Bagaimanapun juga, tidak diperlukan survei semacam itu untuk sampai pada
kesimpulan apakah Israel bersalah dalam kebijakan politik rasisnya:
Fakta-fakta dapat menunjukkan hal itu.
Pertama, klarifikasi tentang terminologi. Ketika berbicara mengenai
rasisme Israel, tidak disarankan untuk secara persis membedakannya
dengan rasisme yang terjadi di Afrika Selatan. Sebaliknya, apartheid
adalah kejahatan menurut hukum internasional yang bebas dari setiap
perbandingan. Sebagai mantan pelapor di PBB, John Dugard menyebutnya
dalam kata pengantar buku pertama saya dengan kalimat: “Kebijakan rasis
ini adalah kebijakan versi Israel sendiri yang telah dikecam secara
universal.”
Tidak mungkin memahami “sistem” ini tanpa mengingat kembali bahwa negara
itu didirikan melalui pembersihan etnis yang terjadi di Nakba. Dengan
berdirinya Israel di tahun 1948, sebanyak 90 persen warga Palestina yang
sudah menetap di dalam negara baru itu, diusir, harta kekayaan mereka
dijarah, dan tidak punya hak untuk kembali ke kampung halamannya.
Setelah para pengungsi Palestina ini ditolak kewarganegaraannya dan hak
untuk kembali mereka diabaikan, Israel membuat undang – undang yang
membuka perbatasannya bagi Yahudi pendatang.
Dengan demikian, satu – satunya alasan mengapa Israel dikatakan sebagai
negara Demokrasi Liberal adalah karena negara itu mempunyai penduduk
mayoritas Yahudi yang dipaksa datang – dan juga pengusiran secara paksa
terhadap warga Palestina dari rumahnya. Dari tahun 1948 hingga tahun
1953, 95 % komunitas Yahudi didirikan di atas rumah warga Palestina yang
diusir. Jumlah lahan milik warga Palestina diambil alih oleh undang –
undang Israel yang disebut sebagai “Absentee Property Law” yang
berjumlah sekitar 20 % dari luas wilayah sebelum tahun 1967.
Mengatur Ulang Demografi
Hari ini, sekitar satu dari empat warga Palestina dengan kewarganegaraan
Israel dianggap sebagai “absen hadir” dari rumah-rumah mereka dan
kemudian tanah mereka pun disita. Pada pertengahan tahun 1970an, rata –
rata warga Arab telah kehilangan sekitar 65 – 70 % tanahnya. Sejak tahun
1948, lebih dari 700 komunitas Yahudi telah didirikan di dalam wilayah
Israel sebelum perjanjian perbatasan tahun 1967 – tetapi hanya tujuh
yang diperuntukkan bagi warga Palestina.
Selama beberapa dekade, pemerintah Israel telah berusaha untuk melakukan
proses “Yahudisasi” wilayah-wilayah yang dianggap memiliki jumlah warga
Palestina yang cukup tinggi dibandingkan dengan jumlah orang Yahudi,
khususnya di daerah Negev dan Galillee. Salah satu strategi yang
dilakukan di daerah Galilei adalah dengan mendirikan komunitas-komunitas
“mitzpim” (bahasa Ibrani artinya : melihat keluar) yang bertujuan,
menurut Badan Perencana Yahudi, adalah untuk “menjaga wilayah pedesaan
Arab untuk mempengaruhi wilayah teritorial dan menarik banyak penduduk
ke Galilei”.
Sementara itu, puluhan ribu suku Arab Badui tinggal di daerah yang
“tidak dikenal”, terutama di Negev. Mereka mengalami penghancuran rumah
dan juga menderita kekurangan kebutuhan dasar. Ancaman serius yang baru
adalahRencana Prawer (Prawer Plan), yakni penggusuran massal yang akan mengancam hingga 70.000 orang dengan relokasi paksa dan penghancuran desa-desa mereka.
