Dengan simplifikasi yang buru-buru dan tanpa penelitian yang mendalam, Tempo langsung mengambil kesimpulan : "Terlepas
dari penyebab kematiannya, banyak pihak berharap agar Putri menjadi
korban terakhir dari penerapan qanun yang dibuat dan diterapkan tanpa
memperhatikan perlindungan atas hak-hak anak."
Tulisan yang dibuat Jajang Jamaludin dan Imran MA ini juga menyimpulkan: "Kematian Putri menjadi kian tak biasa karena berkaitan dengan penerapan hukum syariah di Bumi Serambi Mekah..
Misi Tempo yang anti syariat Islam ini
makin jelas, dengan ditampilkannya artikel kedua tentang kasus di Aceh
itu dengan artikelnya : "Diskriminasi Sana Sini".
Dalam alinea pertama, Tempo menulis: "Kematian
Putri Erlina tak hanya mengundang belasungkawa dari masyarakat biasa.
Lebih dari itu, kematian remaja 16 tahun ini juga memantik kembali
perlawanan kalangan aktivis perlindungan anak dan perempuan terhadap
peraturan yang mereka anggap diskriminatif. "Putri menjadi korban
kebijakan diskriminatif atas nama moralitas dan agama," kata Komisioner Komisi Nasional Perempuan Andy Yentriyani dalam siaran persnya, Jumat pekan lalu.
Artikel itu kemudian ditutup dengan : "Karena
itulah Andy mendesak agar aturan aturan yang diskriminatif dan sangat
merugikan tersebut segera direvisi. Sesuatu yang juga sejak dulu
diteriakkan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia."
Dan kebijakan Tempo yang sinis terhadap
syariat Islam itu makin terlihat jelas dengan Catatan Pinggir yang
dibuat 'god father-nya' Goenawan Mohamad. "Mengenang Putri, 16 tahun, yang bunuh diri setelah dituduh sebagai pelacur oleh polisi syariah di Langsa, Aceh," kata Goenawan mengawali catatannya.
Kebijakan Tempo anti Perda Syariah dan
Undang-Undang yang Islami ini sebenarnya sudah lama dan nampak terang
benderang pada Tempo edisi 4 September 2011, dengan menampilkan judul
liputan khusus: Perda Syariah Untuk Apa. Kebijakan redaksinya nampak
dalam kolom opininya yang menyatakan :
"Indonesia tampaknya bukan tempat
yang tepat untuk menegakkan hukum yang berlatar belakang syariah. Lihat
saja penerapan aturan-aturan baru bernuansa keagamaan itu . Ketentuan
itu diterapkan secara diskriminatif: begitu tegas terhadap masyarakat
kelas bawah, tapi tidak bergigi manakala harus berhadapan dengan
pelanggar aturan dari kalangan elite atau masyarakat kelas atas. Inilah
antara lain kritik terhadap penerapan syariah Islam yang telah berjalan
lebih dari sepuluh tahun di Bumi Serambi Mekah, Aceh. Hampir semua
hukuman hanya mengena pada masyarakat kelas bawah."
Tempo menutup kebijakan redaksinya itu dengan: "Lahirnya
aturan-aturan syariah ini barangkali lebih efektif ketimbang dakwah
puluhan tahun para kiai di kampung-kampung. Sebab aturan-aturan itu
menggunakan tangan-tangan perkasa pemerintah (daerah) untuk memaksa para
perempuan setempat mengenakan kerudung dan pakaian yang Islami, atau
memaksa pasangan yang hendak menikah belajar membaca Al Quran lebih
serius. Namun kemungkinan besar aturan-aturan itu tidak sanggup menjawab
persoalan substansial yang sedang dihadapi bangsa ini, seperti
kemiskinan, kerusakan lingkungan dan korupsi."
Majalah Tempo yang dikenal dengan
majalah investigasi ternama, ternyata dalam kasus bunuh diri Putri di
Langsa Aceh ini melakukan simplifikasi yang buru-buru dan dipaksakan.
Tempo tidak berusaha mengadakan penyelidikan yang mendalam tentang kasus
ini dan mengambil kesimpulan bahwa kasus bunuh diri itu karena
berkaitan dengan penerapan hukum syariah di Bumi Serambi Mekah.
Tempo Bukan Media Rujukan
Dosen STID Moh Natsir, Nuim Hidayat
ketika dimintai tanggapannya soal pemberitaan Majalah Tempo edisi 17-23
September 2012 tentang kasus kematian Putri Erlina yang berujung
terhadap upaya melemahkan penegakan syariat Islam di Aceh dan sejumlah
daerah di Tanah Air, mengatakan majalah itu telah menyakiti umat Islam.
Menurutnya Tempo telah gegabah dengan menurunkan berita yang berjudul
“Diskriminasi Sana-Sini”.
