www.syahidah.web.id - Selama berabad-abad, dunia pendidikan telah terpenjara dalam
kepentingan korporasi. Ilmu tidak lagi dikembangkan sebagaimana
seharusnya sebuah ilmu. Tetapi ilmu dikembangkan berdasarkan kepentingan
korporasi terhadap pasar. Aspek pembiayaan pendidikan dan kepentingan
dana riset menjadi alasan pembenaran hal itu. Kondisi ini terjadi, pasca
hilangnya Negara Khilafah Islam. Sebuah negara yang mengatur dunia
berdasarkan tatanan Syariat (hukum) Islam, sebuah negara yang sangat
memperhatikan perkembangan dan kemajuan ilmu. Dan mengaplikasikan
kemajuan ilmu dalam tatanan bermasyarakat, sehingga ilmu benar-benar
membawa kebaikan bagi semua umat manusia.
Pasca hilangnya peradaban Islam, dunia Islam (termasuk Indonesia)
semakin terjerat dalam penjajahan kolonial Barat. Kesengsaraan dan
ketidakadilan yang terjadi akibat neokolonialisme seharusnya sangat
mudah disadari oleh kalangan intelektual muda. Namun, intelektual muda
hari ini terbelenggu dalam berbagai kesibukan perkuliahan yang dilandasi
cara berpikir pragmatis.
Kebangkitan umat termasuk kalangan intelektual muda adalah hal yang
ditakuti negara barat. Karena akan mencabut hegemoni mereka terhadap
dunia Islam. Oleh karena itu barat menggunakan segala cara untuk
mencegah kebangkitan, termasuk menjadikan perempuan (muslimah) sebagai
sasaran penghancuran. Mereka menggunakan bahasa feminisme dan
gerakan-gerakannya dalam rangka melanjutkan kepentingan kolonialis di
seluruh negeri-negeri Islam termasuk Indonesia.
Mereformasi pemikiran dan identitas Muslimah adalah target utama
dalam rencana kolonialis untuk menghancurkan dan mencegah pemerintahan
Islam. Perempuan adalah pusat keluarga, jantung masyarakat, dan pendidik
generasi masa depan. Oleh karena itu, menjerat pikiran dan hati mereka
menjadi penting dalam mensetting ulang mentalitas seluruh
masyarakat Muslim. Jika mereka bisa menyebabkan muslimah termasuk
intelektual muda tidak lagi berharap bahkan menolak Syariah Islam
sebagai standar hidupnya maka mereka bisa menciptakan kader gigih
melawan nilai-nilai Islam. Dengan demikian secara otomatis mencegah
tegaknya Khilafah sekaligus mengokohkan neokolonialisme di dunia Islam.
Racun feminisme telah diaruskan secara resmi dengan berdirinya pusat
studi wanita/ gender (PSW/PSG) di berbagai kampus di Indonesia.
PSWdiadakan oleh perguruan tinggi untuk melakukan kajian dan layanan
yang secara khusus dan sistematis difokuskan untuk meningkatkan
pemberdayaan perempuan. Sejumlah 132 PSW berada di kampus-kampus negeri
maupun agama.
Sistem pendidikan saat ini adalah sistem pendidikan pragmatis dan pro
pasar, dengan penerapan kurikulum pendidikan tinggi berbasis kompetensi
kerja (kurikulum KKNI th 2012). Kurikulum ini ditetapkan pemerintah
untuk menyambut pasar bebas MEA 2015 (jalan neoliberalisme di
negeri-negeri Islam). KKNI bertujuan memastikan setiap lulusan termasuk
mahasiswi tidak hanya memiliki ilmu. Namun juga ketrampilan kerja yang
terstandarisasi.
