Ustadz, apa
hukumnya kalau uang hasil korupsi, suap menyuap, fee proyek, dan
semisalnya, digunakan untuk naik haji, apakah orang yang berhaji itu
berdosa? Bagaimana hukum hajinya?
Jawab :
Korupsi didefinisikan sebagai penggelapan atau penyelewengan uang negara
atau perusahaan tempat seseorang bekerja untuk menumpuk keuntungan
pribadi atau orang lain. (Sudarsono, Kamus Hukum,
hlm. 231). Definisi lain menyebutkan korupsi adalah penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh pejabat atau pegawai demi keuntungan
pribadi, keluarga, teman, atau kelompoknya. (Erika Revida, Korupsi di Indonesia : Masalah dan Solusinya, USU Digital Library, 2003, hlm. 1).
Tidak
ada istilah khusus untuk korupsi dalam fiqih Islam. Modus korupsi
berupa penggelapan atau penyelewengan uang negara dapat dikategorikan
perbuatan khianat, orangnya disebut khaa`in. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 31). Modus lainnya, yakni suap menyuap, dikategorikan sebagai risywah,
yakni pemberian harta kepada penguasa untuk mencapai suatu kepentingan
tertentu yang semestinya tidak perlu ada pembayaran. Modus lainnya yang
disebut feeproyek, termasuk kategori hadiah atau hibah yang
tidak sah. Semua modus korupsi tersebut adalah harta yang hukumnya
haram dalam Islam, karena diperoleh melalui jalan yang tidak sesuai
syariah (ghairu al masyru’). (Abdul Qadim Zallum, Al Amwal fi Daulah Al Khilafah, hlm. 117-119).
Adapun hukum haji yang menggunakan harta haram, seperti harta dari
korupsi, suap dan sebagainya, sedang orang yang berhaji mengetahuinya,
terdapat khilafiyah di kalangan ulama menjadi dua pendapat. (Abbas Ahmad
Muhammad Al Baz,Ahkam Al Mal Al Haram, hlm. 291-294).
Pertama, hajinya
sah dan menggugurkan kewajiban haji, namun orang yang berhaji berdosa
dan tak mendapat pahala haji. Inilah pendapat jumhur ulama, yaitu
pendapat ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah, juga satu versi pendapat dalam
mazhab Maliki dan Hambali. (Ibnu Abidin, Hasyiyah Radd Al Muhtar, 3/453; Al Qarafi, Al Furuq, 2/85; Al Wansyarisi, Al Mi’yar, 1/440; Al Hithab, Mawahib Al Jalil, 3/498; An Nawawi, Al Majmu’, 7/51; Ibnu Rajab, Al Qawa’id, hlm. 13).
Dalilnya,
karena sahnya haji bergantung pada rukun dan syarat haji, bukan pada
halal haramnya harta yang digunakan. Imam Ibnu Abidin mengatakan berhaji
dengan harta haram sama halnya dengan orang yang sholat di tanah
rampasan (maghshubah), yakni sholatnya sah selama memenuhi rukun dan syaratnya, tapi dia berdosa dan tak mendapat pahala (bi-laa tsawab).” (Ibnu Abidin, Hasyiyah Radd Al Muhtar, 3/453).
Kedua,
hajinya tak sah, berdosa, dan tak mengugurkan kewajiban haji. Inilah
versi pendapat lainnya dalam mazhab Maliki dan Hambali. Dalilnya antara
lain sabda Rasulullah SAW (artinya),”Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Mahabaik (thayyib) dan tidak menerima kecuali yang baik.” (HR Muslim, no 1015). (Al Wansyarisi, Al Mi’yar, 1/439; Al Hithab, MawahibAl Jalil, 3/498; Ibnu Rajab, Al Qawa’id, hlm. 13).
Menurut kami, yang rajih (kuat)
adalah pendapat jumhur, yaitu hajinya sah dan mengugurkan kewajiban
haji, namun tetap dosa dan tak mendapat pahala haji. Sebab meski
memanfaatkan harta haram itu dosa, namun keharaman harta tidak
mempengaruhi keabsahan haji karena kehalalan harta tidak termasuk syarat
sah haji. Jadi hajinya sah selama memenuhi rukun dan syarat haji,
walaupun harta yang digunakan haram. Imam Nawawi berkata,”Jika
seseorang berhaji dengan harta yang haram, atau naik kendaraan
rampasan, maka dia berdosa namun hajinya sah… dalil kami karena haji
adalah perbuatan-perbuatan yang khusus, sedang keharaman harta yang
digunakan adalah hal lain di luar perbuatan-perbuatan haji itu.” (An Nawawi, Al Majmu’,
7/51). Adapun hadits riwayat Muslim di atas, yang dimaksud Allah “tidak
menerima” bukanlah “tidak sah”, melainkan “tidak memberi pahala.”
Kesimpulannya,
berhaji dengan uang hasil korupsi hukumnya sah dan menggugurkan
kewajiban haji, selama memenuhi segala rukun dan syarat haji. Namun
tetap menyebabkan dosa dan tidak ada pahalanya, termasuk pahala haji
mabrur.Wallahu a’lam.[][www.syahidah.web.id]
Posting Komentar