Rencana pembersihan etnis itu didorong karena kecemasan Shimon Peres
yang diungkapkannya kepada para pejabat Amerika tahun 2005, ketika dia
mengatakan bahwa Israel khawatir telah “kehilangan wilayahnya di Negev
“kepada para suku Badui” dan akan diperlukan langkah – langkah untuk
“melepaskan” dari “ancaman Demografis”. Seorang pejabat senior di Negara
Yahudi itu pada tahun 2003 menjelaskan sebuah rencana Yahudisasi baru
di tanah itu bahwa “pertumbuhan penduduk suku Badui dan Arab di wilayah
Galilei sangat cepat dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk Yahudi”
dan oleh karena itu “ kami dengan cepat kehilangan penduduk di sana.”
Unsur lain dalam hak ekslusif rezim ini adalah komite-komite pengakuan,
yang beropasi di sekitar 70 % kota – kota di Israel untuk mengizinkan
atau menolak penerimaan penduduk berdasarkan “kesesuaian” sosial. Dengan
menolak permohonan warga Palestina, komite-komite itu “telah digunakan
untuk mengecualikan orang-orang Arab untuk hidup di wilayah komunitas
Yahudi pedesaan.
Peran mereka saat ini dilegislasi oleh sekitar 42 % komunitas, dan
mereka yang mendukung undang-undang itu tidak malu – malu untuk
mengungkapkan motivasi mereka. Anggota Parlemen Israel Knesset (MK),
Israel Hasson (dari partai Kadima yang “moderat) mengatakan bahwa tujuan
undang-undang itu untuk “ mewujuskan mimpi kaum Zionis menjadi
kenyataan”, sementara MK David Rotem (dari partai Yisrael Beiteinu,
partain mantan PM Liebermen), mengatakan bahwa Yahudi dan Palestina
seharusnya “terpisah namun sejajar”, sambil menegaskan kembali bahwa
“Israel adalah negara Yahudi yang Demokratis, bukan merupakan negara
bagi semua warganya.
Terpisah namun terpisah
Rasisme di Israel yang telah melembaga telah melakukan perlakuan yang
serius bahkan atas pilihan warga Palestina dengan siapa mereka akan
menikah. Di bulan Januari, Pengadilan Tinggi – sebuah forum yang dipuji
oleh para pembela politik Aparthedi Israel yang “liberal” - ditegakkan
undang-undang untuk membatasi warga Israel yang akan mempunyai pasangan
dari warga Tepi Barat dan Gaza. Dalam pendapat mayoritas, Hakim Asher
Grunis menulis bahwa “Hak Asasi Manusia bukanlah resep untuk melakukan
bunuh diri secara nasional” – mengacu kepada “demografi” yang menghantui
rezim apartheid.
Anggota Kadima, Otniel Schneller, memuji keputusan untuk “mengatur
alasan pemisahan antara masyarakat dan kebutuhan untuk mempertahankan
sebuah mayoritas Yahudi, dan juga karakter Yahudi di dalam negara”, yang
menghubungkan ini ke formula “dua negara bagi dua bangsa”. Ironisnya,
slogan sang Yahudi moderat ini (ya, semuanya relatif) menggemakan
kembali retorika Apartheid Afrika Selatan, yang memperingatkan bahwa “
Kita harus mengikuti langkah persamaan, yang akhirnya berarti bunuh diri
nasional bagi warga kulit putih atau kita harus mengambil langkah
pemisahan”.
Ruang untuk perbedaan pendapat dibatasi. Pada tahun 2007, Badan Keamanan
Internal Israel, Shin Bet, menyatakan bahwa hal ini akan “menggagalkan
aktivitas kelompok manapun atau individu manapun yang menyakiti warga
Yahudi dan karekter Demokratis yang berasal dari negara Israel, bahkan
walaupun jika aktivitas itu disetujui undang-undang”. Pada tahun 2008,
pemimpin badan ini mengatakan kepada para pejabat AS bahwa banyak warga
Arab Israel “terlalu jauh” mengambil hak mereka. Undang-undang Israel
melarang calon anggota parlemen yang menyangkal “keberadaan negara
Israel sebagai negara Yahudi bagi masyarakat”, dan usulan terhadap calon
itu bisa dibatalkan karena mereka dapat merusak “Eksistensi negara
Israel sebagai negara Yahudi.”
