syahidah.web.id - Dan berkatalah orang-orang kafir kepada orang-orang yang beriman: “Ikutilah jalan kami, dan nanti kami akan memikul dosa-dosamu”, dan mereka (sendiri) sedikit pun tidak (sanggup), memikul dosa-dosa mereka. Sesungguhnya mereka adalah benar-benar orang pendusta. Dan sesungguhnya mereka akan memikul beban (dosa) mereka, dan beban-beban (dosa yang lain) di samping beban-beban mereka sendiri, dan sesungguhnya mereka akan ditanya pada hari kiamat tentang apa yang selalu mereka ada-adakan (TQS al-Ankabut [9]: 12-13).
Orang beriman wajib kukuh memegang
keimanannya. Termasuk ketika berbagai cobaan dan ujian, baik yang keras
dan meyakitkan, maupun yang halus dan menyenangkan. Juga, ketika
berhadapan dengan kaum kafir yang melakukan berbagai jurus dan cara
untuk memurtadkan umat Islam dari agamanya. Ayat ini di antara yang
menjelaskan salah satu cara yang dilakukan orang kafir.
Propaganda Kaum Kafir
Allah SWT berfirman: Waqâla al-ladzîna kafarû li al-ladzîna âmanû (dan
berkatalah orang-orang kafir kepada orang-orang yang beriman). Menurut
Mujahid, ini adalah perkataan orang kafir Makkah kepada orang-orang
beriman. Penjelasan yang sama juga dikemukakan Ibnu Katsir,
al-Zamakhsyari, dan lain-lain.
Meskipun demikian, perkataan tersebut
bisa saja diucapkan oleh orang-orang kafir lainnya. Diberitakannya
perkataan mereka beserta bantahan terhadapnya menjadi petunjuk bagi kaum
Muslim dalam meghadapi perkataan serupa.
Perkataan yang diucapkan orang kafir itu adalah: [i]ttabi’û sabîlanâ (“Ikutilah jalan kami). Dijelaskan Ahmad Mukhtar dalam Mu’jam al-Lughah al-‘Arabyyah, kata ittaba’a fulân[an] berarti
berjalan di belakangnya, mengikutinya, dan membuntutinya. Bisa juga
berarti meniru dan meneladaninya. Dengan ini merupakan ajakan orang
kafir terhadap orang beriman agar mau meniru dan mengikuti sabîl (jalan) mereka. Yang dimaksud dengan sabîlanâ (jalan kami) adalah dînanâ(agama kami). Demikian penjelasan al-Qurthubi, al-Baghawi, al-Syaukani, Ibnu al-Jauzi, dan mufassir lainnya.
Dengan demikian, sebagaimana dijelaskan al-Syaukani, perkataan tersebut berarti uslukû tharîqatanâ wa a[i]dkhulû dînanâ (tempuhlah jalan kami dan masuklah ke dalam agama kami). Ibnu Jarir al-Thabari memaknainya: “Jadilah
kalian seperti kami dalam mendustakan adanya (hari) kebangkitan
kembali setelah kematian dan mengingkari pahala dan dosa atas
perbuatan.”
Inilah sikap orang kafir. Mereka tidak
diam dengan kekufuran dirinya. Akan tetapi, mereka juga mengajak kaum
Mukmin untuk mengikuti agama mereka, baik seluruhnya maupun sebagian.
Agar meyakinkan, mereka pun berkata: walnahmil khathâyâkum (dan nanti kami akan memikul dosa-dosamu”).
Kata al-haml (memikul) di sini berarti al-hamâlah (menanggung), bukan memikul dengan punggung. Demikian menurut al-Qurthubi dalam tafsirnya. Sedangkan huruf al-lâm pada kata walnahmil merupakan lâm al-amr (menunjukkan
arti perintah). Seolah-olah mereka memerintahkan diri mereka untuk itu.
Menurut al-Farra` dan al-Zujjaj, kalimat ini merupakan perintah yang
mengandung syarat dan balasannya. Artinya, “Jika kalian mengikuti jalan kami, maka kami akan menanggung dosa-dosa kalian”.
Penjelasan serupa juga dikemukakan al-Syaukani. Menurutnya, ayat ini bermakna: “Jika
mengikuti jalan kami berdosa dan membuat kalian dihukum pada hari
kebangkitan kelak sebagaimana yang kalian katakan, maka kami akan
menanggung dosa-dosa itu dan kami juga yang dihukum, bukan kalian.”
