Namun definisi suatu bangsa yang maju perlu lebih diperjelas. Seperti
apakah bangsa yang maju itu? Apakah suatu bangsa dikatakan maju ketika
ilmu teknologi dan sains telah mencapai tingkat perkembangan yang
maksimal, ataukah suatu bangsa dikatakan maju jika secara fisik kita
bisa melihat tinggi bangunan yang menjulang ke langit dengan lampu-lampu
memenuhi setiap sudut kotanya.
Jika memang tolak ukurnya demikian, maka wajar dan pantaslah jika
label maju hanya diperuntukkan bagi bangsa di daratan Eropa, Amerika,
dan Jepang. Karena pada dasarnya ilmu teknologi, sains, dan bangunan
pencakar langit di sana sungguh memukau dunia. Dan tentu wajar pula jika
Indonesia hanya dikategorikan sebagai negara berkembang, lantaran masih
banyak penduduknya yang gaptek dan angka kemiskinan tak juga menurun.
Namun, pemikiran itu sepertinya perlu direduksi lagi. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.”
(QS. Al Hujurat: 13). Sebagai muslim, maka setiap standar dalam pola
pikir dan perbuatan kita tentu saja menjadikan Allah dan rasul Nya
sebagai tolak ukur utama dan pertama.
Suatu bangsa belum bisa dikatakan maju jika hanya bangunan fisiknya
yang tampak wah, sementara ahklak para penduduknya tak jauh beda dengan
hewan. Suatu bangsa belum pantas disebut bangsa yang maju jika hanya
ilmu sains dan teknologinya saja yang meningkat sementara ketakwaan
penduduknya malah anjlok, bahkan sampai mempersekutukan Allah.
Kelak di hari akhir, Allah tak akan menanyakan seberapa tinggi gedung
yang mampu dibangun oleh seorang penguasa dalam menunjukkan
keberhasilannya, juga tak akan ditanyakan secanggih apa teknologi yang
mampu dicapai sebagai manusia. Bukan itu, nyatanya Allah hanya akan
menanyakan seberapa bertakwakah kita sehingga Dia layak menempatkan kita
di jannahNya .
Namun demikian, bukan berarti sains, teknologi itu tak perlu. Kita
tak bisa menafikkan bahwa manusia adalah mahkluk paling sempurna yang
diciptakan Allah. Dengan kesempurnaan itu, allah memberikan kita akal
yang melebihi mahkluk lain, sehingga manusia mampu melesat dalam segi
pengetahuan dibandingkan mahkluk yang lainnya. Bandingkan, sejak zaman
purba hingga sekarang binatang hanya mampu membangun rumahnya tak jauh
beda dengan rumah yang mereka bangun sekarang ini. Tetapi manusia,
tampak perbedaan signifikan antara rumah zaman dulu dengan sekarang dari
segi struktur bangunan maupun teknologi membangunnya.
Satu-satunya manusia yang berhasil membangun masyarakat dan peradaban
bangsa yang maju adalah rasulullah SAW. Selain unggul dalam hal ahklak
dan keimanan, para sahabat dan orang-orang sholih juga merupakan ahli
dalam ilmu sains. Tak terhitung berapa banyak ilmuwan islam yang
terkenal dan dijadikan kiblat bagi bangsa romawi dan yunani saat itu
dalam mempelajari ilmu dunia, tetapi mereka juga adalah orang-orang yang
ahli dalam ilmu Al Qur’an dan hadist dan menerapkan ilmu keislaman
mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, jika menilik dari perkembangan pendidikan saat ini, banyak
orang tua yang menjadikan barat sebagai kiblat dalam mendidik anak.
Mereka rela membayar dan mengeluarkan banyak uang agar anak mereka bisa
menguasai matematika, sains, dan bahasa asing, tetapi mereka tak peduli
apakah anak mereka bisa membaca Al Qur’an atau tidak. Ironisnya, banyak
generasi muslim saat ini yang ketika menginjak usia baligh pun belum
mampu membaca Al Qur’an dengan baik dan benar.
Terlebih lagi, generasi Muslim kini sungguh sangat tak bisa dibedakan
dengan orang-orang penyembah selain Allah. Mereka mempunyai gaya
berpakaian yang sama, mencintai hal-hal yang sama, mencintai minuman
keras, bahkan menganggap enteng zina. Na’uzubillah.
Jika terus demikian, maka akan diarahkan kemana tujuan hidup
anak-anak kita. Mereka tak lagi mencintai Allah, mereka tak lagi
mengenal rasulullah, dan mereka menganggap bahwa islam sama benarnya
dengan agama-agama yang lain. Kalau sudah begini, masyarakat maju yang
pernah dibentuk rasulullah tentu hanya akan tinggal sejarah. Karena
faktanya, jika manusia hanya memikirkan masalah dunianya, memenuhi
kebutuhan hidup, bersenang-senang, dan meneruskan keturunan, toh semua
itu tak jauh beda dengan binatang melata. Bahkan lebih buruk.
قال الله تعالى: {وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا
مِّنَ الْجِنِّ وَالإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَّ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ
أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لاَّ يَسْمَعُونَ بِهَا
أُوْلَـئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُوْلَـئِكَ هُمُ
الْغَافِلُونَ} [الأعراف: 179]
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa ta’ala), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar ayat-ayat Allah Shubhanahu wa ta’alla). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. Kedatangan azab Allah Shubhanahu wa ta’alla kepada orang-orang yang mendustakan ayat-ayat-Nya dengan cara istidraj. (QS. Al-A’raf: 179).
Sungguh fenomena seperti inilah yang banyak terjadi saat ini. Banyak
manusia yang dinggap pintar dalam bidang keilmuannya tetapi malah
menafikan keberadaan Allah. Banyak orang yang menjadi profesor doktor
yang disebut sebut debagai nabi ilmu sains malah tak memahami makna dan
tujuan keberadaannya di dunia. Dan orang-orang yang demikian tak
selayaknya disebut sebagai orang cerdas. Karena manusia cerdas adalah
manusia yang mampu memahami konsep bahwa dunia bukanlah sebagai tempat
kembali, melainkan tempat untuk beribadah mengumpulkan pahala.
قال الله تعالى: {وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ} [العنكبوت: 64]
Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui. (QS. Al-Ankabut: 64).
Dalam mendidik anak-anak kita, agar menjadi generasi cerdas, generasi
penerus perjuangan kita, seharusnya kita meneladani Lukmanul Hakim,
yang kisahnya diabadikan Allah dalam Al Qur’an.
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia
memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan
Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar
kezaliman yang besar”.” (QS. Lukman: 13).
Kalimat pertama yang diajarkan pada anak-anak kita adalah kalimat
tauhid. Tak ada yang lebih penting dan utama dari itu. Karena di atas
pondasi tauhid dan akidah yang benarlah manusia akan menempatkan dirinya
sebagai mahkluk paling sempurna. Wallohu’alam.
Posting Komentar