syahidah.web.id - Ladang-ladang migas di Indonesia dalam beberapa tahun ke depan telah
habis masa kontraknya akan habis. Beberapa kalangan menyambut gembira.
Itu berarti negara bisa mengambil alihnya dan mengelolanya untuk rakyat.
Namun keinginan masyarakat itu sirna melihat gelagat rezim yang
berkuasa saat ini. Mereka ternyata lebih suka kontrak pertambangan itu
tetap berada di tangan asing. Kok aneh? Itulah Indonesia.
Kasus
terakhir terjadi di Blok Mahakam, Kalimantan Timur. Blok yang dikuasai
oleh perusahaan Prancis Total dan perusahaan Jepang Inpex ini akan
berakhir masa kontraknya pada 2017. Sebelum kontrak itu habis, mereka
sudah mengajukan perpanjangan.Tidak hanya melalui surat, perpanjangan
itu dilakukan melalui lobi-lobi tingkat tinggi. Termasuk, melalui lobi
diplomatik antar negara. Perdana Menteri Prancis pun datang ke Indonesia
untuk itu.
Sementara itu, Pertamina sendiri sebagai perusahaan
negara, jauh-jauh hari sudah meminta pemerintah agar bisa mengelola
blok migas itu. Permintaan itu sudah dilayangkan sejak 2008. Pertamina
menyatakan sanggup dan mampu mengelola blok itu. Jangankan hanya Blok
Mahakam, blok yang secara teknologi lebih sulit pun sudah digarap
Pertamina dan berhasil.
Tapi pemerintah tampaknya lebih senang
jika Total dan Inpex tetap di Mahakam. Berbagai dalih disampaikan.
Pertamina dianggap tidak mampu baik dari sisi teknologi maupun biaya.
Selain itu, pemerintah berdalih pemutusan kontrak akan mengganggu
investasi di bidang
migas.
Namun, banyak kalangan menilai,
kengototan pemerintah melalui berbagai pejabatnya ini tidak lain
membawa misi para kapitalis, pemilik multi national corporation (MNC).
Mereka itu lebih mementingkan iklim usaha dibandingkan dengan memikirkan
nasib rakyat.
Para pemerhati menilai, saat ini pejabat yang
duduk sebagai penentu kebijakan migas banyak didominasi oleh orang-orang
liberal apakah itu di BP Migas maupun di kementerian. Mereka mendukung
sepenuhnya desain migas Indonesia yang disusun oleh USAID saat
penyusunan UU Migas No 22 Tahun 2001. Para penentu kebijakan ini rela
melacurkan diri bagi kepentingan asing. Mereka inilah, menurut pengamat
yang lain, sebagai kaki tangan penjajah di Indonesia.
Mengapa
Total ingin tetap bertahan? Karena Blok Mahakam potensinya sangat besar.
Blok Mahakam merupakan salah satu ladang gas terbesar di Indonesia.
Berdasarkan data yang pernah dilansir oleh .BP Migas, saat ini rata-rata
produksinya sekitar 2.000 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) atau
sekitar 344.000 barel oil equivalen (boe) per hari. Cadangan yang
terkandung di blok ini sekitar 27 trilliun cubic feet (tcf). Dari 1970
hingga 2011, sekitar 50 persen (13,5 tcf) cadangan telah dieksploitasi,
menghasilkan pendapatan kotor sekitar US$ 100 milyar.
Sementara
itu cadangan yang tersisa saat ini sekitar 12,5 tcf, dengan harga gas
yang terus naik. Jika diasumsikan rata-rata harganya US$ 15/MMBtu, maka
dari cadangan ini berpotensi menghasilkan pendapatan kotor lebih dari
US$ 187 milyar (12,5 x 1012 x 1000 Btu x $15/106 Btu) atau sekitar Rp
1.700 trilyun.
Kok aneh, negara tidak mau mengelolanya sendiri
potensi sebesar itu? Pasti ini ada apa-apanya. Rumor yang muncul,
kontrak karya dengan MNC dijadikan ajang mencari uang bagi partai
politik dan orang-orang yang ingin mencari kedudukan.
