertaan yang bersifat wajib. Bila ini asuransi, dan bersifat
gotongroyong (huruf a Pasal 4), mengapa peserta diwajibkan. Juga
disebutkan dalam huruf b) prinsip nirlaba. Tapi mengapa dibolehkan
adanya investasi dan pencarian manfaat (istilah lain dari keuntungan),
yang tentu saja terbuka kemungkinan terjadi kerugian.
Sikap HTI
Maka, berdasarkan telaahan terhadap UU 40/2004 Tentang SJSN dan UU 24/2011 Tentang BPJS, Hizbut Tahrir Indonesia menilai, Pertama,
kedua UU ini secara fundamental telah mengubah kewajiban negara dalam
memberikan jaminan sosial menjadi kewajiban rakyat, serta mengubah
jaminan sosial menjadi asuransi sosial. Padahal makna ‘jaminan sosial’
jelas berbeda sama sekali dengan ‘asuransi sosial’.
Jaminan sosial adalah kewajiban
Pemerintah dan merupakan hak rakyat, sedangkan dalam asuransi sosial,
rakyat sebagai peserta harus membayar premi sendiri. Itu artinya rakyat
harus melindungi dirinya sendiri. Pada jaminan sosial, pelayanan
kesehatan diberikan sebagai hak dengan tidak membedakan usia dan
penyakit yang diderita, sedangkan pada asuransi sosial peserta yang ikut
dibatasi baik dari segi usia, profesi maupun penyakit yang diderita.
Disamping itu, akad dalam asuransi termasuk akad batil dan diharamkan
oleh syariat Islam.
Kedua, UU
ini juga telah memposisikan hak sosial rakyat berubah menjadi komoditas
bisnis. Bahkan dengan sengaja telah membuat aturan untuk
mengeksploitasi rakyatnya sendiri demi keuntungan pengelola asuransi.
Artinya, apabila hak sosial rakyat didekati sebagai komoditi bisnis,
maka posisi rakyat yang sentral substansial direduksi menjadi marjinal
residual. Sementara kepentingan bisnis justru ditempatkan menjadi yang
sentral substansial.
Ini tentu sangat berbahaya karena
berarti negara telah mempertaruhkan nasib jutaan rakyatnya kepada kuasa
pasar, dimana dalam era globalisasi ekonomi sekarang ini pasar mengemban
semangat kerakusan yang predatorik yang dikendalikan oleh kekuatan
kapitalis global yang bakal merongrong hak sosial rakyat melalui
badan-badan usaha asuransi.
Hal ini sudah terbukti di mana-mana,
termasuk di Indonesia di mana institusi bisnis asuransi multi nasional
saat ini tengah mengincar peluang bisnis besar di Indonesia yang
dibukakan antara lain oleh UU 40/2004, Pasal 5 dan Pasal 17, juga UU
24/2011 Pasal 11 huruf b dimana disebutkan bahwa BPJS berwenang untuk
menempatkan dana jaminan sosial untuk investasi. Ini merupakan bukti
nyata dari pengaruh neoliberalisme yang memang sekarang sedang melanda
Indonesia. Desastian. [www.syahidah.web.id]
Posting Komentar