IBNU Ishaq dan Thabrani meriwayatkan dari Ibnu Abbas, katanya,
“Seorang Yahudi bernama Mubasy bin Qais berkata kepada Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam: “Tuhanmu itu sungguh kikir, tidak mau mengeluarkan
pembelanjaan”. Lalu Allah menurunkan ayat-Nya ini (ayat 64), Abu Syeh
meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat ini diturunkan bertalian dengan
kasus Fankash seorang tokoh Yahudi suku Qainuqa. Ibnu Jarir meriwayatkan
dari Ikrimah sama seperti ini.
Dan diriwayatkan dari Mujahid bahwa kaum Yahudi berkata “Allah
menyempitkan kita wahai Bani Israil, sehingga tangan-Nya dimasukkan ke
tempat penyembelihan-Nya.” Kata-kata mereka ini bermakna, bahwa Allah
menyempitkan rezki mereka (mereka hidup serba kekurangan). Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas juga, beliau berkata; “Perkataan mereka (tangan Allah
terbelenggu) bukanlah mereka maksudkan bahwa tangan Allah itu terikat,
tetapi maksudnya “Allah itu bakhil”, menahan segala rezki yang
dimiliki-Nya. Sungguh Allah Maha Tinggi lagi Maha Suci dan sifat-sifat
yang dikatakan oleh orang-orang dhalim itu.
Yang berkata: “Tangan Allah terbelenggu”, hanyalah sebagian orang
Yahudi saja. Tetapi seluruh bangsa Yahudi terkait di dalamnya. Sebab
anggota suatu masyarakat satu dengan yang lainnya punya kewajiban
bertanggung jawab kepada seluruh masyarakatnya. Sebab suatu masyarakat
adalah bagaikan satu tubuh.
Dalam semua zaman manusia sering menimpakan perbuatan orang-orang
tertentu dari suatu ummat kepada seluruh ummat itu sendiri. Dan telah
menjadi suatu kebiasaan Al- Qur’an melibatkan generasi belakangannya
terhadap perkataan dan perbuatan generasi sebelumnya yang sudah lewat
beberapa abad.
Munculnya anggapan di kalangan bangsa Yahudi, bahwa Allah itu
tangan-Nya terbelenggu atau Allah itu bakhil, karena kemelaratan yang
diderita sebagian besar mereka. Mereka bertanya, mengapa Allah
menjadikan sebagian besar manusia ini hidup dalam kemelaratan ?
Mengapa manusia ini semua tidak dijadikan oleh Allah hidup
berkecukupan padahal Allah itu Maha Pemurah dan Maha Luas karunia-Nya?
Terjadinya kemelaratan yang merajalela di tengah bangsa Yahudi adalah
karena tingkah laku mereka sendiri. Golongan kaya dari kalangan bangsa
Yahudi tidak mau mengulurkan tangan untuk mengeluarkan infaq dan
memberikan bantuan material bagi kepentingan masyarakatnya.
Mereka adalah golongan manusia yang paling bakhil. Tidak ada
seseorang Yahudi bersedia memberikan sesuatu kepada orang lain secara
sukarela, atau tanpa imbalan keuntungan bagi dirinya. Bahkan Allah telah
melaknat mereka karena sikap kebakhilannya dan anggapannya yang penuh
kebohongan bahwa Allah itu bakhil.
Keluasan rahmat Allah dan melimpahnya pemberian-Nya kepada hamba-Nya
bukanlah turun begitu saja. Tetapi Allah telah menetapkan aturan
permainan, bagaimana cara manusia dapat meraih kemurahan dan luasnya
rahmat-Nya. Maka manusia yang ingin memperoleh hidup serta berkecukupan
sehingga tidak ada lagi kemelaratan di tengah masyarakat, maka manusia
wajib menempuh cara-cara yang telah ditetapkan oleh Allah itu.
Bangsa Yahudi, sebagai golongan manusia yang serta bakhil, setelah
melakukan kedurhakaan begitu rupa kepada Allah, dengan angan-angan
kosongnya mengharapkan segenap masyarakat Yahudi dapat hidup kaya, tanpa
mau mematuhi ketentuan-ketentuan Ilahi. Jalan pikiran bangsa Yahudi
semacam ini, kemudian berbalik menyatakan, bahwa kemelaratan yang
diderita oleh ummat manusia adalah karena Allah itu bersifat bakhil.
Sungguh patut bangsa Yahudi mendapat laknat Allah karena dalih penuh
dengan kebohongan ini. [www.syahidah.web.id]
Posting Komentar