Inilah
yang kemudian mendorong lahirnya Petisi "Petisi Blok Mahakam Untuk
Rakyat". Petisi ini ditujukan kepada Presiden SBY. Isinya menuntut
pemerintah tak memperpanjang lagi kontrak dengan perusahaan Prancis dan
Jepang itu.
Dan dipastikan, itu tidak menyalahi peraturan
internasional dan mengganggu iklim investasi. Soalnya kontrak memang
sudah habis. Sesuai UU Migas No.22/2001, jika kontrak migas berakhir,
pengelolaannya dapat diserahkan kepada BUMN.
Keuntungan yang
didapatkan adalah pasokan gas dalam negeri akan meningkat. Selama ini
gas banyak diekspor ke luar negeri. Padahal kebutuhan dalam negeri
sendiri tak bisa dipenuhi. PLN pun kelabakan mencari bahan bakar yang
murah —berupa gas, tapi tak memperoleh pasokan. Akibatnya tariff listrik
jadi mahal karena menggunakan BBM yang mahal.
Akhirnya,
pemerintah memutuskan akan menyerahkan 50-70 persen kepemilikan Blok
Mahakam ke Pertamina dan BUMD. Sisanya pemerintah tetap memberikan
kepada Total. Kebi¬jakan ini menunjukkan pemerin¬tah tetap berpihak
kepada asing dan menganggap masyarakat tidak mengerti tentang apa yang
terjadi.
Dengan kebijakan tersebut, kedaulatan energi tetap
tidak didapatkan. Padahal yang dituntut masyarakat sangat jelas,
mengembalikan Blok Mahakam kepada negara dalam hal ini Pertamina. Sudah
cukup asing menikmati kekayaan alam Indonesia.Tak boleh ada toleransi
lagi, meski hanya sedikit!
Liberalisasi
Karut marut
pengelolaan migas di Indonesia ini tidak lepas dari sistem ekonomi
liberal yang diterapkan. Kenapa ini masalah sistem? Karena memang sistem
perundang-undangan yang mengaturnya demikian.
Berdasarkan UU
No 22 Tahun 2001 tentang Migas, jelas-jelas di dalamnya mengandung
prinsip liberal yakni menihilkan peran negara dalam mengelola cumber
daya alam. UU Migas itu menggariskan penggantian peran negara oleh
swasta. Mengapa sampai seperti itu? Karena UU itu disusun oleh asing
melalui tangan-tangan anggota DPR.
Dampak yang muncul, sejak
lahirnya UU Migas tahun 2001, industri migas Indonesia semakin babak
belur: produksi terus menurun, cost recovery makin meningkat, dan tidak
ditemukannya cadangan minyak baru. Pertamina yang dulu berjaya, kini
terseok-seok. Ini berkebalikan dengan Petronas di Malaysia yang belajar
dari Pertamina zaman dulu, kini berkembang menjadi raksasa.
Cabut atau Amendemen UU Migas
Kondisi ini sudah disadari oleh masyarakat, kecuali pemerintah dan DPR.
Desakan untuk mencabut UU itu sudah muncul berulang kali. Tapi niat
mereka masih menghadapi tembok penghalang yang sangat kuat.
Rupanya sebagian anggota DPR pun ada yang peduli dan kemudian
mengusulkan agar UU Migas itu diamandemen saja. Niat itu mulai
diwujudkan pada beberapa waktu lalu. UU itu akan direvisi agar
kedaulatan energi muncul kembali.
Tuntutan Syariah
Pengelolaan kekayaan alam yang melimpah tidak boleh diserahkan kepada
swasta. Ini adalah tuntutan syariah Islam. Secara logika, ini sangat
masuk akal. Dengan dikelola negara maka keuntungannya akan bisa
dinikmati oleh rakyat. Sebaliknya jika dikelola oleh swasta, hasilnya
hanya akan dinikmati oleh segelintir orang.
Pertanyaannya,
dalam sistem yang liberal seperti sekarang, itu akan sulit dilakukan.
Soalnya, kuku-kuku imperalisme menghunjam cukup dalam. Maka, di sinilah
pentingnya kaum Muslimin menyegerakan kembali diterapkannya syariah
Islam dalam institusi khilafah agar kekayaan alam negeri ini bisa
menyejahterakan umat. [www.syahidah.web.id]
Posting Komentar