Sebelumnya Dinas Syariat Islam Kota
Langsa juga menyatakan keberatannya atas pemberitaan majalah yang
digawangi tokoh JIL yang bernama Goenawan Muhammad itu.
Dalam temu persnya, Kepala Dinas Syariat
Islam Kota Langsa Aceh, Ibrahim Latief mengatakan, kematian Putri
Erlina tidak ada sangkut pautnya dengan penerapan syariat Islam di Aceh.
Nuim Hidayat menilai, jurnalis Tempo
yang menulis berita itu, tidak mengadakan penelitian mendalam kepada
pihak-pihak yang terkait dengan kematian Putri Erlina, apakah itu
keluarga, teman dan sahabat, guru-guru, dan dinas syariat Islam kota
Langsa itu sendiri.
“Dinas syariat Islam di kota Langsa tak
pernah mengatakan bahwa korban adalah pelacur. Kalau ada media massa
lokal di Aceh yang mengatakan bahwa kematian Putri Erlina terkait dengan
penerapan syariat Islam di sana, itu bukanlah tanggung jawab lembaga
tersebut atas efek negatif dari pemberitaannya.”
Kesimpulan majalah Tempo yang mengatakan
kematian Putri Erlina terkait dengan penerapan syariah Islam, patut
dianalisis lebih lanjut, karena belum pernah ada sebelumnya orang-orang
yang terkena razia syariah bunuh diri, padahal dinas syariah kota Langsa
sudah menahan banyak sekali pelaku pelanggar syariah di sana.
Kemudian faktor penyebab Putri Erlina bunuh diri juga patut diteliti, apakah alasannya membunuh dirinya sendiri?
Bagaimana kondisi kejiwaan sang korban,
bagaimana hubungan korban dengan keluarganya, apakah korban terkena
kasus lain yang menyebabkan dia bunuh diri, menyusul ditahannya korban
akibat pelanggaran syariah oleh dinas penegak syariah di sana?
Lalu penjelasan di surat wasiatnya yang
mengatakan korban tidak menjual dirinya, apakah penyebabnya karena
tudingan pelacur dari media massa atau dari dinas syariah itu sendiri?
Nuim yang merupakan adik Adian Husaini
ini menggarisbawahi, sebagai media massa Tempo harus selalu menyajikan
berita yang adil dan berimbang, to cover both side, mengingat efek pemberitaannya kepada masyarakat luas, khususnya bagi kalangan yang tidak mengerti tentang syariah Islam.
Menurut Nuim, diterapkannya syariah
Islam justru membawa kemajuan bagi masyarakat Aceh. Syariah Islam yang
sudah diterapkan di Aceh sejak zaman Samudera Pasai dahulu, terbukti
ampuh mengatasi kriminalitas, kerusakan akhlak dan moral masyarakat, dan
melawan penjajahan Belanda serta akibat buruk di baliknya (program
pemurtadan besar-besaran di sana).
Nuim menyadari masih adanya kelemahan
dalam upaya penegakan syariah di sana, tapi setidaknya Aceh lebih
kondusif dan aman sekarang di bawah hukum Syariah ketimbang
daerah-daerah lainnya yang tidak menggunakan hukum Syariah.
Nuim pun menantang Tempo untuk
mengadakan survei secara nasional dengan obyektif. Membandingkan faktor
kriminalitas dan amoralitas; korupsi, pemerkosaan, pencurian,
perampokan, tawuran remaja, seks bebas, penggunaan narkoba dan miras,
penyebaran pornografi dan pornoaksi, aktivitas pelecehan agama, dan
sebagainya, antara daerah yang tidak menggunakan syariah Islam dengan
Aceh, yang menggunakan syariah Islam.
Jika sedikit-sedikit Tempo mengaitkan
keburukan-keburukan yang menimpa Aceh dan masyarakatnya terkait
penegakan syariah, Tempo harus berani menarik kesimpulan bahwa di
daerah-daerah non penegakan syariah pun, tingginya kasus-kasus
kriminalitas dan amoralitas di sana, adalah akibat diterapkannya hukum
sekuler.
Nuim dan dinas syariah kota Langsa akan
selalu berkomitmen untuk melawan penyebaran ide-ide Islamofobia yang
diusung media massa nasional (dan internasional), apapun medianya.
Terakhir Nuim menyerukan dan mendorong
agar penegakan syariah Islam ditingkatkan kualitasnya, mulai dari
kualitas guru agama, para penegak syariah dan dinas yang terkait, hingga
pengambil kebijakannya, sehingga penegakan syariah bisa dirasakan
manfaatnya oleh segenap warga Aceh. Desastian/dbs. [www.syahidah.web.id]
Posting Komentar