Menarik pesan moral yang diungkapkan Angggota DPD RI perwakilan
Kalteng Hamdhani seusai Sholat Idul Adha di Lapangan Tarmili, Kelurahan
Raja, Kecamatan Arut Selatan, Pangkalan Bun Jumat (26/10) lalu.
Menurutnya, makna Idul Adha adalah pengorbanan yang diwujudkan dalam
sikap saling menghormati dan menghargai hak orang lain. Masih dalam
kolom yang sama Hamdhani secara eksplisit menyatakan bahwa meski umat
Islam mayoritas, negara tidak harus menyelesaikan masalah dengan Syariat
Islam. Sebab, berkaca pada sejarah Nabi Muhammad SAW yang tidak melulu
mengutamakan umat Islam bahkan dalam pembuatan undang undang. “Rasul
saja hormat dengan jenazah umat nonmuslim, apalagi kepada yang masih
hidup . Harusnya kita bisa berkaca dari sana. Nah, itulah inti dari idul
kurban,” katanya (Borneonews 27/10). Berangkat dari statemen
ini, saudara Hamdhani ingin mengatakan bahwa Syariat Islam tidak wajib
dan tidak perlu menjadi acuan dalam mengatur urusan kehidupan bernegara.
Alasannya, Rasul SAW ketika di Madinah tidak selalu merujuk kepada
Islam dalam mengatur urusan pemerintahan sebagai bentuk penghargaan
terhadap hak hak beragama non muslim. Hal ini ditunjukkan Rasul SAW
dengan sikap menghormati jenazah nonmuslim (Yahudi) ketika lewat
dihadapan beliau.
Jika kita telaah, statemen saudara Hamdhani terasa ganjil dan sah
sah saja untuk dikoreksi. Pertama, saudara Hamdhani melakukan pemaksaan
penggunaan dalil yang tidak sesuai antara pernyataan dan dalil sebagai
dasar pembenaran. Sikap Rasulullah SAW yang menghormati jenazah seorang
Yahudi ktika lewat dihadapan beliau tidak memiliki hubungan sama sekali
dengan wajib tidaknya penerapan Syariat Islam dalam kehidupan
bernegara. Sikap tersebut lebih tepat dimaknai sebagai akhlaq mulia
Rasul SAW dalam kapasitas sebagai kepala negara daulah Madinah terhadap
warga negara nonmuslim. Bukan sebagai dalil/pembenaran kebolehan untuk
mengambil syariat di luar Islam. Bukan pula sebagai dalil untuk
membenarkan risalah agama di luar Islam karena bertentangan dengan misi
Rasul SAW sebagai penutup agama-agama terdahulu. Adapun sikap Rasul SAW
terhadap ajaran agama di luar Islam sangat jelas yakni tertuang dalam
surat Al Kafiiruun Ayat 6 yang berbunyi lakum dinukum waliyadin
(Untuk mu agamamu dan untukku agamaku). Sehingga dari sisi aqidah
sangat wajar dan sudah semestinya kaum muslim menganggap ajaran Islam
adalah agama yang paling benar dan yang lain salah. Keyakinan yang sama
juga berlaku bagi nonmuslim yang menganggap bahwa agama nya yang paling
benar. Namun, meski secara absolut menjadikan Islam sebagai kebenaran
tunggal, bukan berarti Islam tidak toleran. Dalam konteks hubungan
sosial terhadap sesama, Islam mengajarkan umatnya untuk mengedepankan
sikap saling menghargai dan menghormati terhadap pemeluk yang berbeda
keyakinan. Hal ini sudah menjadi pemahaman umum bagi umat Islam
khususnya di Indonesia untuk membeeri kebebasan dan jaminan terhadap
pemeluk nonmuslim dalam menjalankan hak hak beragama. Sayangnya, akhir
akhir ini sikap toleran umat Islam terkadang kerap di salahgunakan oleh
oknum-oknum tertentu yang memaksakan kehendak dan berujung pada konflik
sosial.
Sedangkan dalam konteks kewajiban penerapan syariat Islam, ada
beberapa prinsip mendasar yang perlu disepakati sebagai bingkai dalam
menjalin kesepahaman bersama. Pertama, bahwasanya tuntutan penerapan
Syariah Islam harus di lihat dari sudut pandang keimanan (tauhid), bukan
hawa nafsu atau mendasarkan pada realitas kehidupan yang sekuler
seperti sekarang ini. Menjadi pemahaman bersama bahwasanya konsekuensi
dari keimanan seorang muslim terhadap risalah tauhid adalah hanya tunduk
dan taat terhadap perintah maupun larangan Allah SWT dalam seluruh
aspek kehidupan tanpa terkecuali. Mulai dari akhlaq, ibadah murni,
muamalah, uqubat hingga pengaturan kehidupan bernegara (Lihat QS Al
Maidah : 48, QS Ali Imran : 85, QS Al Baqaroh : 85). Dalam konteks
peringatan Idul Adha, keteladan Nabi Ibrahim alayhi salam dan anaknya
Ismail merupakan salah satu contoh terbaik ketaatan seorang hamba
terhadap perintah Tuhan nya. Meski terasa berat, Nabi Ibrahim tetap
tunduk dan menjalankan perintah Allah SWT untuk menyembelih sang buah
hati Ismail. Sikap yang sama ditunjukkan Nabi Ismail yang ikhlas dan
sabar menjadi kurban semata mata ikhlas mengharap keridhoan Allah SWT.
Melalui prosesi kurban, Nabi Ibrahim mengajarkan kepada kita untuk
menempatkan kecintaan terhadap Allah di atas segala galanya. Melebihi
kecintaan terhadap mahluk dan dunia seisinya. Subhanallah.