Kesempitan hidup akibat neokolonialisme ditambah dengan harapan palsu
racun feminis dan kepungan sistem pendidikan pro pasar menjadikan
pemberdayaan ekonomi seolah-olah menjadi solusi tepat. Intelektual muda
semakin menjauhi nilai-nilai Islam karena diangggap tidak menjamin masa
depan cerah. Disadari atau tidak racun pemikiran feminisme telah diamini
dan melekat dalam profil mahasiswi muslim secara umum. Mereka lebih
bangga mengadopsi profil perempuan modern yang sukses karier dibanding
peran mulia sebagai al umm wa rabbatul bait. Mereka juga
menganggap ketergantungan finansial kepada laki-laki mengakibatkan
perempuan menjadi rawan akan kemiskinan dan kekerasan rumah tangga.
Tidak hanya itu, para mahasiswi juga menjadi duta genre yang bertujuan
untuk memahamkan mahasiswa lainnya untuk melangsungkan jenjang
pendidikan secara terencana, berkarir secara terencana serta menikah
dengan penuh perencanaan, yang hasil akhirnya terwujud keluarga kecil,
bahagia dan sejahtera. Target dari program genre sejatinya adalah
penundaan pernikahan usia dini dengan sosialisasi kespro dan KB.
Narasi feminisme terkait kesejahteraan sesungguhnya adalah
pembohongan publik. Karena sesungguhnya segiat apapun perempuan
bekerja, yang dia dapatkan hanyalah remah ekonomi, sementara
neokolonialisme merampok besar-besaran kekayaan negeri ini. Realitasnya
feminisme justru menghantarkan mahasiswi dan generasi bangsa ini pada
kehancuran masa depan. Akibat kemandirian ekonomi perempuan dan
ketidakmampuan negara menyediakan lapangan kerja bagi semua laki-laki
usia produktif, angka gugat cerai di Indonesia terus meningkat. Selain
itu racun genre dan kespro yang menunda usia pernikahan justru
menyuburkan free sex yang akibatnya bisa berujung kepada maut.
Meningkatnya angka aborsi dari tahun ke tahun, terlihat dari data BKKBN
sekitar 2,3 juta wanita dewasa muda yang melakukan aborsi karena
melakukan hubungan seks di luar nikah (health.kompas.com/19/06/2012)
Kehancuran perempuan dan generasi akibat racun feminisme telah nyata.
Jika narasi feminisme dengan pemberdayaan perempuan diranah publik,
faktanya tidak berujung membela perempuan dan generasi, maka siapakah
yang diuntungkan dari perjuangan feminis ini?. Sesungguhnya Pemerintah
Barat telah menggunakan hak-hak perempuan dan idealisme feminis untuk
mengejar dan memperpanjang kepentingan penjajahan mereka di kawasan
dunia Islam. Hal ini satu paket dengan tujuan sekulerisasi sistem dan
pemikiran umat dengan cara mengikis keimanan mereka terhadap Islam,
mencegah kebangkitan Islam. Semua hal itu untuk menguatkan pijakan kaki
mereka untuk menjajah negeri-negeri Muslim. Karena itu intelektual muda
Islam harus mencampakkan dan membuang pemikiran racun ini ke tong
sampah sejarah.
Dalam rangka menyelamatkan intelektual muda dari racun pemikiran
feminisme, sekaligus menegaskan sikap intelektual muda menolak
neokolonialisme dan berjuang menegakkan Khilafah, maka Muslimah Hizbut
Tahrir menyelenggarakan Kongres Mahasiswi Islam Untuk Peradaban:
Intelektual Muda, Tegakkan Khilafah! Selamatkan Intelektual Muda dari
Cengkeraman Neokolonialis-Feminis. Kongres ini akan diadakan di lebih
dari 25 kota dari berbagai propinsi di seluruh Indonesia. Dengan
menghadirkan para mahasiswi dari berbagai kampus besar di Indonesia.
Nida Sa’adah, S.E, M.Ak
Ketua Lajnah Khusus Mahasiswi
Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia 2015
Posting Komentar