Sementara survei surat kabar Ha’aretz mengejutkan banyak orang, hal ini
seharusnya tidak mengejutkan: pandangan seperti itu sering muncul dalam
jejak pendapat yang serupa. Contohnya, dalam beberapa tahun terakhir
dimana lebih dari setengah orang Yahudi (lebih dari 50 %) mengatakan
bahwa menikah dengan orang Arab adalah “sama dengan pengkhianatan
nasional”, 78 % Yahudi Israel menolak keberadaan orang Arab di
pemerintahan, 62 % Yahudi Israel mendorong emigrasi warga Palestina, dan
36 % Yahudi Israel mendukung pencabutan suara bagi non – Yahudi.
Hasil seperti itu ternyata diharapkan ketika Anda melihat diskusi yang
diadakan oleh para pemimpin Israel. PM Netahanyu, yang juga seorang
menteri keuangan pada thaun 2003, menggambarkan warga Palestina sebagai
“masalah Demografi”, sementara pada tahun 2009, menteri perumahan saat
itu menyatakan bahwa ini adalah “tugas nasional” untuk “mencegah
penyebaran” warga Palestina. Pada tahun 2010, ketua Badan Solusi
Perumahan untuk lobby Knesset bagai Pasangan Muda menyatakan bahwa
“adalah demi kepentingan nasional untuk mendorong orang Yahudi pindah ke
tempat di mana penduduk Arab terus meningkat”. Ketika Ehud Olmert
menjadi walikota Yerussalem, ia mengganggap hal itu “menjadi
keprihatinan ketika warga non Yahudi meningkat jauh lebih cepat
dibandingkan dengan warga Yahudi”.
Logika rasisme yang sama juga berada di belakang peringatan yang
disampaikan oleh PM Nethanyu bahwa para pengungsi yang merupakan
“penyusup illegal” – non Yahudi dan imigran dari Afrika – bisa mengancam
keberadaan negara “sebagai negara yahudi yang Demokrasi”. Pada negara –
negara lain, ini sayap kanan; di Israel, mendiskusikan kata “ancaman”
yang dilakukan oleh warga Palestina dan warga non Yahudi lainnya adalah
suatu hal yang rutin.
Kebijakan berbasis Rasisme
Dan bagaimana kebijakan Israel di daerah kependudukan, di bawah
kekuasaan militer selama 45 tahun? Di Jerussalem, warga Palestina yang
berada pada wilayah yang dianeksasi secra illegal di wilayah Timur
Jerussalem terus menerus digembar-gemborkan oleh para para pemimpin
Israel sebagai ibu kota “abadi” Israel, dihancurkan rumahnya,
di-diskriminasi dalam pelayanan kota, dan tinggal dalam tembok
diskriminasi Apartheid. Berbicara pada program BBC Hardtalk pada Juli
2011, Mayor Barkat secara terbuka mengkonfirmasi bahwa ia mencari cara
untuk mempertahankan mayoritas Yahudi di dalam kota. – bayangkan bila
walikota London, New York atau Paris mengatakan bahwa jumlah warga
Yahudi tidak boleh meningkat lebih dari proporsi tertentu.
Ada lebih dari 300.000 warga Israel tinggal di wilayah Tepi Barat
(ditambah dengan 200.000 orang yang ada di Timur Jerussalem), suatu
jaringan koloni di antara penduduk Palestina tanpa kewarganegaraan.