Inilah yang menjadi spirit utama dari peringatan Idul Kurban yakni
mewujudkan kehidupan yang berlandaskan tauhid dengan menjadikan risalah
Islam sebagai panduan hidup. Pertanyaannya, sudahkah kita taat kepada
Allah dan Rasul NYA dengan rela untuk mengurbankan “Islamil-Ismail” yang
kita miliki. Ismail kita adalah segala sesuatu yang sangat kita cintai
dan dapat menghalangi kita dari ketaatan terhadap perintah Allah SWT.
Dalam kehidupan sehari hari, Ismail yang kita miliki dapat berupa
anggota keluarga (anak istri), kedudukan, jabatan, dan harta benda.
Sekali lagi, ketaatan terhadap Allah SWT tidak cukup secara lisan, tidak
boleh pilih pilih namun harus di tunjukkan dengan pengorbanan sepenuh
hati mentaati seluruh perintah dan larangan Allah SWT melalui penegakan
Syariah Islam dalam bingkai Khilafah Islamiyah.
Kedua, eksistensi nonmuslim di tengah tengah umat Islam tidak dapat
menjadi dalil bagi tidak wajibnya penerapan Syariah Islam. Ketika
Rasul Muhammad SAW menegakkan daulah Islam pertama di Madinah, posisi
umat Islam bukanlah mayoritas. Sebab, di sana ada komunitas yahudi,
nasrani bahkan penganut paganisme. Namun, hal tersebut bukanlah
penghalang bagi Rasul SAW sebagai kepala negara untuk menerapkan Syariah
Islam sebagai payung hukum dan konsensus bersama. Sekaligus untuk
memberikan jaminan hukum, keadilan dan kebebasan beragama bagi seluruh
warga negara madinah baik muslim maupun nonmuslim.
Kedua,konsep mendasar dari penerapan Syariah Islam adalah untuk
menyelesaikan permasalahan manusia secara umum. Manusia dimanapun berada
memiliki permasalahan dasar yang sama yakni bagaimana memenuhi naluri
dan kebutuhan jasmani. Naluri terdiri dari tiga yakni naluri untuk
mempertahankan diri, naluri seksual dan naluri beragama. Adapun
kebutuhan jasmani meliputi kebutuhan fisik manusia seperti makanan,
minuman dan istirahat. Kesemuanya ada dan melekat dalam diri setiap
manusia sebagai fitrah yang melekat hingga akhir hayat. Dengan kata
lain, antara Syariah Islam dengan agama di luar Islam seperti Kristen,
Hindu dan Kong Hu Chu sejatinya tidak ada masalah sedikitpun. Sebab,
Syariah Islam bertujuan untuk mengatur urusan manusia dalam masalah
kehidupan umum dan bukan intervensi dalam aspek ritual agama karena hal
tersebut merupakan otoritas masing masing pemeluk agama. Syariah
mengatur dan menjamin kebebasan beragama warga negara dan bukan
mengatur konsep (kebenaran) suatu agama. Terlebih lagi, Islam mengakui
pluralitas-bukan pluralisme- yang membenarkan kenyataan bahwa di muka
bumi ini terdapat beragam keyakinan/agama yang saling berbeda antara
satu dengan lainnya. Sehingga, ketika Syariah Islam tegak, negara tetap
bahkan harus memberikan jaminan kebebasan menjalankan ritual agama bagi
muslim dan nonmuslim secara adil. Tidak ada pemaksaan untuk pindah
agama, penghancuran tempat ibadah maupun diskriminasi terhadap hak hak
nonmuslim. Rasul SAW bersabda siapa saja yang menganiaya ahli dzimmah, maka sesungguhnya sama dengan menganiaya saya (Rasul SAW).
Ahli dzimmah adalah warga nonmuslim yang membayar jizyah dan mendapat
perlindungan dari negara. Bahkan, Islam membebaskan ahli dzimmah dari
kewajiban untuk berperang ketika negara sedang menghadapi musuh. Inilah
yang dipahami para khulafaur Rasyidin dan para Khalifah (kepala negara
Islam) pengganti sesudahnya. Sehingga meskipun pada beberapa masa
terdapat pemerintahan khalifah yang zalim, hal tersebut tidak mengurangi
keadilan dan perlindungan terhadap hak hak nonmuslim. Realitas sejarah
menunjukkan tidak sedikit rumah ibadah nonmuslim di kawasan timur tengah
yang berumur ratusan tahun tetap berdiri kokoh hingga kini sebagai
bukti perlindungan oleh negara. Sungguh, tidak pantas seorang hamba
menempatkan kecintaan terhadap mahluk setara atau bahkan lebih tinggi
daripada kecintaan kepada Al Khalik, Allah SWT. Kecintaan yang
menjadikan kita tetap setia hidup dalam sistem demokrasi sekuler yang
mengabaikan hukum hukum Allah. Bahkan tak sedikit menjadikan Islam
sebagai kedok dan komoditas untuk sekedar meraih simpati demi sebuah
kursi kekuasaan. Subhanallah. Dengan kerusakan dan krisis multidimensi
yang begitu nyata, apa lagi yang menghalangi kita untuk kembali memenuhi
seruan Allah SWT dan Rasul NYA dengan menegakkan Syariah dan Khilafah ?
Akankah Idul Adha kali ini berlalu tanpa makna ? Wallauhalam biasshowab[][khoirunnisa-syahidah.blogspot.com]
Di muat kolom mimbar harian Borneonews, Senin, 29/10/2012
Posting Komentar