Ucapan itu merupakan bujukan kaum kafir
terhadap kaum Muslimin sekaligus fitnah untuk meninggalkan Islam. Jika
dalam ayat sebelumnya diberitakan tentang adanya fitnah yang menyakitkan
bagi orang yang mengatakan dirinya beriman, dalam ayat ini diberitakan
tentang modus yang lebih halus yang dilakukan orang kafir dalam
memurtadkan umat Islam. Allah SWT pun membantah perkataan mereka dengan
firman-Nya: Wamâ hum bi hâmilîna min khathâyâhum min sya`i[n] (dan mereka [sendiri] sedikit pun tidak [sanggup], memikul dosa-dosa mereka).
Dalam ayat ini Allah SWT mendustakan
perkataan mereka. Janji yang mereka ucapkan kepada kaum Mukmin adalah
janji kosong. Sebab, mereka tidak sanggup memikul khathâyâhum sedikit pun. Kata khathâyâhum berarti awzârahum (dosa-dosa
kalian). Dan mereka harus menanggung semua dosa itu sendiri. Tidak bisa
melibatkan orang lain untuk membantu memikul dosa-dosa itu.
Huruf al-bâ` pada kata tersebut merupakan zâidah (tambahan). Itu berguna sebagai li ta`kîd al-nafiyy wa al-istimrâr (untuk mengukuhkan negasi dan dan keberlangsungan). Demikian penjelasan al-Syaukani.
Kemudian Allah Swt berfirman: Innahum lakâdzibûn (sesungguhnya
mereka adalah benar-benar orang pendusta). Kalimat ini menegaskan
kedustaaan mereka. Bahwa ucapan mereka tidak layak dipercaya. Janji
mereka tidak bisa dipegang. Sebab, mereka adalah para pendusta.
Memikul Dosa Berlipat
Dalam ayat selanjunya Allah SWT berfirman: walayahmilunna atsqâlahum ma’a atsqâlihim (dan
sesungguhnya mereka akan memikul beban [dosa] mereka dan beban-beban
[dosa yang lain] di samping beban-beban mereka sendiri). Ini merupakan
penegasan tentang besarnya dosa mereka yang harus mereka tanggung.
Digunakan kata al-atsqâlmenunjukkan bahwa itu merupakan dzunûb ‘azhîmah (dosa-dosa yang amat besar).
Orang-orang kafir itu harus memikul atsqâlahum. Yakni, dosa atas kesesatan yang mereka lakukan. Sedangkan atsqâlihumadalah
dosa orang-orang yang mereka sesatkan. Dengan demikian, mereka harus
menanggung dosa yang mereka kerjakan sekaligus dosa orang yang ikut
tersesat akibat bujukannya.
Ini sebagaimana diberitakan dalam firman-Nya:
(Ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan
sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebagian dosa-dosa orang yang
mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikit pun (bahwa mereka
disesatkan) (TQS al-Nahl [16]: 25). Sabda Nabi SAW: Barangsiapa membuat sunnah say`ah (kebiasaan yang buruk), dia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengikutinya (HR Muslim).
Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: wa layus`alunna yawma al-qiyâmah ‘ammâ kânû yaftarûn (dan
sesungguhnya mereka akan ditanya pada hari kiamat tentang apa yang
selalu mereka ada-adakan). Pertanyaan yang ditanyakan kepada mereka pada
Hari Kiamat kelak bukan dalam rangka istifhâm (mendapatkan jawaban atas perkara yang belum diketahui), namun merupakan tawbîkh wa taqrî’ (celaan dan teguran keras) terhadap kedustaan yang mereka adakan atas nama Allah SWT. Kata yaftarûn berarti kedustaan dan kebatilan yang mereka buat ketika di dunia.
Demikianlah. Bujuk rayu kaum kafir
terhadap kaum Mukmin untuk meninggalkan agamanya. Cara yang mereka
tempuh –sebagaimana diberitakan ayat ini—ini terlihat lembut dan halus.
Namun jika diikuti, akibatnya tak kalah menyengsarakan dibandingkan
dengan cara-cara kasar dan keras yang mereka lakukan. Yakni, sama-sama
masuk ke dalam neraka yang penuh siksa. Maka, kaum Muslim harus menolak
ajakan mereka dengan tegas. Allah SWT berfirman: Mereka
tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan
kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup.
Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati
dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan
di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya (TQS al-Baqarah [2]: 217).
Semoga kita tidak termasuk orang tersesatkan oleh kaum kafir itu. Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.
Ikhtisar:
1. Orang kafir menempuh berbagai cara untuk memurtadkan umat Islam, baik dengan cara yang keras maupun yang halus
2. Janji orang kafir menanggung dosa kaum Mukmin apabila mengikuti agama mereka adalah janji dusta
3. Orang kafir menanggung dosa atas kesesatannya dan dosa orang-orang yang disesatkannya. [www.syahidah.web.id]
Posting Komentar