Kebebasan warga Palestina diatur oleh sistem birokrasi dengan “izin”,
yang dipaksakan oleh 500 pos pemeriksaan dan rintangannya. Sebagian
besar tembok Apartheid, dengan panjang 700 km dan 70 % telah selesai
atau masih dibangun, terletak dalam wilayah Tepi Barat yang diduduki.
Aneksasi yang secara de facto adalah ilegal ini dibenarkan oleh
Mahkahmah Internasional (ICJ) di dalam pendapat para nasihat mereka di
tahun 2004.
Di sekitar 60 % wilayah Tepi Barat (“Area C”), warga Palestina harus
mengajukan permohonan izin membangun dari tentara kependudukan Israel;
namun menurut laporan PBB tahun 2008, 94 % dari permohonan izin itu
ditolak. Membangun secara illegal sama saja dengan dihancurkan secara
legal. Di tahun 2011, Israel telah menghancurkan 620 rumah warga milik
Palestina di Tepi Barat, bagian dari apa yang telah disebut Uni Eropa
sebagai “pemindahan paksa penduduk asli”. Sementara itu mesin-mesin
pembangunan dan penggalian telah bekerja untuk membangun pemukiman
illegal Israel.
Israel juga mengeksploitasi sumber daya alam di wilayah Tepi Barat,
seperti pengendalian “diskriminatif” terhadap akses dan penggunaan
terhadap air: warga Palestina, yang merupakan lebih dari 80 % populasi
penduduk di West Bank, yang dibatasi aksesnya atas 20 % air yang
terdapat dari akuifer bawah tanah. Badan Hak Asasi Manusia menyebut
rezim Israel di Tepi Barat sebagai “sistem bermuka dua” di mana warga
Palestina menghadapi “diskriminasi sistemik” (terminologi yang sama juga
mereka gunakan untuk menggambarkan kebijakan perbatasan sebelum tahun
67).
Jalur Gaza, tempat bagi sekitar 1,7 juta orang Palestina dan mayoritas
dari mereka adalah pengungsi, diblokade oleh militer Israel yang ada
dibalik tembok pembatas dan “zona penyangga” (termasuk yang ada di
laut). Pembatasan pergerakan warga Palestina terjadi sejak awal 1990,
dengan pengepungan intensif yang dilaksanakan pada sekitar tahun 2006 –
2007. Hingga saat ini, Israel memblokir hampir semua ekspor dari wilayah
itu, dan melakukan apa yang disebut sebagai kebijakan “pemisahan” untuk
tujuan memotong wilayah Gaza dari West Bank.
Pada bulan Maret, Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial
(CERD) menggambarkan kejahatan Israel terhadap hak persamaan sebagai hal
yang belum pernah terjadi sebelumnya. Mencatat adanya “pemisahan Yahudi
dan komunitas non – Yahudi” dan kurangnya “ akses yang sama terhadap
tanah dan properti” di dalam negeri Israel sebelum perjanjian perbatasan
tahun 1967, CERD menemukan rezim itu melakukan “pemisahan secara de
facto” di wilayah Tepi Barat yang cukup parah dan mengingatkan kita atas
“larangan” dalam politik “apartheid”.
Pada seluruh sejarah Palestina – Israel, di dalam wilayah Tepi Barat,
dan Jalur Gaza- Negara Israel telah memerintah lebih dari 12 juta orang
dimana hak-hak dan keistimewaannya ditentukan berdasarkan diskriminasi
rasis. Jutaan orang dikeluarkan dari negara itu secara massal
(dikarenakan mereka adalah orang Palestina). Ini adalah sebuah rezim
yang dimaksudkan untuk mempertahankan dominasi satu kelompok atas
kelompok lainnya. Ini adalah politik Apartehid.
Ben
White adalah seorang jurnalis lepas, penulis dan juga aktivis yang
fokus di dalam masalah Palestina/Israel. Ia adalah lulusan Universitas
Cambridge. []TDA [www.syahidah.web.id]
Posting Komentar